Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
Bugh!Sebuah bola basket hampir mengenai kepala Arren, beruntung, segera ditepis oleh Leon, meski akhirnya pria itu mengalami cedera ringan pada otot tangannya.Leon meringis menahan sakit, namun, ia tidak menampakkannya dengan jelas. Arren cukup menyadari ada yang tidak beres dengan gelagatnya.“Tuan, Nyonya, Maafkan kami. Nak, minta maaflah pada paman ini,” ucap seorang wanita yang tampaknya sebaya dengan Leon.“Maaf, Paman,” ucap seorang anak laki-laki yang tak sengaja melemparkan bola basket ke arah Arren dan Leon. Anak itu sebenarnya hanya ingin mencoba ayunan tangannya agar terampil, namun, ia melupakan lokasi ideal dan melemparnya sembarangan.“Mama sudah bilang kan? Bermainnya di lapangan, jangan di jalan!” dengus ibunya sambil melirik ke arah anaknya. "Iya, Ma," sahut sang anak laki-laki yang berusia sekitar delapan tahun itu dengan lesu. “Tidak masalah. Berhati-hatilah lain kali,” ucap Leon yang tak ingin memperpanjang urusan dengan kedua orang asing tersebut.Arren memand
"Syarat apa maksudmu?" tanya Leon yang sudah tak dapat menahan dirinya. Wajah dan dadanya telah berubah merah.Otot perutnya tak dapat menahan gejolak liar Arren yang kini berada tepat di bawahnya.Gadis itu, meski sekuat tenaga menolak, namun tetap tak dapat menepis godaan pria tampan seperti Leon. Ia tidak menyangkalnya sama sekali."Aku akan menutup matamu, agar kau semakin menikmati momen ini secara misterius," ucap Arren dengan wajah merona.Baru kali ini ia mengatakan hal nakal seperti itu. Rasanya, Arren sangat malu."Baiklah, jika itu maumu," Leon melepaskan cengkeramannya. Kali ini, ia duduk sesuai permintaan Arren.Gadis itu kemudian membuka tasnya, dan mengeluarkan sebuah kain berwarna hitam. Ia lalu merebahkan Leon ke ranjang, tempatnya tertidur tadi. Arren kini menuntun permainan. Arren lalu melilitkan kain hitam itu mengelilingi kepala Leon, hingga menutupi kedua matanya.“Kau suka bermain seperti ini, huh?” Leon menyeringai. Ia menantikan bimbingan Arren yang tampakn
Setelah mendapat aba-aba, Arren menukar topinya. Dengan hati-hati ia berjalan menunduk untuk mencapai pintu belakang teater. Saat cahaya panggung kembali normal, pengawal Arren tidak tampak mencurigai keberadaannya. Hal itu karena topi yang identik dengan sang majikan masih tampak menyembul dari balik kursi penonton. Para pengawal hanya diperbolehkan untuk masuk dan berada di pojok belakang teater, agar tidak mengganggu tamu lain yang sedang menikmati pertunjukkan. Hal itu dimanfaatkan oleh Arren untuk mengecoh mereka, dan pergi menyelinap tanpa terdeteksi.Setelah keluar dari teater, Arren memasuki lorong yang gelap dan sepi yang menghubungkan Opera House dengan gang kecil yang menuju ke jalan raya. Arren berlari untuk segera kabur dan berbaur dengan kerumunan, agar pengawal yang menyadari ketiadaannya, tak dapat melacaknya.Setelah beberapa saat, Arren akhirnya sampai di pusat keramaian. Ia mencoba untuk terus berjalan ke arah pasar malam, dan mencari petunjuk yang dapat mengara
"Katakan dengan jelas! Siapa yang memerintahmu?" gertak Leon dengan pandangan tajam, sambil mencengkram erat kerah tersangka yang gemetar di hadapannya itu. Suasana tegang menyelimuti ruangan, detik-detik berjalan lambat dan keheningan di sana hanya dipecah oleh desiran napas yang saling memburu. Tidak ada ruang bagi kebohongan, karena setiap kata yang diucapkan sang tersangka harus dapat memuaskan Leon yang sedang menguasainya. "Aku melakukannya secara acak, mengapa kau tak percaya?" sergah pria itu tanpa mau mengaku. Tetapi mata gelisahnya membocorkan rasa ketakutan yang tersembunyi. Pria itu tak bisa menahan gejolak ketakutan dari intimidasi Leon. Ia cukup mengenal bos kriminal itu, jika tak ada dalang yang menjamin keselamatannya, sudah tentu ia tak akan berani mengusik Leon secara khusus. “Apa kau bilang?”“Apa kau bilang?”“Aku melakukannya—,”"BUGH!"Tiba-tiba, sebuah pukulan melayang dengan kecepatan kilat ke arah pria itu. Leon, dengan reaksi normalnya, menghancurkan keb
Petugas polisi bersama para pengawal Arren melacak pimpinan pedagang rahasia yang menghilang. Wanita itu juga merupakan tersangka utama kasus kericuhan di kelab malam milik Leon.Leon mengecek alat pelacak yang digunakannya pada Arren, namun alat itu juga menghilang.“Sial! Di mana alat itu?!” gerutunya dengan amarah yang membara. Sepertinya, Leon sedang dipermainkan oleh takdir yang membuatnya murka.“Aku tidak akan mengampuni kalian jika terjadi sesuatu pada Arren!” bentak Leon pada para pengawal yang ditugaskan untuk menjaga keselamatan kekasihnya. Pria itu tak bisa mentolerir kegagalan regu pengawal yang sangat fatal ini.“Maafkan kami, Bos!” Permintaan maaf mereka terdengar seperti angin, Leon tidak meresponnya. Ia benar-benar khawatir akan nasib Arren yang tak jelas di mana keberadaannya.Mereka melanjutkan pencarian hingga ke sudut-sudut gelap di ibu kota. Suasana semakin tegang, karena mereka tahu bahwa musuh yang tengah dikejar ini adalah orang-orang berbahaya.“Arren, kumoh
Akhirnya, jalan pintas yang dipikirkan oleh pimpinan pedagang X adalah membuang Arren. Ia akan menghilangkan keterkaitan mereka atas kasus penculikan. Arren harus dibunuh. "Ta--tapi, Nona," "Diam! Lakukan saja perintahku!" "Baik," Pria kurus ceking itu pun segera pergi ke lokasi sel isolasi yang berada di rubanah markas mereka. Ia tidak memiliki pilihan selain menjalankan instruksi dari bosnya. "Hei! Gadis!" panggilnya pada Arren yang sedang tertidur di pojok sel dengan gemetar. "Mau apa kau!" "Hhh... Sayang sekali, hidupmu harus berakhir hari ini," dengusnya. Arren membelalak, ia tak menyangka pria itu datang untuk membunuhnya. "Beraninya kau!" bentak Arren, kali ini sambil berdiri dan memasang kuda-kuda secara asal. Arren juga tidak bisa bela diri. "Tsk! Diamlah! Oke! Atau ini akan sakit!" Pria itu belum mengeluarkan senjatanya, namun, ia menanggalkan baju dan celananya. "Mari bermain sebentar sebelum mati, Oke?" ucapnya sambil mendekat dengan penuh nafsu ke arah Arren.
Pria yang menemukan Arren langsung memeriksa denyut nadi gadis tersebut. Dengan hati yang berdegup kencang, pria itu merasa kepanikan melihat kondisi Arren yang kritis. Tanpa ragu, ia segera menekan luka tusuk di tubuh Arren untuk menghentikan pendarahan yang hebat dan berusaha menenangkan diri sebisanya.Pria itu dengan cekatan membebat luka Arren dengan syal kain yang dipakainya. Hal ini bertujuan untuk mengontrol pendarahan dan memberikan tekanan pada daerah yang terluka. Pria itu tetap berusaha fokus pada pertolongan pertama yang harus dilakukan, meskipun tangannya sudah basah berlumur darah. "Arren... kumohon, tetaplah bertahan," gumam pria itu, suaranya penuh dengan harapan dan kekhawatiran atas nasib gadis yang sedang berada di pelukannya.Setelah memberikan pertolongan pertama sebaik mungkin, pria itu segera membawa Arren menuju ke mobilnya.Sebelum beranjak ke rumah sakit, ia harus memastikan bahwa tidak ada jejak yang tertinggal di tempat kejadian. Setelah dirasa aman, p
"Clark?" bisiknya lembut.Pria itu menganggukkan kepalanya."Ya, aku di sini, Arrenku sayang,"Arren tidak percaya dengan penglihatannya. Clark? Pria itu ada di sini bersamanya sekarang? Bagaimana bisa? Arren tak pernah menyangka bahwa kekasih yang telah ditinggalkan di desanya, saat ini sedang berada di hadapannya. "A--apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan gugup. Arren masih tidak menyangka akan bertemu dengan Clark setelah sekian lama. "Arren... Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu!"Clark menjawab dengan gusar. Ia telah menghabiskan waktu untuk mencari Arren kemana-mana, namun tak kunjung menemukan gadis itu."A--aku,""Ssh...,"Jemari Clark beradu lembut dengan bibir Arren. Gadis itu bahkan dapat merasakan getaran asing yang menjalari tubuhnya."Clark... Maaf,"Arren hanya dapat mengucapkan kata itu pada pria yang telah menjadi kekasihnya selama beberapa waktu ini.Kisah cinta mereka telah berakhir, dengan keputusan sepihak dari sebuah insiden kejam.Keterik