Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. TINGGALKAN ULASAN BINTANG 5 ya agar semangat menulis. Terima kasih sudah membaca.
Dalam kegelapan kamar yang semakin merayap, Leon kembali kehilangan kesadarannya.Efek bius yang ditancapkan seseorang padanya, kembali menguasai alam bawah sadarnya. "Ba--jingan!"Bruk! Leon kembali ambruk. Leon bisa merasakan kesadarannya yang memudar, dan kekuatannya yang perlahan menghilang.Sementara itu, Mei Ling bersama seorang pria bertopeng sedang berada di sisi tempat tidur.Dengan napas terengah-engah, Mei Ling tersenyum ke arah pria itu.Lampu kamar kembali menyala, dan pria itu melepaskan topengnya. "Kerja bagus, Mei Ling," pujinya, dengan selembar cek kosong dalam genggaman yang segera diserahkan kepadanya. "Senang berbisnis dengan Anda, Tuan," sahut Mei Ling yang segera mengambil cek itu. "Apakah Anda ingin saya membunuhnya?" tanya Mei Ling, sejurus kemudian. Adam Hart, sang pria bertopeng, menggeleng. Ia hanya menginginkan rekaman yang telah dikerjakannya. "Aku tidak ingin berbuat terlalu jauh. Aku hanya ingin putriku kembali.""Baiklah," Mei Ling segera beranja
Setelah insiden yang penuh bahaya, Leon ditemukan oleh para pengawalnya dalam keadaan yang sangat lemah dan tidak sadarkan diri.Mereka segera mengevakuasi Leon ke tempat yang aman.Setelah berhasil keluar dari situasi yang mengancam nyawa, kepala pengawal dengan cermat memeriksa luka-luka pada bosnya itu."Tidak ada luka serius," gumam kepala pengawal yang bertindak sebagai paramedis.Kepala pengawal hanya menemukan bekas-bekas lecet dan memar akibat pergulatan yang intens.Tidak ada luka terbuka yang cukup serius, ataupun tanda-tanda perdarahan internal yang mengkhawatirkan.Namun, meskipun luka fisiknya tampak tidak serius, kepala pengawal tetap prihatin dengan kondisi mental Leon.Setelah dipastikan bahwa Leon tidak mengalami luka serius yang mengancam nyawa, para pengawal memutuskan untuk membawanya kembali ke markas.Mereka memindahkan Leon dengan hati-hati, menghindari gerakan yang dapat memicu rasa sakit atau ketidaknyamanan lebih lanjut.Di markas, Leon diletakkan di tempat ti
Kembali ke momen ketika Arren mulai giat berlatih bersama Clark. Gadis itu tampak sangat bersemangat. Ia tidak ingin menjadi gadis yang lemah. Arren berjanji pada dirinya sendiri untuk dapat melindungi nyawanya ketika berada dalam bahaya. Arren muak jika terus-menerus menjadi sasaran kekejaman orang lain. Kali ini, Arren harus bisa menguatkan diri, baik secara mental maupun fisik. Arren sudah merasa semakin dewasa. "Kita akan berlatih pertarungan jarak dekat dengan senjata tajam," ujar Clark dengan serius. "Ingatlah, tujuan utama dari latihan ini adalah untuk melatih refleks dan kecepatanmu." Arren mengangguk, semangatnya kian berkobar. Ia telah bersiap sebaik mungkin untuk latihan ini. Meskipun Arren harap dapat berlatih dengan senjata api, namun, menurut Clark, Arren harus memahami pentingnya dasar-dasar pertarungan dengan belati. Arren menyadari betapa pentingnya kemampuan bertarung jarak dekat, terutama ketika serangan jarak jauh bisa diantisipasi oleh pengawal. "Baik, P
Gerimis di malam itu, terasa mencekam. Arren masih terbayang perasaan tidak nyaman akibat bekas luka tusukan. Luka di lengannya memang terasa nyeri, namun, luka di hatinya, lebih sakit lagi. "Bagaimana ini? Bagaimana jika Leon tidak lagi menginginkanku?" Gemuruh dalam dadanya, kembali menyapa. Arren seakan melupakan rencana melarikan diri dari sang mafia. Entah mengapa, penilaian sang suami menjadi penting dalam citra tubuhnya. Saat ini, Arren benar-benar merasa rendah diri dan tidak memiliki cahaya. "Tidurlah, Arren. Aku akan menjagamu,"Clark sudah di sisinya sejak ia dirawat, siang tadi. Sampai dini hari ini, pria itu masih setia di sana. Arren bahkan belum mendengar kabar tentang Leon. Apakah pria itu baik-baik saja? "Pergilah ke kamarmu, Clark. Aku tidak apa-apa," ucap Arren, sambil tidur membelakangi Clark. Hatinya tidak nyaman, karena terus memikirkan Leon. Clark mendengus, merasa diusir secara halus oleh Arren. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa. "Panggilah aku jika
Malam yang penuh gairah sekali lagi menguasai kamar Leon dan Arren. Dengan lembut, Leon melepaskan pakaian Arren satu per satu. Gadis itu terlihat canggung, namun, tidak ada lagi rona ketakutan di wajahnya."Kau begitu indah," bisik Leon.Tangan Leon merasakan setiap lekuk tubuh Arren, mengelusnya dengan penuh kasih dan sayang.Bibirnya yang haus akan hasrat liar, bermain di antara kulit wajah dan leher Arren, membangkitkan gairah yang membara dalam diri mereka berdua."Ah..," desah Arren, ketika bibir Leon menggoda bibirnya dengan lembut, kadang dengan gigitan ringan yang mengejutkannya."Bagaimana ini? Aku tidak bisa berhenti.”Tubuh Arren perlahan terangkat, melebur dalam dekapan hangat Leon. Sensasi penetrasi membawanya ke puncak gairah. Detak jantung keduanya semakin cepat, dan mereka saling terikat dalam kenikmatan yang terus membara."Aaah," Arren tak bisa menahan desakan gairah dalam dirinya.Setiap sentuhan Leon membuat hasratnya terbakar. Namun, dalam pikirannya, masih ada b
Sebuah video s*ks yang dibintangi oleh suaminya terpampang jelas di layar kaca. Arren merasa seolah dunianya runtuh. Air mata gagal tertahan dan mulai mengalir dari kedua matanya, meresapi wajahnya yang pucat dan seolah tanpa tenaga. Arren tidak pernah mengira akan melihat hal yang menyakitkan hatinya sejauh ini. "A--apa itu tadi?"Rasa marah, kecewa, dan bingung bercampur jadi satu di dalam dirinya. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin suaminya melakukan pengkhianatan seperti ini padanya?Arren menatap layar televisi dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ia merasa seperti dilemparkan ke dalam jurang yang tanpa ujung. Semua kenangan indah mereka jalin seolah pupus dalam sekejap. Cinta dan kepercayaan yang telah mereka bangun selama ini hancur begitu saja."Nyonya!!!" seru kepala pengawal tiba-tiba masuk ke kamarnya. Dengan sigap, ia melepas sambungan kabel yang ada pada perangkat elektronik di sana. Arren yang masih hanyut dalam kecemasan dan kesedihan, mendongak
"Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya kepala pengawal dengan ekspresi khawatir yang tampak jelas di wajahnya."Ya, Aku baik-baik saja," jawab Leon, meskipun masih terpancar rasa sesal dan amarah fi wajahnya. "Sudahkah kau identifikasi penyerangnya?" tanya Leon sejurus kemudian. "Sedang kami tangani, Tuan. Anda tidak perlu khawatir," sahut sang kepala pengawal dengan tegas. "Saya telah memanggil dokter. Tolong Anda segera ke ruang kerja."Leon mengernyit, merasa, kepala pengawal melakukan hal yang tidak perlu. "Ini demi Nyonya. Anda tidak ingin Nyonya merasa bersalah, Bukan?" Ucapan kepala pengawal terasa seperti mantra sihir. Leon tidak lagi mendebatnya. Beberapa saat kemudian, dokter yang dipanggil untuk memeriksa Leon tiba di ruang kerjanya. "Apa yang terjadi, Tuan?" tanyanya dengan spontan."Hanya... luka kecil," jawab Leon singkat. "Sudah lama tidak melihat Anda di sini, Dokter," komentar Leon, mencoba mencairkan suasana.Sang dokter tersenyum sambil memeriksa luka yang ada di
Leon menghela nafas dalam-dalam saat ia terbaring sendiri di sofa ruang kerjanya. Matanya memandang kosong ke langit-langit ruangan, dengan pikiran yang melayang jauh ke masa lalu. Kisah kelam keluarganya terus menghantuinya, mewarnai pikiran Leon dengan luka dan penderitaan yang tak pernah sembuh. Ibu Leon, Lesea, adalah sosok yang menjadi pemicu tragedi besar dalam hidupnya. Tragedi itulah yang membentuk dirinya menjadi pria buas seperti saat ini. Meski, ia tidak pernah merasa bahwa, dirinya bersikap seperti itu. "Kau binatang buas!"Penilaian Arren, serupa dengan penilaian wanita-wanita lain yang pernah dekat dengannya. Hal ini memberinya gambaran umum tentang dirinya sendiri. Leon tertidur tanpa sengaja.Rasa lelah dan beban di pundaknya, ia harap hilang musnah dengan ketiadaan kesadarannya. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Leon bermimpi tentang memori buruk, yang tidak pernah ingin ia panggil kembali. "Mom...," rintihnya, dengan keringat dingin yang mulai mengalir. R