Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Seiring berjalannya waktu, Clark yang berada jauh dari wilayah Rossie, menempa dirinya dengan beragam latihan fisik dan senjata, agar bisa membekali dirinya sendiri, dan mencari pekerjaan. Ia bergabung dengan tentara bayaran, yang melakukan pekerjaan kotor demi mendapatkan beberapa peser uang. Mencuri, membunuh, menculik, ia lakukan, sebagai bagian dari pekerjaan berbahaya yang ia tekuni dengan keahlian yang dimiliki. Janji tinggallah janji, Tuan Besar tidak pernah datang lagi. Clark merasa terputus dari kesempatan gemilang yang sempat membentang. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya, remaja itu tumbuh menjadi pria matang yang penuh dendam dan kebencian. Sampai suatu hari, datang tawaran untuk menghabisi seorang nona muda, namun Clark menolaknya. Meski berprofesi sebagai tentara bayaran, tapi Clark tidak membunuh wanita ataupun anak di bawah umur, itulah prisipnya. Didesak oleh keadaan, Clark, mau tidak mau akhirnya mencoba mendengar permintaan calon kliennya ini. Betapa terkeju
Memenggal kepala Tuan Muda, adalah kegiatan yang biasa saja bagi Clark.Pria itu tewas, dalam sekali sabetan pedang. Clark memang pembunuh berdarah dingin yang tidak segan-segan berlumur darah, jika memang hal itulah yang seharusnya dilakukannya. Namun, ternyata, gemuruh di dadanya tidak juga hilang seperti yang ia kira.Rasa hampa dan amarah masih menggelegak dalam dirinya.Clark akan menuntut balas kepada keluarga Rossie, karena telah memporak-porandakan impian, yang dulu pernah mereka janjikan.Clark merasa dirinya telah diperdaya oleh iming-iming masa depan yang tak pernah terwujud.Semua itu mendorongnya untuk menuntut balas pada keluarga yang pernah memberikan harapan palsu kepadanya.Seandainya saja, Tuan Besar tidak mengadopsinya, atau membisikkan kata-kata manis seperti madu, tentu saja Clark tidak akan merasa seperti benalu. Ekspektasi berbanding terbalik dengan realita.Impian-impian yang pernah membara dalam diri Clark, hancur berkeping-keping, dan ekspektasinya yang tin
“Clark… ba–gaimana kau tahu tempat ini? A–apakah kau… mata-mata yang dikirim oleh nenekku?”Clark tampak membeku, ia bahkan tidak berdalih untuk menepis anggapan keliru dari sang nona muda.Clark tak dapat menyembunyikan perasaan ambigu di dalam dirinya.Clark benar-benar telah menjadi pengawal berengsek, yang entah bagaimana, begitu mendambakan cinta tuannya.Sungguh, jika ia bisa berteriak saat ini juga, niscaya Clark akan mengutuk dirinya sendiri, karena telah bersikap seperti sampah modern abad ini."A--aku..." suaranya tercekat. Tidak biasanya, Clark menjadi peragu seperti itu."Clark! Katakan!" Arren mulai mengguncang-guncangkan bahu Clark yang tampak merosot. Pria itu sedang tidak dalam keadaan seperti biasanya."Nenekmu memberi tugas padaku...""Jadi? Selama ini? Argh..."Arren tampak pusing, ia hampir terjatuh. Clark segera menangkapnya dengan satu tangan, sebelum kepala gadis itu membentur batu."Ka--kau hanya berpura-pura menjadi kekasihku? Penyelamatku? Semuanya itu?"Saa
Halo pembaca setia novel Madam 😄Per episode ke-80 ini, "Gairah Cinta Om Mafia" telah menyelesaikan musim pertamanya. Terima kasih atas dukungan pembaca semua. Nggak nyangka banget, selama nulis 30 hari ini, bisa menghasilkan 80 episode, ini berkat doa dan dukungan pembaca semua. SEKILAS INFO UNTUK SEASON KE-2Di musim ini, cerita akan lebih fokus pada perjalanan Arren menempa diri dan juga intrik politik dalam wilayah keluarganya. Oho! Yes! Arren adalah cucu penguasa wilayah, jadi identitasnya bukan kaleng-kaleng! Ketika mulai melepaskan diri dari Leon, Arren mulai menyadari bahwa, menjadi wanita berdikari itu sangat penting! Meski dengan bantuan Clark, our second male-lead yang tersayang. Tolong jangan membencinya ya. Clark emang gitu orangnya. XixixiNah, Semoga terhibur. Di musim ini, pengujian cinta Leon dan Arren akan menghadapi tantangan serius. ***Kindly note:- Kirimkan gem untuk novel ini agar naik peringkat ya, dan bisa dibaca bersama-sama, - Ulasan bintang 5 akan
Mata keriput sang nenek, entah mengapa membawa perasaan asing dalam diri Arren. Gadis berhati lembut itu, tentu saja tidak tega jika ingin menuntut penjelasan sang nenek, karena, wanita itu terlihat rapuh dan lemah. Namun, gejolak dalam diri Arren mengatakan sebaliknya. Ia harus mengetahui segala siasat dari wanita tua itu, yang telah mengacak-acak tatanan hidupnya. Rahang Arren mulai mengeras, tatkala sang nenek tersenyum seakan tanpa dosa. Bagaimana bisa wanita tua itu berhati dingin dan tidak menampakkan penyesalan dalam dirinya sama sekali? Arren sangat muak melihatnya. “Arren, duduklah. Kau ingin segelas coklat hangat?” tanya sang nenek, sambil membimbing cucunya itu menuju ke sofa pertemuan. Jalinan tangannya tetap hangat, seperti tidak pernah ada masalah apapun di antara mereka, sebelumnya. Namun, Arren benar-benar jengah dengan sikap sang nenek yang seolah melupakan segala tindakan buruk kepada keluarganya, dulu kala. Arren benar-benar tidak ingin berada lebih lama lagi d
Adam Hart tampak menggigiti kuku jarinya hingga mengucurkan darah, tatkala sambungan telepon yang sedang ditunggunya tidak juga mendapatkan respon dari si pemilik nomor suara. "Sial!" Ia membanting gagang telepon yang ada di meja itu dengan penuh amarah. "Bagaimana? Kemana pembunuh itu? Mengapa dia tidak mengangkat teleponmu?" cecar Abigail dengan bersungut-sungut. Wanitu itu tampak kesal, karena Adam tidak juga memberikan hasil yang ia harapkan. Abigail telah kehilangan kesabaran, karena, Arren tidak kunjung ditemukan."Berhentilah mengomel, Abbey! Aku juga tidak tahu dia ada di mana!" sahut Adam ketus, yang kali ini tampak memandang gusar pesawat telepon itu dengan amarah yang terpendam. Pria itu juga sedang dilanda kepanikan, sama seperti sang adik ipar. Bagaimana mungkin ia tahu segala hal? Jika pembunuh yang dikirimnya pun tidak kunjung memberikan laporan. "Pergilah ke markasnya! Dasar bodoh!""Aku tidak tahu markas barunya!""Astaga!!!" Abigail melemparkan tasnya ke arah A
"Coba ceritakan dari awal!" tuntut Arren, semakin mencium bau yang mencurigakan dari sang bibi."Begini, Nona..."Pelayan tua itu pun memulai kisahnya, mengungkap asal mula kecurigaan yang merayap dalam benaknya. Kecurigaan itu bukanlah tanpa dasar, mengingat, kehadiran dokter baru yang mendadak, menjadi kunci utama perubahan sang Nyonya besar. Semuanya dimulai dengan perubahan yang cukup drastis dalam kesehatan sang Nyonya. Mereka yang setia melayani keluarga Rossie selama bertahun-tahun, mulai cemas, karena sang Nyonya semakin hari semakin lemas. Nyonya besar yang dulunya energik dan lincah, kini semakin lama, semakin terbaring lemah.Usia memang memiliki andil dalam perubahan ini, namun, sesuatu yang lebih misterius tampak terjadi. Nyonya besar yang biasanya senang berjalan-jalan di taman pada pagi hari, kini hanya meringkuk di ranjangnya tanpa ingin melakukan apa-apa lagi. Perubahan ini sangat aneh dan membingungkan, karena, Nyonya besar biasanya sangat telaten dalam menjaga
Keputusan Arren yang dramatis itu, tentu setelah melewati pertimbangan yang matang olehnya. Arren akan melanjutkan tanggungjawab sebagai salah satu pewaris Rossie, dengan mempertahankan martabat dan keamanan wilayah ini. "Doakan aku, Ibu... aku akan pergi, jika semua sudah kembali pada tempatnya..." lirihnya sambil membiarkan wajahnya dihantam derasnya air hujan yang meluncur turun dari langit kelam. Keteguhan tekadnya seakan datang secara tiba-tiba, dengan bantuan tak kasat mata dari mendiang ibunda. Arren, gadis yang baru akan menginjak usia ke-20 tahun itu, akan mencoba mendewasakan dirinya. Meski, tanpa bimbingan nyata dari orang yang lebih tua darinya. Untuk sementara, Arren harus mencari Paman yang dahulu menjadi ajudan neneknya. Ia akan meminta bantuan padanya. Berbagai rencana dan harapan, melesat, melintas secara tiba-tiba dalam pikirannya. Arren tak dapat membendung segala tekad dan upayanya ke depan, untuk memulai langkah pertamanya. Derasnya hujan semakin menjadi-jad
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.