Ayo kirimkan gem untuk cerita ini agar naik peringkat! Follow juga madam di @ novelisdelilah untuk update cerita lain yang tak kalah seru!
“Lihatlah mulutnya itu. Kotor sekali,” umpat Elea sambil mendengus. “Begitulah jika mengambil tikus di jalanan, dia tidak memiliki sopan santun,” ejek Dhevita, yang telah mendengar cerita asal-usul Arren dari Vennina. Tentu saja sebagian dari cerita itu adalah kebohongan. “Sudah cukup! Saya rasa kalian bertiga memang ingin menyerang saya. Sungguh pengecut!” Arren kemudian membalikkan badan dan melangkah menjauh dari mereka bertiga. Tidak ada gunanya mendengar hal buruk seperti itu, meski ada kebenaran dalam setiap ejekan yang mereka lontarkan. “Cih! Dasar lemah!” maki Dhevita, kemudian juga ikut berbalik arah sambil mengajak nyonya lainnya untuk mencicipi hidangan. Tindakannya tentu tidak akan berhenti sampai di situ saja, karena di lantai atas, Vennina juga turut menyaksikan kelanjutan misi yang akan dijalankannya. *** (Malam Sebelumnya) "Saya akan hadir di pesta walikota, meski tidak bersama Leon. Saya harap Anda dapat memberikan sedikit bantuan, Nyonya Dhevita," ucap Vennina
(Tiga Malam Sebelumnya) Gang Oldtown di ibu kota tengah tenggelam dalam gelap malam, bulan yang redup tak mampu lagi menerangi langit yang kian gulita. Di dalam markas pedagang X, sesosok misterius tampak terdiam dengan pandangan yang terfokus pada layar komputernya. Dengan penuh konsentrasi, jemarinya menari dengan lincah di atas keyboard, menghasilkan deretan kode yang menggelapkan layar di hadapannya. Beberapa kali ia mengetik perintah-perintah dengan lihai, namun, belum mendapatkan hasil optimal dari apa yang diusahakan. “Sial!” gerutunya dengan kekesalan yang memuncak. Gadis itu adalah seorang peretas ulung yang tengah mempersiapkan serangan daringnya. Biasanya, ia tak pernah gagal menjalankan tugas, namun kali ini, tugas yang diberikan terasa sulit sekali dirampungkan karena keamanan sistem yang cukup rumit. "Sistem keamanan yang kokoh ini akan kuhancurkan," gumamnya dengan rasa jengkel dan penuh tekad. Suaranya terdengar penuh keyakinan, seperti mantra gelap yang mengisi
Dalam hitungan detik, Arren merasa kehilangan kendali atas tubuhnya. Ia seolah-olah terjebak dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di tengah kegelapan yang menyelimuti pikirannya, Arren merasakan suara bisikan yang memekikkan kegembiraan, seolah-olah telah berhasil mengeksekusi misi yang telah direncanakan sebelumnya. Suara seorang pria dan wanita bergema di dalam pikiran Arren, bersahut-sahutan dengan sorak kegembiraan yang meriah. Tak lama kemudian, terdengar suara benda bergerak dengan roda menggelinding di sekitarnya, dan akhirnya benda itu berhenti tepat di hadapannya. Selanjutnya, Arren benar-benar terlelap dalam tidur panjang yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. *** “Berhati-hatilah, dan pastikan kau tidak melakukan kesalahan,” perintah Vennina dengan tegas, ia tampak sedang mengintai situasi di luar ruang ganti tersebut. “Baik, Nyonya. Anda tidak perlu khawatir,” sahut Pablo dengan keyakinan penuh. Di sampingnya, Rome sudah bersiap dengan sebuah kursi roda. Pria itu m
Arren merasa syok dan terguncang oleh situasi tragis di hadapannya. Dua orang telah menjadi mayat, dan kini, hanya tinggal dia dan Clark yang merupakan korban selamat. Clark memeriksa kedua korban yang telah tewas itu. Setelah yakin bahwa mereka benar-benar mati, ia mengulurkan tangan pada Arren dan membantu gadis itu berdiri. Arren terduduk lemas dengan badan bergetar akibat kepanikan yang tak dapat ia tahan. "A–apakah mereka semua mati?" tanyanya memastikan. "Ya, kau benar. Tegarlah Arren. Kita tidak punya pilihan," ucap Clark dingin, seolah-olah ia memang sering melihat mayat seperti itu. "Kau memakai topeng?" Arren baru menyadari tentang penampilan Clark yang misterius. "Bukankah ini seragamku, Nyonya?" sahut Clark dengan sedikit gurauan. Namun, dalam hati ia lega, karena kedua penjahat yang tewas di tangannya tak sempat mengenalinya berkat seragam bertopeng yang dituntut oleh Leon sebelumnya. "Ya, kau benar," ucap Arren sedikit lebih ringan. Perlahan-lahan, ia mulai tenang
“Tu–tuan Connor?” "Ya, senang kau mengenalku," sahut Leon dengan nada dingin. Rengkuhannya pada Arren tidak pernah lepas, ia memeluk tubuh gadis itu seolah-olah memastikan bahwa lengannya adalah perisai paling aman dan dunia tidak bisa menyakitinya. “Buka mobilnya!” perintah Leon dengan nada tegas kepada sopir mereka. Sopir itu segera menuruti perintah sang majikan, ia membuka pintu mobil dengan cepat. “Ma–maaf, Tuan. Nyonya harus ikut kami ke kantor polisi,” ucap sang inspektur dengan keragu-raguan yang jelas terlihat di matanya. Tampak jelas bahwa ia berusaha mengatasi rasa gemetarnya saat menghadapi Leonard Connor– pria yang cukup berkuasa di Canadak. Menghadapi pria itu membuat sang inspektur merasa seperti menghadapi badai yang siap mengamuk kapan saja tanpa aba-aba. Namun, ada kebenaran yang harus diungkapkan. Tugasnya sebagai polisi adalah untuk menegakkan keadilan. “Tidakkah kalian paham bahwa istriku adalah korban di sini?!” Leon berteriak. Suaranya terdengar bergemuruh
Arren dan Leon akhirnya kembali ke mansion setelah melewati hari yang penuh tekanan. Kedatangan mereka disambut oleh pelayan-pelayan setia, yang merasa lega melihat keduanya baik-baik saja. Kehangatan dan kelegaan menyelimuti suasana yang ada di dalam mansion megah itu. Arren dan Leon akhirnya dapat beristirahat dengan tenang. Arren tampak terlelap dalam pelukan Leon. Suaminya itu dengan lembut menggendongnya hingga ke atas ranjang. Dengan hati-hati, Leon merebahkan Arren di atasnya. Pakaian dan sepatu telah ia lepaskan sepenuhnya. Arren tampak nyaman, meski belum membersihkan diri. Ia melanjutkan tidur, meski sempat terbangun sebentar. "Tidak ada yang akan menyakitimu lagi, Arren. Aku di sini untukmu," ucap Leon lembut, memeluknya dengan penuh kasih sayang. Leon kemudian tertidur di sisi Arren dengan penuh kelegaan. Ia berjanji bahwa tidak akan membiarkan Arren mengalami hal buruk seperti ini lagi. Leon juga bersumpah akan mengurus pengkhianat yang telah mencelakai keluarganya
"Tuan, biarkan saya yang menghukumnya," ucap Clark yakin. Untuk sesaat, Clark melempar pandangan pada Arren. Ia berharap Arren mendukung keputusannya demi rencana mereka. Arren tercenung, ia tidak sepenuhnya memahami sikap Clark, namun gadis itu segera membujuk Leon untuk tidak membunuh Vennina. "Biarkan Clark yang mengurusnya, Leon. Kau tidak perlu mengotori tanganmu," ucap Arren mencoba mempengaruhi Leon. Pria itu tampak tak senang. Ia benar-benar ingin menembak Vennina saat itu juga. Dalam ketegangan yang tengah berlangsung, Ford tiba-tiba masuk, memecah suasana yang mencekam di dalam ruangan. "Bos! Markas pedagang X terbakar! Semuanya tewas," lapornya dengan nafas terengah-engah. "Apa?!" Leon membelalak. Pedagang X seharusnya bisa ditangkap hidup-hidup untuk membuktikan keterlibatan Napoli dalam kekacauan yang terjadi. Selama beberapa waktu, Ford telah menyelidiki tentang hilangnya para tahanan secara tiba-tiba ketika kecelakaan mobil polisi.Ia terus melacak para tahanan da
Clark tersenyum licik, mengetahui bahwa Vennina pada akhirnya akan terpaksa patuh, meskipun tanpa kesepakatan. Tetapi, ia sadar bahwa membuat perjanjian akan lebih menguntungkan daripada mengancamnya secara frontal. Clark pun memutuskan memberi imbalan yang setimpal. "Bukankah kau merindukan kebebasan, Vennina?" Vennina terdiam sejenak, matanya mencoba menelusuri ekspresi wajah Clark yang sulit diprediksi. Vennina harus mencari tahu, apakah pria itu benar-benar bisa dipercaya. "Bagaimana aku bisa tahu bahwa kau akan memenuhi janjimu?" desak Vennina dengan nada skeptis. Clark tertawa dengan nada sinis yang menyayat telinga. Setelah puas mencemooh Venn dalam tawa sumbangnya, pria itu kembali menatap Vennina dengan ekspresi yang merendahkan. Bagaimana mungkin seorang tahanan sepertinya bisa meragukan tawaran kebebasan seperti ini? "Kau tak punya pilihan, Vennina. Aku bisa mengungkap semua rahasiamu jika kau menolak tawaranku. Bukankah ini peluang terbaik yang pernah kau dapatkan?"