Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Jawaban ringan Clark membuat hati Arren nyeri.. “Mantan kekasih?” “Memangnya bukan?” Tatapan Arren semakin tajam, ia ingin mencakar wajah Clark yang seolah mudah membawa kenangan masa lalu mereka. “Kau banyak berbohong kepadaku, Clark!” “Tidak, Arrren. Aku tidak berbohong,” ucap Clark tegas. Namun, memang ia hanya tidak mengatakan segala hal pada gadis itu. "Malam ini bulan purnama," Clark tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Tatapannya melayang pada keindahan rembulan yang ada di atas kepala. Di dek kapal yang kecil, mereka duduk berdampingan, menyaksikan langit malam, meski dalam suasana yang tak ideal. Arren tidak menanggapi omong kosong Clak. Ia masih merasa, pria itu menyembunyikan sesuatu darinya. “Arren, tidakkah kau ingat pertemuan pertama kita?” tanya Clark, mencoba menggali masa lalu bersama sang mantan kekasih. “Tidak,” jawab Arren dingin. Ia kini meringkuk dan memegangi lututnya dengan erat, mencoba mengusir hawa dingin yang mulai mendesak masuk ke dalam tubuhn
Di tengah momen canggung itu, tiba-tiba suasana berubah drastis.Ombak datang menggulung dengan kuat, membuat kapal boat mereka terguncang hebat. Arren dan Clark terhempas ke sisi kabin, keduanya merasa cemas dan terkejut karena tidak menduga bahwa hal seperti ini akan terjadi.“Arren! Pegangan yang erat!” perintah Clark sambil berusaha menjaga keseimbangannya.Kapal berguncang hebat, dan mereka merasa sulit untuk tetap berdiri.Arren memegang teralis jendela, seperti yang diperintahkan, sambil mencoba menahan keseimbangan.Pandangan matanya mencari Clark yang berada tidak jauh darinya. "Clark, apa yang terjadi?" teriak Arren di tengah gemuruh ombak yang mengganas.Clark tampak tegang. Sebelum ia bisa menjawab, suara sirine memenuhi ruangan mereka. Situasi darurat sedang terjadi, dan para penumpang harus bersiap menghadapi situasi terburuk.Perubahan cuaca yang mendadak membuat nahkoda tidak dapat memprediksi kejadian ini sebelumnya.Mereka akhirnya berusaha sekuat tenaga untuk menye
“Rahasia?” “Ya…” “Hm…” Clark memandang wajah Arren dengan tatapan penuh arti, namun, Arren tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan pria itu. “Entahlah. Haruskah aku mengatakan semuanya padamu?” tanya Clark retoris, seakan, ia memang sedang menyembunyikan banyak hal. “Sudahlah, lupakan. Anggap kau tak pernah mendengar apapun dariku,” Arren terlihat merajuk, karena perkataannya tidak ditanggapi serius oleh Clark. Pria itu terkekeh, dan menilai bahwa sikap Arren itu sangat imut, seperti kucing yang sedang marah. “Kau akan mengetahuinya nanti, secepatnya,” sahut Clark misterius. Pria itu meraih rambut emas Arren yang tampak berkibar, tertiup angin laut. Dalam pandangannya yang memabukkan, ia seolah ingin mengulang kembali kehidupan sebelum Leon masuk dan merusak kebersamaan mereka. “Tidakkah kau ingin kembali padaku, Arren?” tanya Clark dengan seutas senyuman. Arren ragu untuk menjawab, namun, ia juga tidak dengan tegas menolak ajakan itu. Hatinya masih dilingkupi kebimbangan.
Pelabuhan Rossie terhampar di depan mata, memanjakan indera dengan pesona yang memukau bagi setiap orang yang singgah di sana.Matahari pagi memancarkan sinar emas yang lembut, menerobos awan tipis dan menyinari segala sudut bangunan-bangunan di seberang dermaga. Dermaga kayu yang kokoh, tampak memancarkan kilauan alami, dengan hentakan air laut yang terkadang menyentuh ujung-ujungnya. Jejak pasir lembut yang tertinggal di sepanjang dermaga, mengingatkan pengunjung akan perjalanan pasang surut yang masih terus berlangsung di sana. Pohon-pohon kelapa berkibar, dengan daun yang menari-nari, menangkap hembusan angin laut yang masih sejuk dan menciptakan harmoni yang menenangkan hati.Namun, segala keindahan yang tersaji, tidak membawa kesenangan bagi hati Arren. Malah sebaliknya, situasi itu mengundang kenangan-kenangan buruk di masa lalu yang tidak ingin diingatnya kembali. Lagi-lagi, gambar mawar itu, mawar emas yang sangat ia benci, muncul di hadapannya."Clark! Katakan! Apakah in
"Tuan! Akh... Tuan!" "Errgh... akh! Kau sangat nikmat, Sayang." Adam Hart terkulai lemas di samping wanita penghibur yang menjadi penghangat ranjangnya, malam ini. Di sela-sela kesibukannya untuk mendapatkan Arren kembali, ia masih sempat membeli kenikmatan seperti ini. Apalagi kalau bukan dari uang saku yang diberikan oleh Abigail Rossie. "Anda akan memanggil saya lagi, Kan?" tanya wanita itu dengan gerakan menggoda, jemarinya mulai meremas-remas kejantanan Adam yang sudah tak berdaya. "Ya, tentu saja. Jangan berikan slot waktumu untuk pria lain..." Di tengah panasnya kamar mereka, sebuah dobrakan keras di pintu, mengejutkan keduanya. "Adam Hart?!" Adam melonjak kaget, sekonyong-konyong menutupi tubuh polosnya yang tampak penuh keriput itu dengan segera. "A--Abbey! Apa yang kau lakukan!" "Bisa-bisanya kau bersenang-senang di saat genting seperti ini! Dasar sampah!" Wanita itu melemparkan tasnya ke arah Adam, dengan kemurkaan yang luar biasa. Wanita penghibur yang ada di
(20 tahun yang lalu)Tuan Besar Rossie adalah seorang veteran perang.Ia berhasil kembali ke wilayahnya dengan selamat, berkat sebuah mukjizat.Pada hari kepulangannya, Tuan Besar membawa seorang anak laki-laki yang disebut sebagai penyelamat nyawanya.Anak tersebut berhasil mencegah Tuan Besar menginjak ranjau yang tersembunyi di wilayah buruan, dan sebagai tanda terima kasih, Tuan Besar membawa anak pemberani itu ke Mansionnya.Anak tersebut adalah Clark.Tuan Besar pernah berkata, "Aku ingin kau menjadi pelita, seperti anak-anak pemberani pada umumnya."Ucapan itu meninggalkan kesan di dalam hati Clark, yang kemudian bersumpah untuk melindungi keluarga Rossie seumur hidupnya.Beberapa tahun berlalu, Clark tumbuh menjadi remaja pemberani, yang kemudian menjadi tangan kanan Tuan Besar.Dengan cermat ia mengamati situasi di Wilayah Rossie sebelum akhirnya memulai tugas pertamanya sebagai pengawas, di usia yang masih sangat muda.Tuan Besar sangat mempercayainya, hingga memberikan tangg
Seiring berjalannya waktu, Clark yang berada jauh dari wilayah Rossie, menempa dirinya dengan beragam latihan fisik dan senjata, agar bisa membekali dirinya sendiri, dan mencari pekerjaan. Ia bergabung dengan tentara bayaran, yang melakukan pekerjaan kotor demi mendapatkan beberapa peser uang. Mencuri, membunuh, menculik, ia lakukan, sebagai bagian dari pekerjaan berbahaya yang ia tekuni dengan keahlian yang dimiliki. Janji tinggallah janji, Tuan Besar tidak pernah datang lagi. Clark merasa terputus dari kesempatan gemilang yang sempat membentang. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya, remaja itu tumbuh menjadi pria matang yang penuh dendam dan kebencian. Sampai suatu hari, datang tawaran untuk menghabisi seorang nona muda, namun Clark menolaknya. Meski berprofesi sebagai tentara bayaran, tapi Clark tidak membunuh wanita ataupun anak di bawah umur, itulah prisipnya. Didesak oleh keadaan, Clark, mau tidak mau akhirnya mencoba mendengar permintaan calon kliennya ini. Betapa terkeju
Memenggal kepala Tuan Muda, adalah kegiatan yang biasa saja bagi Clark.Pria itu tewas, dalam sekali sabetan pedang. Clark memang pembunuh berdarah dingin yang tidak segan-segan berlumur darah, jika memang hal itulah yang seharusnya dilakukannya. Namun, ternyata, gemuruh di dadanya tidak juga hilang seperti yang ia kira.Rasa hampa dan amarah masih menggelegak dalam dirinya.Clark akan menuntut balas kepada keluarga Rossie, karena telah memporak-porandakan impian, yang dulu pernah mereka janjikan.Clark merasa dirinya telah diperdaya oleh iming-iming masa depan yang tak pernah terwujud.Semua itu mendorongnya untuk menuntut balas pada keluarga yang pernah memberikan harapan palsu kepadanya.Seandainya saja, Tuan Besar tidak mengadopsinya, atau membisikkan kata-kata manis seperti madu, tentu saja Clark tidak akan merasa seperti benalu. Ekspektasi berbanding terbalik dengan realita.Impian-impian yang pernah membara dalam diri Clark, hancur berkeping-keping, dan ekspektasinya yang tin
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.