Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
Setelah melakukan penelusuran secara rinci, anak buah Leon menemukan sebuah rumah sakit yang menerima pasien dengan luka tusuk, beberapa jam yang lalu. Leon segera pergi ke rumah sakit tersebut, namun, perawat dan tim keamanan menghalanginya untuk masuk dan memeriksa pasien yang disebutkan. "Apakah anda keluarganya?" tanya sang perawat dengan tegas. "Ya!" jawab Leon dengan lengkingan tajam. Ia segera menerobos masuk ke pintu utama untuk segera menuju ke ruang perawatan intensif. "Tangkap dia!" seru perawat itu pada tim keamanan yang sedang berjaga. Mereka segera membekuk Leon yang datang seorang diri tanpa pengawalan. "Tuan! Jangan mempersulit kami! Tunjukkan buktinya jika anda keluarga pasien Arren. Seorang wali sudah menungguinya. Anda tidak dapat menggantikan wali itu jika bukan keluarganya!" bentak sang perawat yang terlihat kesal atas kelakuan Leon. Wajah pria itu menggelap. "Seseorang, katamu?" ulangnya dengan amarah. "Siapa bajingan yang telah bersama kekasihku? Berani-
Ranjang normal Arren terasa sempit dengan keberadaan Leon. Berbeda dengan Clark yang hanya duduk di samping Arren, Leon ikut berada di ranjangnya. Arren tidak bisa memaksanya pindah karena ia tak mau membangunkannya. Pria itu terlihat lelah.Menurut pengacara yang bersama dengan Leon, beberapa waktu lalu. Pria itu tidak tidur selama dua malam karena sedang mencari keberadaan Arren. Dalam diam, Arren merasa tersentuh, namun, ia tidak mengurungkan niatnya untuk menggunakan rencana Clark.“Emhh…,” Leon mengerang. Sepertinya ia sedang memimpikan sesuatu. Keringat dingin mulai bercucuran di dahinya yang lebar. Arren seketika mengelapnya dan mengelus lembut wajah Leon, agar tidak terbawa pada mimpi buruknya.“Ssshh….,” bisik Arren lembut.Leon yang sedang mengernyit dalam tidurnya, perlahan memasang wajah damai setelah mendengar suara Arren.“Mom…,” gumam Leon yang sedang berbicara dalam tidurnya.Arren tersentak. Apakah Leon saat ini sedang mencari ibunya? Seperti apa orang tua Leon? Arre
Dalam kegelapan yang mencekam, mata para tahanan yang terluka parah mulai terbuka perlahan. Pertama, wanita yang menjadi pimpinan pedagang X, Linn. Ia mulai dapat menggerakkan jari-jarinya. Meskipun masih merasakan sakit di sekujur tubuh, Linn segera menyadarkan diri dan mengingat kejadian tragis yang baru saja dialaminya. "Arrgh...," Linn menggeram sambil memeriksa sekelilingnya. Tidak ada yang dilihatnya kecuali ruangan gelap dengan instalasi medis seadanya yang mampu menyelamatkan mereka dari kecelakaan maut, beberapa waktu yang lalu. Namun, sesaat kemudian, dia baru menyadari sesuatu dari simbol-simbol yang melekat di dinding."I--ini," gumamnya dengan suara gemetar.Ketika kesadarannya kembali, dia mulai menyadari sesuatu."Bukankah ini Ironcamp?" Linn mencoba menebak lokasinya saat ini, setelah mengingat-ingat simbol swastika dan tanduk setan yang merupakan lambang kerajaan gelap sang bos besar, Napoli Toredo."Sudah siuman, rupanya," ucap Napoli tajam, dengan senyum samar y
“Baiklah! Aku akan menyuruhnya untuk terus memakai topeng, puas?!” Leon tersenyum saat mendengar solusi dari Arren. Ia benar-benar menyukai cara pikir istrinya itu. “Baiklah, aku menyetujuinya,” ucap Leon dengan senyuman mautnya. Wajah Arren merah merona, antara jengkel, terjepit dan terpesona oleh senyuman Leon yang membuat pria itu semakin tampan. "Kita akan mempekerjakannya ketika kau keluar dari rumah sakit ini," lanjutnya, kemudian menaikkan Arren ke pangkuannya. "Le--leon, apa yang kau lakukan?" tanya Arren. "Aku bukan anak kecil, turunkan aku," protesnya kemudian. "Kau memang masih kecil, bukan? Usiamu saja belum 20 tahun," gumam Leon sambil menyembunyikan wajahnya di balik leher Arren. "Aku merindukanmu, Arren," ucapnya, sedetik kemudian. "Leon...," panggil Arren lirih, dengan desakan hasrat yang tiba-tiba datang. "Sebentar lagi aku berusia 20 tahun, kau harus tau itu. Aku bukanlah anak kecil lagi, Om," gerutu Arren sambil mengolok-olok Leon dengan sebutan yang ia ben
Matahari belum menyingsing, meski waktu sebentar lagi menunjukkan pukul 5 pagi. Langit masih dikuasai oleh gelapnya malam, dan udara subuh kali ini terasa dingin. Awan mendung bergelayut, menandakan hari akan segera hujan. Dengan langkah yang hening, seorang pria tampak masuk ke dalam sebuah lorong sempit di pusat kota. Keberadaan sebuah bangunan kecil bertingkat, dengan penerangan temaram, menjadi tujuan akhirnya. Krit... Pintu bangunan itu terbuka dengan lambat, mengungkapkan ruangan gelap yang hanya diterangi oleh layar-layar holografik yang berkedip-kedip. Tidak ada seorang pun yang menyambutnya, namun, suara langkah kakinya membangunkan seseorang yang sedang tertidur di sofa. "C?" tebaknya, ketika baru saja membuka matanya yang berkilauan, seperti permata yang terikat dalam kegelapan. "Ya, ini aku," sahutnya datar. "Nampaknya kau tiba lebih awal dari yang diharapkan," bisik pria itu dengan suara yang pelan namun menusuk tulang belakang. “Tunggulah, aku akan memanggil bos.”
Setelah beberapa hari di rumah sakit, Arren diperbolehkan pulang. Leon tidak terlalu mempedulikan kasus di kelabnya, karena ia menyerahkan hal itu pada Ford. CEO Luna Club itu pasti bisa mengurusnya dengan baik, meski tanpa campur-tangannya. “Segarnya,” ucap Arren ketika menghirup udara di luar rumah sakit. Ia segera merentangkan kedua tangannya ke udara, dan meregangkan otot tubuhnya yang kaku. “Arren, ayo masuk,” ajak Leon sambil menggandeng Arren yang ada di depannya. Pria itu baru saja menelpon Ford untuk mendelegasikan tugas lain, dan saat ini sudah muncul sambil menyatukan telapak tangan mereka dengan lembut. Di depan rumah sakit, dua mobil mewah telah bersiap-siap untuk mengantar mereka ke mansion milik Leon di Pulau Lesa. Cahaya matahari senja memantulkan kilauan pada bodi mobil yang mengkilap, menciptakan efek kemewahan yang semakin terpancar. “Silakan, Nyonya, Tuan,” ucap sang sopir sambil membukakan pintu mobil SUV hitam yang tampak mengkilap elegan itu. Mobil yang din
“Aaarrgghh!! Bajingan!!” Vennina menggila, ketika ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa Arren telah resmi diperistri oleh Leon. “Jalang cilik itu? Arrggh!! Kenapaaa!!” Pertanyaan tak terjawab hanya ada dalam benaknya. Ia tentu tidak berani menanyakannya kepada Leon yang baru saja tiba. Vennina frustasi, ia tidak pernah mengira bahwa agresivitas Arren, si tikus kecil itu, bisa sampai seperti ini. Butuh waktu tahunan bagi Venn untuk menjadi selir resmi dan memiliki hak untuk mengelola Paviliun Barat. Saat ini? Arren yang baru dua bulan tinggal di mansion ini, bisa dengan mudah membalik keadaan dengan status resmi sebagai nyonya besar. “Nyo–nyonya, saya memiliki informasi,” ucap pelayan pribadi Venn dengan gemetar. Ekor matanya melirik pecahan barang pecah-belah yang berserakan di lantai. Ia tak ingin nasibnya sama seperti piring dan gelas itu. Ucapannya harus disampaikan secara hati-hati. “Katakan!” sahut Vennina masih dengan napas tersengal. Ia merasakan dadanya bergemur
Vennina memberi undangan spesial tentu bukan tanpa rencana. Ia hanya meminjam nama Leon, namun, hal itu tentu tidak akan dilakukannya. Vennina hanya ingin mengajak Arren ke paviliun barat, untuk segera menghabisinya. Vennina telah gelap mata, ia akan melakukan segala cara agar gadis itu lenyap dari Mansion ini.“Kapan undangan itu?” tanya Arren polos. Ia tidak lagi waspada, dan memilih untuk berdamai sedikit dengan sang selir, yang tentu saja tidak disukainya. Jika Leon telah menjadikan Arren sebagai istri, seharusnya ia menyingkirkan Vennina dari kediaman ini. Tidak mungkin ada dua ratu dalam satu kerajaan, kan? Begitu yang dipikirkan oleh Arren, yang entah mengapa, menjadi rakus dan tidak sadar bahwa Leon hanya menjadikannya tawanan, bukan istri sungguhan.“Sekarang,” ucap Vennina dengan senyuman.“Apa?? Bukankah Leon sedang ke pusat kota?” “Ya. Dia akan segera kembali, tenanglah,” jawab Venn mencoba meyakinkan Arren. Namun, gadis itu tidak terbujuk. Ia benar-benar tidak ingin
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.