Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Sebuah video s*ks yang dibintangi oleh suaminya terpampang jelas di layar kaca. Arren merasa seolah dunianya runtuh. Air mata gagal tertahan dan mulai mengalir dari kedua matanya, meresapi wajahnya yang pucat dan seolah tanpa tenaga. Arren tidak pernah mengira akan melihat hal yang menyakitkan hatinya sejauh ini. "A--apa itu tadi?"Rasa marah, kecewa, dan bingung bercampur jadi satu di dalam dirinya. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin suaminya melakukan pengkhianatan seperti ini padanya?Arren menatap layar televisi dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ia merasa seperti dilemparkan ke dalam jurang yang tanpa ujung. Semua kenangan indah mereka jalin seolah pupus dalam sekejap. Cinta dan kepercayaan yang telah mereka bangun selama ini hancur begitu saja."Nyonya!!!" seru kepala pengawal tiba-tiba masuk ke kamarnya. Dengan sigap, ia melepas sambungan kabel yang ada pada perangkat elektronik di sana. Arren yang masih hanyut dalam kecemasan dan kesedihan, mendongak
"Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya kepala pengawal dengan ekspresi khawatir yang tampak jelas di wajahnya."Ya, Aku baik-baik saja," jawab Leon, meskipun masih terpancar rasa sesal dan amarah fi wajahnya. "Sudahkah kau identifikasi penyerangnya?" tanya Leon sejurus kemudian. "Sedang kami tangani, Tuan. Anda tidak perlu khawatir," sahut sang kepala pengawal dengan tegas. "Saya telah memanggil dokter. Tolong Anda segera ke ruang kerja."Leon mengernyit, merasa, kepala pengawal melakukan hal yang tidak perlu. "Ini demi Nyonya. Anda tidak ingin Nyonya merasa bersalah, Bukan?" Ucapan kepala pengawal terasa seperti mantra sihir. Leon tidak lagi mendebatnya. Beberapa saat kemudian, dokter yang dipanggil untuk memeriksa Leon tiba di ruang kerjanya. "Apa yang terjadi, Tuan?" tanyanya dengan spontan."Hanya... luka kecil," jawab Leon singkat. "Sudah lama tidak melihat Anda di sini, Dokter," komentar Leon, mencoba mencairkan suasana.Sang dokter tersenyum sambil memeriksa luka yang ada di
Leon menghela nafas dalam-dalam saat ia terbaring sendiri di sofa ruang kerjanya. Matanya memandang kosong ke langit-langit ruangan, dengan pikiran yang melayang jauh ke masa lalu. Kisah kelam keluarganya terus menghantuinya, mewarnai pikiran Leon dengan luka dan penderitaan yang tak pernah sembuh. Ibu Leon, Lesea, adalah sosok yang menjadi pemicu tragedi besar dalam hidupnya. Tragedi itulah yang membentuk dirinya menjadi pria buas seperti saat ini. Meski, ia tidak pernah merasa bahwa, dirinya bersikap seperti itu. "Kau binatang buas!"Penilaian Arren, serupa dengan penilaian wanita-wanita lain yang pernah dekat dengannya. Hal ini memberinya gambaran umum tentang dirinya sendiri. Leon tertidur tanpa sengaja.Rasa lelah dan beban di pundaknya, ia harap hilang musnah dengan ketiadaan kesadarannya. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Leon bermimpi tentang memori buruk, yang tidak pernah ingin ia panggil kembali. "Mom...," rintihnya, dengan keringat dingin yang mulai mengalir. R
Tangis pilu Leon, berbanding terbalik dengan perasaan Arren.Gadis itu kini semakin yakin, bahwa Leon memang benar-benar tidak mencintainya tanpa bertanya lebih lanjut tentang maksud igauan dalam tidurnya."Ya... Leon... jangan cintai aku."Dua insan itu pun larut dalam pikiran buruk masing-masing, tanpa bisa saling memberitahu ataupun menanyakan lebih lanjut tentang perasaan mereka, sehingga menyebabkan kesalah-pahaman semakin membesar.Leon terus tertidur dalam pelukan Arren, tanpa menyadari bahwa, mimpi buruknya akan menjadi kenyataan.***Pagi hari pun tiba, Leon terbangun dalam perasaan yang lelah dan gelisah. Namun, ada satu momen yang membuat tidurnya kemarin terasa sedikit berbeda.Leon tidak mengetahui bahwa Arren terus bersamanya, sampai jelang subuh tiba. Gadis itu kemudian beranjak pergi, setelah para pelayan tampak bersiap untuk memulai pekerjaan mereka."Nyonya...,""Ssh..., biarkan Tuan tidur. Jangan beritahu dia kalau aku kemari."Kepala pelayan mengangguk takzim, kemu
Dalam pertimbangan yang matang, Leon akhirnya menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan. Ia telah membaca sekilas dokumen yang diberikan, dan Leon tidak pernah mencurigai Clark yang berkali-kali berhasil menyelamatkan nyawa sang istri."Baiklah, lakukan seperti itu."Saat kata-kata persetujuan meluncur dari bibir Leon, Clark memancarkan senyum tipis yang tampak mencurigakan. Leon tidak pernah mengira bahwa pria itu akan berkhianat.Setelah bermain peran sebagai pengawal yang submisif dan patuh tanpa pernah melawan, Clark menunjukkan sikap dominasi yang tidak biasa. Aura kebuasan mulai memenuhi ruangan itu, seakan bertumpuk dengan aura predator lain yang tengah menandai wilayah kekuasaannya.Baik Leon maupun Clark, dua-duanya tidak mengira bahwa mereka akan memakan satu sama lain dalam keheningan yang mencekam."Ada apa? Apa perintahku kurang jelas?" tanya Leon dengan nada yang menusuk tajam.Bulu kuduknya meremang, dengan situasi yang sulit diartikan. Matanya mulai menilai gera
(30 menit sebelumnya)Vennina merasa kegetiran mulai merayap, ketika ia terbaring di sudut gelap dan terkunci dalam penjara bawah tanah. Simulasi evakuasi mansion tengah berlangsung, namun sebagai tahanan, tentu saja Vennina tidak memiliki akses untuk mengetahui detailnya. Instruksi yang diberikan oleh Clark masih terngiang di pikirannya, begitu jelas dan tajam tanpa terlupa."Tepat ketika alarm darurat berbunyi, tekan pengendali jarak jauh ini."Hanya itu yang Clark katakan padanya. Seolah-olah pria itu sangat mengetahui, bahwa pada saat itu, segala hal akan berubah."Mana alarmnya?" gerutu Vennina tak sabar. Jantungnya sudah berdegup lebih kencang. Aura kebebasan mulai membayangi pikirannya, sehingga, ia tak sabar untuk segera menyelesaikan misinya. Tak lama kemudian, suara alarm darurat akhirnya berbunyi juga. Raungannya memecah kesunyian malam yang semakin gulita. Getarannya merasuki dinding penjara dan membelah udara yang larut dalam cengkraman kabut dingin, malam itu. Ven
Dalam kegelapan lorong yang semakin merangkak, Vennina, Clark, dan Arren terus berlari menuju ke arah pintu keluar.Pintu itu menjadi satu-satunya peluang untuk menuju wilayah lain, keluar dari Pulau Lesea.Sebuah perahu motor telah menunggu mereka dengan kesabaran yang luar biasa. Namun, rencana mereka hampir saja berantakan akibat pergokan seorang sipir yang juga melarikan diri dari kobaran api.Tanpa diduga, mereka bertemu di persimpangan lorong yang mengarah ke jalur utama dan ke dermaga. Situasi semakin rumit ketika keempat orang tersebut terlibat dalam persinggungan di dalam lorong untuk mencapai jalan keluar masing-masing."Berhenti di tempat!" seru sipir tersebut, memecah ketegangan di antara mereka. Suara langkah kaki dan peringatan kerasnya terdengar dari arah belakang. Dengan langkah cepat yang semakin mendekat, sipir itu mulai mengejar ketiga orang yang ia kira sebagai tahanan yang sedang melarikan diri.Vennina menoleh ke arah suara itu, sementara Arren dan Clark terus
Leon terpaku, memandang ke arah laut dengan tatapan kosong. Laut itu semakin menggelap, seolah dapat membaca suasana hatinya yang serupa. Angin bertiup kencang, menerpa wajahnya yang pucat.Hatinya berdesir dalam gejolak emosi yang sulit dijelaskan. Rasa marah, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu di dalam dirinya, membentuk gelombang emosi yang menghantam keras, tanpa pernah ia duga sebelumnya.Leon merasakan kehilangan yang begitu dalam setelah kepergian Arren.Jantungnya seperti tercabut tiba-tiba. Leon bahkan bisa merasakan napasnya yang semakin menderu, dalam ketegangan yang intens akibat perasaan amarah yang ia tahan."Tuan!"Kakinya tak lagi dapat menopang gemuruh dalam dirinya. Leon, pria itu benar-benar merasakan sakit yang tiada terperi. Ia kini ambruk dalam keadaan yang tidak pernah terjadi sebelumnya."Aku tidak apa-apa...," lirih Leon, kemudian mencoba bangkit. Meskipun, ia masih merasakan gejolak kegelisahan atas apa yang terjadi selanjutnya.Kepergian Arren meni