Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga madam agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
Vennina memberi undangan spesial tentu bukan tanpa rencana. Ia hanya meminjam nama Leon, namun, hal itu tentu tidak akan dilakukannya. Vennina hanya ingin mengajak Arren ke paviliun barat, untuk segera menghabisinya. Vennina telah gelap mata, ia akan melakukan segala cara agar gadis itu lenyap dari Mansion ini.“Kapan undangan itu?” tanya Arren polos. Ia tidak lagi waspada, dan memilih untuk berdamai sedikit dengan sang selir, yang tentu saja tidak disukainya. Jika Leon telah menjadikan Arren sebagai istri, seharusnya ia menyingkirkan Vennina dari kediaman ini. Tidak mungkin ada dua ratu dalam satu kerajaan, kan? Begitu yang dipikirkan oleh Arren, yang entah mengapa, menjadi rakus dan tidak sadar bahwa Leon hanya menjadikannya tawanan, bukan istri sungguhan.“Sekarang,” ucap Vennina dengan senyuman.“Apa?? Bukankah Leon sedang ke pusat kota?” “Ya. Dia akan segera kembali, tenanglah,” jawab Venn mencoba meyakinkan Arren. Namun, gadis itu tidak terbujuk. Ia benar-benar tidak ingin
Setelah Vennina meninggalkan markas rahasia pedagang X, suasana di ruangan itu menjadi semakin tegang. Linn, sang pemimpin kelompok dengan rambut pendek hitam dan wajah oriental yang misterius, duduk di ujung meja panjang. Meja itu telah dipenuhi berbagai alat mata-mata dan juga berkas-berkas berisi informasi rahasia tentang Leon, yang baru saja didapatkannya dari Napoli. Langkahnya yang tegas dan tatapan matanya yang dingin mengisyaratkan bahwa, misi ini tidak boleh sampai gagal.Rome, pria ceking berambut merah dengan gigi tanggal satu, duduk di sebelah Linn. Perawakannya yang tinggi dan kurus, membuatnya tampak menonjol. Meski terlihat lemah, Rome memiliki kecepatan dan kelenturan yang luar biasa. Di sisi lain meja, terdapat Pablo, pria gempal penuh kekuatan yang tak sabar ingin segera mendengar keputusan final sang pimpinan. Meskipun jalannya lambat, namun, kekuatn Pablo sungguh luar biasa dan mematikan.Anggota kelompok lain yang masih tersisa, tampak memenuhi kursi di sekel
Ada segurat ketegangan yang tercipta di antara Arren dan Clark, meski berada di tempat yang cukup berjauhan. Sebagai seorang mata-mata, Clark memang bisa mendengar suara sekecil apapun melalui chip di telinganya yang diaktifkan ketika ia sedang bersiaga.Chip itu memiliki fungsi unik yang bahkan dapat meredam desingan peluru, meski masih bisa menangkap suara manusia dalam jarak puluhan meter. Arren terkejut, tentu saja, karena ia hanya berbisik, namun Clark dapat meresponnya secara jelas. Menurut Arren, respon Clark itu adalah bagian dari takdir. Mereka pernah memadu cinta untuk waktu yang cukup lama. Komunikasi dengan ucapan yang pelan, bahkan meski hanya bermodalkan pikiran, dapat dengan mudah dipahami oleh mereka. Arren tidak pernah mengira bahwa ada teknologi yang dapat membesarkan suaranya seperti loudspeaker kecil yang tak kasat mata. Padahal, hal itu memang ada.“Clark, Nona Arren sedang mencari Anda,” ucap Kepala Keamanan yang baru saja tiba di lapangan tembak.“Baik, Pak.
"No--nona. Ini saya!" teriak Poppy dari balik pintu perpustakaan. Arren merasa lega mendengar suara Poppy dan bukan raungan Leon. "Tuan Leon, suami Anda telah pulang. Harap segera kembali ke rumah utama," lanjut Poppy kemudian, yang membuat Clark tersentak. Gadis itu baru saja akan melangkahkan kakinya ke ambang pintu, sebelum Clark menariknya dengan paksa. "Arren? Apa maksudnya 'suami'? Katakan!" tegasnya meminta penjelasan. "Clark.. Hhh... Ini tidak seperti yang kau pikirkan," terdengar Arren mengeluh, meski ia tidak ingin membahasnya. Arren merasa perlu menjelaskan situasi pernikahan dadakannya pada Clark, meski berat. "Sewaktu di rumah sakit, dia terpaksa menikahiku agar menjadi wali yang sah. Kau tahu kan? Wali hanya seorang, dan kau telah menjadi pemicunya." "Aku tidak mengerti....," bingung Clark. "Sudahlah! Aku juga pusing. Kau tidak usah memikirkannya. Kita tetap pada rencana kita," pungkas Arren. Ia kemudian memutar knop pintu perpustakaan dan segera bergabung bersa
"Sial!" rutuk Vennina, sang selir, dengan tatapan penuh api kecemburuan ketika melihat Leon dan Arren yang sedang bergandengan tangan dengan mesra. Selain Venn, Clark, sang mantan kekasih Arren yang kini menjadi pengawal pribadinya, juga merasakan gejolak emosi serupa. Mereka sama-sama merasa cemburu dan tidak senang dengan perkenalan resmi tersebut, terutama bagian 'pasangan pengantin baru' yang melekat pada status Leon dan Arren. Vennina, dengan gaun mewah berwarna merah yang merayap seperti api, menahan emosinya dengan susah payah. Ia terus menusuk Arren dengan tatapan yang penuh kebencian. Bibir merahnya meruncing, dan tangannya berkerut di pangkuan. Wajah Vennina yang cantik kini terlihat rusak, akibat goresan bara api kecemburuan yang menggelegar. Sementara itu, Clark yang berdiri di belakang Vennina, mencoba menyembunyikan gejolak batinnya. Ia tahu betul siapa Arren dan bagaimana perasaan yang sempat mereka bina bersama. Melihat Arren yang kini menjadi istri sang penguasa,
Perjamuan yang sederhana, namun tidak sesederhana kelihatannya, akhirnya selesai juga. Arren sangat lelah, ia bahkan tertidur saat Poppy baru akan menyiapkan air mandi untuknya. “Pergilah, biar aku yang memandikannya,” ucap Leon, ketika baru masuk ke dalam kamarnya. “Baik, Tuan,” jawab Poppy, kemudian beranjak mundur dari hadapan majikannya. Leon telah menyetujui usul Clark yang cukup visioner itu. Memang sudah lama sekali, ia tidak pernah melakukan uji keamanan dikarenakan mansion selalu aman. Namun, ketika insiden dari dalam silih berganti datang, mau tidak mau, keamanan diperketat. Namun, Leon tak pernah berfikir untuk mengganti sistem keamanan secara keseluruhan. Setelah pembicaraan yang panjang itu berakhir, Leon akhirnya dapat kembali bersama Arren. Ia menikmati suasana tenang ketika berada di sisi istrinya itu, terutama saat ia sedang tertidur seperti ini. “Kau seperti bayi,” gumamnya, lalu memindahkan Arren ke ranjang. *** “Kita mau ke mana?” tanya Arren, setelah bersi
“Apa maksudmu?” tanya Leon tajam. Ia tidak menyangka bahwa ada kecacatan seperti ini dalam agendanya.Desainer itu memandang Leon dengan wajah cemas, mencoba menjelaskan situasi dengan hati-hati. "Material dari jas itu yang tidak lagi diproduksi oleh pemasok kami, Tuan.""Mengapa begitu?" Leon masih mencecarnya karena merasa usahanya mungkin sia-sia. Dia sangat menginginkan jas itu. Lola kemudian menjelaskan bahwa, sutra perak yang digunakan dalam pembuatan jas itu adalah produk langka yang telah berhenti diproduksi. Material tersebut pernah dihasilkan oleh suku Faraday yang memiliki keahlian unik dalam menenun benang perak ke dalam serat sutra, menciptakan kilauan yang spektakuler dan sangat indah. Sayangnya, produksi sutra perak tersebut telah berhenti karena suku Faraday menghadapi tantangan besar, tidak adanya generasi muda yang meneruskan warisan budaya tersebut. Suku Faraday menjalankan tradisi menenun sutra perak selama berabad-abad. Namun, dengan perubahan zaman dan kecend
Akhirnya, malam yang begitu dinanti-nanti tiba. Gala dinner yang diselenggarakan oleh kolega penting, sudah berada di depan mata. Arren dan Leon tiba di lokasi acara di ibu kota Canadak dalam balutan pakaian yang mereka persiapkan secara teliti. Pasangan itu terlihat begitu bersinar malam ini. Para pelayan yang sebelumnya telah mempersiapkan segala sesuatunya di mansion, begitu takjub dan bangga, karena dapat turut andil dalam perubahan besar Nyonya Arren. Gedung serbaguna di sebuah hotel berbintang yang disewa oleh Walikota, dipenuhi dengan dekorasi mewah dan hiasan bunga yang indah. Sepertinya, pesta ulang tahun pernikahan ini disiapkan dengan meriah. Gedung tersebut telah diubah menjadi tempat perayaan yang luar biasa. Cahaya lampu kristal berkilauan di langit-langit, menciptakan atmosfer yang hangat dan elegan. Para tamu disambut dengan karpet merah yang mengalir gemerlap di pintu masuk. Mereka datang mengenakan pakaian terbaik sesuai tema pesta, 'malam di istana'. Tuan-tuan da
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.