Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
Dalam kegelapan yang mencekam, mata para tahanan yang terluka parah mulai terbuka perlahan. Pertama, wanita yang menjadi pimpinan pedagang X, Linn. Ia mulai dapat menggerakkan jari-jarinya. Meskipun masih merasakan sakit di sekujur tubuh, Linn segera menyadarkan diri dan mengingat kejadian tragis yang baru saja dialaminya. "Arrgh...," Linn menggeram sambil memeriksa sekelilingnya. Tidak ada yang dilihatnya kecuali ruangan gelap dengan instalasi medis seadanya yang mampu menyelamatkan mereka dari kecelakaan maut, beberapa waktu yang lalu. Namun, sesaat kemudian, dia baru menyadari sesuatu dari simbol-simbol yang melekat di dinding."I--ini," gumamnya dengan suara gemetar.Ketika kesadarannya kembali, dia mulai menyadari sesuatu."Bukankah ini Ironcamp?" Linn mencoba menebak lokasinya saat ini, setelah mengingat-ingat simbol swastika dan tanduk setan yang merupakan lambang kerajaan gelap sang bos besar, Napoli Toredo."Sudah siuman, rupanya," ucap Napoli tajam, dengan senyum samar y
“Baiklah! Aku akan menyuruhnya untuk terus memakai topeng, puas?!” Leon tersenyum saat mendengar solusi dari Arren. Ia benar-benar menyukai cara pikir istrinya itu. “Baiklah, aku menyetujuinya,” ucap Leon dengan senyuman mautnya. Wajah Arren merah merona, antara jengkel, terjepit dan terpesona oleh senyuman Leon yang membuat pria itu semakin tampan. "Kita akan mempekerjakannya ketika kau keluar dari rumah sakit ini," lanjutnya, kemudian menaikkan Arren ke pangkuannya. "Le--leon, apa yang kau lakukan?" tanya Arren. "Aku bukan anak kecil, turunkan aku," protesnya kemudian. "Kau memang masih kecil, bukan? Usiamu saja belum 20 tahun," gumam Leon sambil menyembunyikan wajahnya di balik leher Arren. "Aku merindukanmu, Arren," ucapnya, sedetik kemudian. "Leon...," panggil Arren lirih, dengan desakan hasrat yang tiba-tiba datang. "Sebentar lagi aku berusia 20 tahun, kau harus tau itu. Aku bukanlah anak kecil lagi, Om," gerutu Arren sambil mengolok-olok Leon dengan sebutan yang ia ben
Matahari belum menyingsing, meski waktu sebentar lagi menunjukkan pukul 5 pagi. Langit masih dikuasai oleh gelapnya malam, dan udara subuh kali ini terasa dingin. Awan mendung bergelayut, menandakan hari akan segera hujan. Dengan langkah yang hening, seorang pria tampak masuk ke dalam sebuah lorong sempit di pusat kota. Keberadaan sebuah bangunan kecil bertingkat, dengan penerangan temaram, menjadi tujuan akhirnya. Krit... Pintu bangunan itu terbuka dengan lambat, mengungkapkan ruangan gelap yang hanya diterangi oleh layar-layar holografik yang berkedip-kedip. Tidak ada seorang pun yang menyambutnya, namun, suara langkah kakinya membangunkan seseorang yang sedang tertidur di sofa. "C?" tebaknya, ketika baru saja membuka matanya yang berkilauan, seperti permata yang terikat dalam kegelapan. "Ya, ini aku," sahutnya datar. "Nampaknya kau tiba lebih awal dari yang diharapkan," bisik pria itu dengan suara yang pelan namun menusuk tulang belakang. “Tunggulah, aku akan memanggil bos.”
Setelah beberapa hari di rumah sakit, Arren diperbolehkan pulang. Leon tidak terlalu mempedulikan kasus di kelabnya, karena ia menyerahkan hal itu pada Ford. CEO Luna Club itu pasti bisa mengurusnya dengan baik, meski tanpa campur-tangannya. “Segarnya,” ucap Arren ketika menghirup udara di luar rumah sakit. Ia segera merentangkan kedua tangannya ke udara, dan meregangkan otot tubuhnya yang kaku. “Arren, ayo masuk,” ajak Leon sambil menggandeng Arren yang ada di depannya. Pria itu baru saja menelpon Ford untuk mendelegasikan tugas lain, dan saat ini sudah muncul sambil menyatukan telapak tangan mereka dengan lembut. Di depan rumah sakit, dua mobil mewah telah bersiap-siap untuk mengantar mereka ke mansion milik Leon di Pulau Lesa. Cahaya matahari senja memantulkan kilauan pada bodi mobil yang mengkilap, menciptakan efek kemewahan yang semakin terpancar. “Silakan, Nyonya, Tuan,” ucap sang sopir sambil membukakan pintu mobil SUV hitam yang tampak mengkilap elegan itu. Mobil yang din
“Aaarrgghh!! Bajingan!!” Vennina menggila, ketika ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa Arren telah resmi diperistri oleh Leon. “Jalang cilik itu? Arrggh!! Kenapaaa!!” Pertanyaan tak terjawab hanya ada dalam benaknya. Ia tentu tidak berani menanyakannya kepada Leon yang baru saja tiba. Vennina frustasi, ia tidak pernah mengira bahwa agresivitas Arren, si tikus kecil itu, bisa sampai seperti ini. Butuh waktu tahunan bagi Venn untuk menjadi selir resmi dan memiliki hak untuk mengelola Paviliun Barat. Saat ini? Arren yang baru dua bulan tinggal di mansion ini, bisa dengan mudah membalik keadaan dengan status resmi sebagai nyonya besar. “Nyo–nyonya, saya memiliki informasi,” ucap pelayan pribadi Venn dengan gemetar. Ekor matanya melirik pecahan barang pecah-belah yang berserakan di lantai. Ia tak ingin nasibnya sama seperti piring dan gelas itu. Ucapannya harus disampaikan secara hati-hati. “Katakan!” sahut Vennina masih dengan napas tersengal. Ia merasakan dadanya bergemur
Vennina memberi undangan spesial tentu bukan tanpa rencana. Ia hanya meminjam nama Leon, namun, hal itu tentu tidak akan dilakukannya. Vennina hanya ingin mengajak Arren ke paviliun barat, untuk segera menghabisinya. Vennina telah gelap mata, ia akan melakukan segala cara agar gadis itu lenyap dari Mansion ini.“Kapan undangan itu?” tanya Arren polos. Ia tidak lagi waspada, dan memilih untuk berdamai sedikit dengan sang selir, yang tentu saja tidak disukainya. Jika Leon telah menjadikan Arren sebagai istri, seharusnya ia menyingkirkan Vennina dari kediaman ini. Tidak mungkin ada dua ratu dalam satu kerajaan, kan? Begitu yang dipikirkan oleh Arren, yang entah mengapa, menjadi rakus dan tidak sadar bahwa Leon hanya menjadikannya tawanan, bukan istri sungguhan.“Sekarang,” ucap Vennina dengan senyuman.“Apa?? Bukankah Leon sedang ke pusat kota?” “Ya. Dia akan segera kembali, tenanglah,” jawab Venn mencoba meyakinkan Arren. Namun, gadis itu tidak terbujuk. Ia benar-benar tidak ingin
Setelah Vennina meninggalkan markas rahasia pedagang X, suasana di ruangan itu menjadi semakin tegang. Linn, sang pemimpin kelompok dengan rambut pendek hitam dan wajah oriental yang misterius, duduk di ujung meja panjang. Meja itu telah dipenuhi berbagai alat mata-mata dan juga berkas-berkas berisi informasi rahasia tentang Leon, yang baru saja didapatkannya dari Napoli. Langkahnya yang tegas dan tatapan matanya yang dingin mengisyaratkan bahwa, misi ini tidak boleh sampai gagal.Rome, pria ceking berambut merah dengan gigi tanggal satu, duduk di sebelah Linn. Perawakannya yang tinggi dan kurus, membuatnya tampak menonjol. Meski terlihat lemah, Rome memiliki kecepatan dan kelenturan yang luar biasa. Di sisi lain meja, terdapat Pablo, pria gempal penuh kekuatan yang tak sabar ingin segera mendengar keputusan final sang pimpinan. Meskipun jalannya lambat, namun, kekuatn Pablo sungguh luar biasa dan mematikan.Anggota kelompok lain yang masih tersisa, tampak memenuhi kursi di sekel
Ada segurat ketegangan yang tercipta di antara Arren dan Clark, meski berada di tempat yang cukup berjauhan. Sebagai seorang mata-mata, Clark memang bisa mendengar suara sekecil apapun melalui chip di telinganya yang diaktifkan ketika ia sedang bersiaga.Chip itu memiliki fungsi unik yang bahkan dapat meredam desingan peluru, meski masih bisa menangkap suara manusia dalam jarak puluhan meter. Arren terkejut, tentu saja, karena ia hanya berbisik, namun Clark dapat meresponnya secara jelas. Menurut Arren, respon Clark itu adalah bagian dari takdir. Mereka pernah memadu cinta untuk waktu yang cukup lama. Komunikasi dengan ucapan yang pelan, bahkan meski hanya bermodalkan pikiran, dapat dengan mudah dipahami oleh mereka. Arren tidak pernah mengira bahwa ada teknologi yang dapat membesarkan suaranya seperti loudspeaker kecil yang tak kasat mata. Padahal, hal itu memang ada.“Clark, Nona Arren sedang mencari Anda,” ucap Kepala Keamanan yang baru saja tiba di lapangan tembak.“Baik, Pak.