Ayo kirimkan gem untuk cerita ini agar naik peringkat! Komen ya jika suka.. luv luv ~ @ novelisdelilah (igey)
Setelah merasa puas menikmati setiap inci tubuh Arren, Leon akhirnya bangkit dari ranjang.Ia mulai menyesap teh yang telah disiapkan oleh pelayan.Sambil menanti Arren bangun dari tidurnya, Leon tampak serius membaca koran pagi ini. Matanya menatap tajam tulisan-tulisan di tajuk utama yang membuatnya mendengus marah. Berita hari ini mengenai kebakaran besar yang telah melanda Oldtown, beberapa malam sebelumnya. Meskipun hasil investigasi kepolisian menyatakan bahwa kebakaran tersebut disebabkan oleh korsleting listrik, Leon merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, sesuai saran Ford, ia harus berhenti mencurigai Napoli. Hal itu sangat menguras energi. “Mmhh....,” Arren menggeliat. Gadis itu akhirnya membuka mata. “Leon, kau curang!” gerutunya, dengan badan yang masih terasa lemah akibat aktivitas sebelumnya. Leon hanya tersenyum mendengar omelan yang datang dari sang istri. Ia lalu menuangkan teh panas untuk Arren, memberikannya dengan penuh perhatian. “Minumlah.” Ar
Bab 52: Refleksi Kompleks Arren merasa terkejut melihat Clark di ruang latihan. Namun, kehadiran pria itu juga membuatnya penasaran. Dengan ragu, ia meraih tangan Clark dan bangkit berdiri. "Kabar apa?" tanya Arren, mencoba mengusir rasa penasarannya. Clark tersenyum asimetris. Alisnya terangkat sedikit, karena Arren tidak cepat tanggap dengan maksud kedatangannya. “Rencana kita, Arren.” Arren tersentak. Ia tidak mengira pembicaraan itu akan hadir dengan cepat. Arren pikir, rencana pelarian itu masih disusun dan belum akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Perasaan Arren menjadi tidak menentu. “Ehm… Apakah akan secepat ini?” tanyanya ragu. Entah mengapa, tiba-tiba Arren merasa belum siap. Ia baru saja menikmati sesi latihan bela diri bersama Leon. Hal itu cukup menyenangkan dan Arren masih belum ingin menyudahinya dengan segera. “Apa maksudmu dengan ‘secepat ini’? Kita bahkan telah gagal di rencana terakhir kali karena patroli sialan itu!” sungut Clark, yang merasa Arren mu
Sementara Arren merenungkan pilihan-pilihan sulit dalam keheningan malam, Leon sedang menyambut tamu tak diundang di kantor pusat Luna Club di ibu kota. Ford menghubungkan Leon, memberitahu bahwa ada seorang pria gila yang sedang mencari-cari Arren, istrinya. Rahang Leon mengeras ketika mendengar nama pria itu: Adam Hart. Dengan bergegas, Leon pergi ke ibu kota untuk menghadapinya. Awalnya, Ford tidak mengenalinya, namun ketika pria itu menyebut nama Arren, Ford baru menyadari bahwa itu adalah ayah dari Arren. Pria gila yang telah menjual putrinya sendiri sebagai barang jaminan ketika kalah dalam perjudian. Ford merasa bahwa pria ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia juga tidak bisa melupakan bahwa Leon semakin mencintai Arren, istri kecilnya. Kemunculan Adam Hart yang tiba-tiba seperti ini dapat mengguncang rumah tangga sang bos besar. Ford merasa perlu mengambil tindakan pencegahan, sebelum semuanya menjadi rumit. Dalam kerumunan orang yang mengelilingi pintu masuk kelab m
Dalam situasi yang menegangkan di sana, Leon memandang Adam dengan rasa acuh tak acuh yang nyata. Meskipun wajah pria itu menampilkan kepanikan dan keputus-asaan, Leon tidak merasa kasihan padanya. Pria tua itu telah menjual putrinya sendiri sebagai barang jaminan dalam perjudian. Keputusannya yang sembrono itulah yang membawanya ke dalam situasi rumit ini. "Ingatlah, Arren adalah milikku sekarang, dan aku akan melakukan segalanya untuk melindunginya. Jika kau berusaha membawanya kembali, kau akan menghadapi akibatnya." Leon memberi ancaman serius, ketika akhirnya memutuskan untuk melepaskan pria itu. Menahann Adam Hart di sini semakin lama hanya membuat Leon sakit kepala. Leon tidak ingin membuang waktu dan tenaganya yang berharga. “Lepaskan dia,” perintahnya pada kepala keamanan. “Baik, Bos!” sahutnya patuh dan melepaskan borgol pria tua itu. Ketika tangannya akhirnya terbebas dari belenggu, Adam segera menghambur ke arah Leon dan ingin menghajarnya habis-habisan. Sialnya, te
"Maaf, saya harus pergi, Nyonya, Tuan," Clark pamit sambil menundukkan kepalanya. Arren terentak, baru menyadari keberadaan Clark di sana. "Y–ya. Terima kasih, Clark," ucap Arren singkat. Leon mengangguk padanya dengan tenang. “Bisakah kita teruskan di kamar?” tanya Leon samnil mengangkat tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. “Turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri,” teriak Arren dengan perasaan malu. Ia kini sedang terayun dalam dekapan Leon yang tengah berjalan. “Kau lelah, aku menggendongmu agar tidak berjalan sendiri, nanti kakimu sakit.” Dahi Arren berkerut, bibirnya meruncing. Gadis itu selalu kalah cakap dengan Leon yang dapat membalikkan takdir sesuka hatinya. Ia tak lagi protes dengan keadaan ini. Leon memang sering menggendongnya ke manapun, hanya karena Arren tampak kurus dan lemah. Pria itu tidak sabar jika menunggu Arren mengayun langkah, yang bahkan tak lebih cepat dari seekor rubah. “Hhhh,” Arren mendengus, sambil menyembunyikan wajahnya. Ia masih merasa risih mes
Hari-hari telah berlalu dengan biasa. Arren dan Leon menjalani kehidupan mereka dengan kesibukan masing-masing. Leon terkadang pergi ke ibu kota untuk urusan bisnis, sedangkan Arren terus melatih diri agar semakin mahir berkelahi. Tentu saja Arren melakukan itu semua bukan untuk mencari masalah, namun sebagai pertahanan diri. Clark melatihnya dengan tekun, namun, durasi latihan mereka hanya berlangsung selama 2 jam setiap harinya. Leon melarang mereka berlatih terlalu lama, karena ia merasa cemburu, jika Arren dan Clark terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Meski Arren menggerutu dan berpikir bahwa alasan Leon tidak masuk akal, namun, gadis itu tidak punya pilihan. Menurut atau kelas dibatalkan. Hanya itu pilihan yang Leon berikan padanya. Tentu saja Arren tidak bisa berkutik dan memilih untuk menurut saja. "Hari ini kita akan latihan dengan menggunakan senjata, Arren. Aku harap, kau berkonsentrasi. Latihan ini akan sangat berbahaya," tegas Clark, yang mulai mengeluarkan b
Leon menyipitkan pandangannya, memindai gadis yang mengajaknya bicara. Rambut gadis itu berwarna hitam dan tergerai indah. Wajahnya kecil dan putih, seperti porselen Cina. Benar, wajahnya bahkan khas orang Asia, dengan mata monolid yang berhiaskan glitter emas di sekitarnya.Gaun merah yang dipadukannya dengan lipstik berwarna senada, membuatnya tampak mempesona. Namun, Leon menolak untuk terlalu lama terpaku pada kecantikannya. Ia merasa berdosa pada Arren jika melakukan hal itu."Maaf, aku tidak bisa berbahasa Cina," tolak Leon sekenanya. Padahal gadis tadi menawarinya minum menggunakan bahasa Inggris yang fasih."Hahaha...," Ford tergelak, menyadari bahwa Leon salah menolak mangsa. "Maaf, Nona. Sepertinya temanku ini sedikit mabuk," tukasnya."Padahal aku berbicara dengan bahasa Inggris, mengapa kau kira aku berbicara dengan bahasa Mandarin, Tuan?" protes gadis itu, kemudian mengambil kursi untuk duduk di sebelah Leon."Whoa!" Leon tersentak, dengan kedekatan dada sang gadis yang
Leon merasa kesadarannya semakin buram. Efek minuman yang dicampur oleh Mei Ling membuatnya merasa limbung dan kehilangan kendali atas tubuhnya. Ford telah terkapar tak sadarkan diri di sebelahnya. Sepertinya, efek minuman malam ini benar-benar membuat mereka tak berdaya. Dengan susah payah, Leon mencoba memusatkan pikirannya dan menilai situasi dengan cermat. Efek mabuk yang dirasakannya berbeda dari yang biasa. Leon menyadari bahwa ada campuran obat yang memicu gejolak birahinya. Gairahnya tiba-tiba meninggi, seperti sedang diberi perangsang secara sengaja. "Ahh, bagaimana ini? Aku sangat menikmati buruanku," desis Mei Ling sambil mencengkram dagu Leon. Gadis itu dengan buas melumat bibir Leon, kemudian memainkan lidahnya dengan liar. "Mmhh… arghh!" Untuk sejenak, Leon merasakan sensasi yang membingungkan antara nafsu dan kewaspadaan. Namun, ia segera menggigit lidah Mei Ling ketika sebuah kilatan cahaya tiba-tiba berkedip di antara mereka. "Bajingan!" geram Leon dengan ke