Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga igey madam di @novelisdelilah agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
(Tiga Malam Sebelumnya) Gang Oldtown di ibu kota tengah tenggelam dalam gelap malam, bulan yang redup tak mampu lagi menerangi langit yang kian gulita. Di dalam markas pedagang X, sesosok misterius tampak terdiam dengan pandangan yang terfokus pada layar komputernya. Dengan penuh konsentrasi, jemarinya menari dengan lincah di atas keyboard, menghasilkan deretan kode yang menggelapkan layar di hadapannya. Beberapa kali ia mengetik perintah-perintah dengan lihai, namun, belum mendapatkan hasil optimal dari apa yang diusahakan. “Sial!” gerutunya dengan kekesalan yang memuncak. Gadis itu adalah seorang peretas ulung yang tengah mempersiapkan serangan daringnya. Biasanya, ia tak pernah gagal menjalankan tugas, namun kali ini, tugas yang diberikan terasa sulit sekali dirampungkan karena keamanan sistem yang cukup rumit. "Sistem keamanan yang kokoh ini akan kuhancurkan," gumamnya dengan rasa jengkel dan penuh tekad. Suaranya terdengar penuh keyakinan, seperti mantra gelap yang mengisi
Dalam hitungan detik, Arren merasa kehilangan kendali atas tubuhnya. Ia seolah-olah terjebak dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di tengah kegelapan yang menyelimuti pikirannya, Arren merasakan suara bisikan yang memekikkan kegembiraan, seolah-olah telah berhasil mengeksekusi misi yang telah direncanakan sebelumnya. Suara seorang pria dan wanita bergema di dalam pikiran Arren, bersahut-sahutan dengan sorak kegembiraan yang meriah. Tak lama kemudian, terdengar suara benda bergerak dengan roda menggelinding di sekitarnya, dan akhirnya benda itu berhenti tepat di hadapannya. Selanjutnya, Arren benar-benar terlelap dalam tidur panjang yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. *** “Berhati-hatilah, dan pastikan kau tidak melakukan kesalahan,” perintah Vennina dengan tegas, ia tampak sedang mengintai situasi di luar ruang ganti tersebut. “Baik, Nyonya. Anda tidak perlu khawatir,” sahut Pablo dengan keyakinan penuh. Di sampingnya, Rome sudah bersiap dengan sebuah kursi roda. Pria itu m
Arren merasa syok dan terguncang oleh situasi tragis di hadapannya. Dua orang telah menjadi mayat, dan kini, hanya tinggal dia dan Clark yang merupakan korban selamat. Clark memeriksa kedua korban yang telah tewas itu. Setelah yakin bahwa mereka benar-benar mati, ia mengulurkan tangan pada Arren dan membantu gadis itu berdiri. Arren terduduk lemas dengan badan bergetar akibat kepanikan yang tak dapat ia tahan. "A–apakah mereka semua mati?" tanyanya memastikan. "Ya, kau benar. Tegarlah Arren. Kita tidak punya pilihan," ucap Clark dingin, seolah-olah ia memang sering melihat mayat seperti itu. "Kau memakai topeng?" Arren baru menyadari tentang penampilan Clark yang misterius. "Bukankah ini seragamku, Nyonya?" sahut Clark dengan sedikit gurauan. Namun, dalam hati ia lega, karena kedua penjahat yang tewas di tangannya tak sempat mengenalinya berkat seragam bertopeng yang dituntut oleh Leon sebelumnya. "Ya, kau benar," ucap Arren sedikit lebih ringan. Perlahan-lahan, ia mulai tenang
“Tu–tuan Connor?” "Ya, senang kau mengenalku," sahut Leon dengan nada dingin. Rengkuhannya pada Arren tidak pernah lepas, ia memeluk tubuh gadis itu seolah-olah memastikan bahwa lengannya adalah perisai paling aman dan dunia tidak bisa menyakitinya. “Buka mobilnya!” perintah Leon dengan nada tegas kepada sopir mereka. Sopir itu segera menuruti perintah sang majikan, ia membuka pintu mobil dengan cepat. “Ma–maaf, Tuan. Nyonya harus ikut kami ke kantor polisi,” ucap sang inspektur dengan keragu-raguan yang jelas terlihat di matanya. Tampak jelas bahwa ia berusaha mengatasi rasa gemetarnya saat menghadapi Leonard Connor– pria yang cukup berkuasa di Canadak. Menghadapi pria itu membuat sang inspektur merasa seperti menghadapi badai yang siap mengamuk kapan saja tanpa aba-aba. Namun, ada kebenaran yang harus diungkapkan. Tugasnya sebagai polisi adalah untuk menegakkan keadilan. “Tidakkah kalian paham bahwa istriku adalah korban di sini?!” Leon berteriak. Suaranya terdengar bergemuruh
Arren dan Leon akhirnya kembali ke mansion setelah melewati hari yang penuh tekanan. Kedatangan mereka disambut oleh pelayan-pelayan setia, yang merasa lega melihat keduanya baik-baik saja. Kehangatan dan kelegaan menyelimuti suasana yang ada di dalam mansion megah itu. Arren dan Leon akhirnya dapat beristirahat dengan tenang. Arren tampak terlelap dalam pelukan Leon. Suaminya itu dengan lembut menggendongnya hingga ke atas ranjang. Dengan hati-hati, Leon merebahkan Arren di atasnya. Pakaian dan sepatu telah ia lepaskan sepenuhnya. Arren tampak nyaman, meski belum membersihkan diri. Ia melanjutkan tidur, meski sempat terbangun sebentar. "Tidak ada yang akan menyakitimu lagi, Arren. Aku di sini untukmu," ucap Leon lembut, memeluknya dengan penuh kasih sayang. Leon kemudian tertidur di sisi Arren dengan penuh kelegaan. Ia berjanji bahwa tidak akan membiarkan Arren mengalami hal buruk seperti ini lagi. Leon juga bersumpah akan mengurus pengkhianat yang telah mencelakai keluarganya
"Tuan, biarkan saya yang menghukumnya," ucap Clark yakin. Untuk sesaat, Clark melempar pandangan pada Arren. Ia berharap Arren mendukung keputusannya demi rencana mereka. Arren tercenung, ia tidak sepenuhnya memahami sikap Clark, namun gadis itu segera membujuk Leon untuk tidak membunuh Vennina. "Biarkan Clark yang mengurusnya, Leon. Kau tidak perlu mengotori tanganmu," ucap Arren mencoba mempengaruhi Leon. Pria itu tampak tak senang. Ia benar-benar ingin menembak Vennina saat itu juga. Dalam ketegangan yang tengah berlangsung, Ford tiba-tiba masuk, memecah suasana yang mencekam di dalam ruangan. "Bos! Markas pedagang X terbakar! Semuanya tewas," lapornya dengan nafas terengah-engah. "Apa?!" Leon membelalak. Pedagang X seharusnya bisa ditangkap hidup-hidup untuk membuktikan keterlibatan Napoli dalam kekacauan yang terjadi. Selama beberapa waktu, Ford telah menyelidiki tentang hilangnya para tahanan secara tiba-tiba ketika kecelakaan mobil polisi.Ia terus melacak para tahanan da
Clark tersenyum licik, mengetahui bahwa Vennina pada akhirnya akan terpaksa patuh, meskipun tanpa kesepakatan. Tetapi, ia sadar bahwa membuat perjanjian akan lebih menguntungkan daripada mengancamnya secara frontal. Clark pun memutuskan memberi imbalan yang setimpal. "Bukankah kau merindukan kebebasan, Vennina?" Vennina terdiam sejenak, matanya mencoba menelusuri ekspresi wajah Clark yang sulit diprediksi. Vennina harus mencari tahu, apakah pria itu benar-benar bisa dipercaya. "Bagaimana aku bisa tahu bahwa kau akan memenuhi janjimu?" desak Vennina dengan nada skeptis. Clark tertawa dengan nada sinis yang menyayat telinga. Setelah puas mencemooh Venn dalam tawa sumbangnya, pria itu kembali menatap Vennina dengan ekspresi yang merendahkan. Bagaimana mungkin seorang tahanan sepertinya bisa meragukan tawaran kebebasan seperti ini? "Kau tak punya pilihan, Vennina. Aku bisa mengungkap semua rahasiamu jika kau menolak tawaranku. Bukankah ini peluang terbaik yang pernah kau dapatkan?"
Setelah merasa puas menikmati setiap inci tubuh Arren, Leon akhirnya bangkit dari ranjang.Ia mulai menyesap teh yang telah disiapkan oleh pelayan.Sambil menanti Arren bangun dari tidurnya, Leon tampak serius membaca koran pagi ini. Matanya menatap tajam tulisan-tulisan di tajuk utama yang membuatnya mendengus marah. Berita hari ini mengenai kebakaran besar yang telah melanda Oldtown, beberapa malam sebelumnya. Meskipun hasil investigasi kepolisian menyatakan bahwa kebakaran tersebut disebabkan oleh korsleting listrik, Leon merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, sesuai saran Ford, ia harus berhenti mencurigai Napoli. Hal itu sangat menguras energi. “Mmhh....,” Arren menggeliat. Gadis itu akhirnya membuka mata. “Leon, kau curang!” gerutunya, dengan badan yang masih terasa lemah akibat aktivitas sebelumnya. Leon hanya tersenyum mendengar omelan yang datang dari sang istri. Ia lalu menuangkan teh panas untuk Arren, memberikannya dengan penuh perhatian. “Minumlah.” Ar
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.