Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Tubuh Clark dengan lembut menyentuh permukaan kulit Arren yang tadinya membiru. Beruntung, berkat pemanas ruangan, suhu di sekitar mulai menghangat, hal itu cukup menenangkan. "Arren..." panggil Clark pelan, dengan menggosok-gosokkan tangan dan kaki Arren secara perlahan. Sentuhan kulit ke kulit yang ia lakukan, tak ubahnya misi bunuh diri, yang membuat perasaan Clark tertekan. Betapa tidak, pria itu tak dapat menangkal gairah yang tiba-tiba menggelegak. Seakan, mencari peluang, untuk mendaratkan kejantanannya ke sarang, yang begitu menggoda iman. Deru napas Clark semakin memburu, tatkala tonjolan tubuh Arren tiba-tiba menyentuh dadanya, ketika berbalik arah secara tiba-tiba. Namun, dalam keadaan genting seperti ini, Clark tahu, ia tidak boleh terpancing oleh hawa nafsu.Ia harus tetap fokus pada tugasnya untuk merawat Arren, sehingga mencegah tubuh gadis itu kembali membiru. Sementara itu, rasa cemas mulai menghantuinya, karena belum ada tanda-tanda bahwa Arren akan segera bang
Di ruang kontrol keamanan Mansion Leon, suasana terasa tegang. Leon, sang pemilik rumah mewah itu, tampak duduk di depan layar komputer besar, dengan wajahnya pucat-lesu yang tidak terelakkan. Istrinya, Arren, telah menghilang tanpa jejak. Kegelisahan Leon semakin mendalam seiring berjalannya waktu. Ia tidak dapat membayangkan, bagaimana Arren hidup di luar sana tanpa penjagaannya."Daerah mana lagi yang kau periksa?" tanya Leon dengan suara gemetar pada kepala keamanan, yang telah bekerja tanpa henti dalam upaya melacak keberadaan sang istri.Kepala keamanan, seorang pria dengan pengalaman yang luas dalam pekerjaannya, tampak serius saat mengecek data di layar komputer."Kami sudah memeriksa setiap kemungkinan tempat yang menjadi rute pelarian mereka, Tuan. Sayangnya, sampai saat Ini, kami belum mendapatkan jejak yang pasti."Leon mengacak rambutnya dengan kasar. Napasnya tampak memburu, dengan wajah yang kian memerah karena memendam amarah.Ia mencoba untuk tetap tenang, namun, keh
Kapal yang diinginkan oleh Leon, sedang dalam perjalanan.Sambil menunggu, Leon berniat untuk berpamitan pada Ford, sebagai orang kepercayaan. Pria itu pun menemui Ford di pusat kota, sambil menghabiskan waktu bercengkrama, sebelum akhirnya esok harus berlayar jauh darinya. "Bos!" panggil Ford, dari arah pintu masuk. Leon sudah berada di bar itu lebih dulu, mulai menghabiskan gelas pertamanya dengan tergesa. Hentakan alkohol membuat nyeri di kepalanya, namun, akhirnya, Leon mulai merasakan kenikmatan yang diciptakannya. Pria itu menoleh cepat, saat Ford memanggilnya. Ia kemudian memberikan senyuman samar, pertanda senang dengan kehadiran sahabat lama yang ia nantikan. Bar itu terasa begitu berbeda dari kelab malam mereka. Sebuah tempat yang tidak cukup dikenal, sehingga memberikan privasi yang kental. Ford berjalan mendekati Leon , kemudian duduk di sampingnya. Ia memperhatikan temannya itu dengan cukup cermat. Pandangannya menyapu ke seluruh tubuh sang mafia, yang terkenal kej
Keesokan paginya, sinar matahari perlahan menerobos jendela kamar Arren yang terbuka lebar. Cahayanya yang hangat mulai menyapa wajahnya yang tampak tenang dalam tidur lelap. Arren telah menghabiskan malamnya dengan ketenangan setelah perawatan yang diberikan oleh dokter kemarin malam. Di sebelah tempat tidurnya, tampak Clark yang sedang duduk tertidur, dengan sikap siaga, seolah-olah semalam, ia telah berjaga hanya untuk Arren saja. Clark tiba-tiba membuka mata, ketika sinar matahari mulai menerpa wajahnya.Matanya kemudian langsung mencari sosok Arren, yang ternyata hanya berada tiga langkah di depannya.Dengan penuh perhatian, ia memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja."Syukurlah," gumamnya lega. Tidak butuh waktu lama, Arren pun mulai terbangun dari tidurnya. Ia menggeliat pelan sebelum membuka mata. Ketika pandangannya kembali fokus, Arren melihat wajah yang sangat akrab baginya."Clark..." gumamnya pelan sambil tersenyum lemah.Pria itu tersenyum hangat sebagai sambutan.
Keesokan paginya, ketegangan masih menyelimuti Mansion Rossie. Clark dan tim pencari tetap berjuang untuk melacak keberadaan sang Nyonya besar Rossie. Segala petunjuk yang bisa membawa mereka pada keberadaan Nyonya besar, akan segera mereka dapatkan.Clark tidak akan menyerah begitu saja, karena, bisa saja, nyawa Nyonya besar sedang berada dalam bahaya."Coba kita kembali ke Kamar Nyonya Besar," ucap Clark, mencoba mencari petunjuk lebih dalam.Mereka setuju, dan mulai bergerak menuju ke lantai dua, ke arah Kamar sang Nyonya. Kamar Nyonya Besar adalah sebuah ruangan yang terlihat anggun dan penuh dengan barang-barang mewah yang antik. Perabotan kayu berlapis emas dengan hiasan dinding yang indah menghiasi ruangannya. Arren dahulu menghabiskan banyak waktu bersama neneknya di sana, ketika masih belia. Arren senang mendengarkan cerita-cerita masa lalu dan nasihat bijak yang selalu diberikan oleh beliau, ketika masih jaya. Namun, di dalam kamar itu, tidak terdapat petunjuk yang menga
Clark yang menerima tugas pertama dari sang Nona muda, akhirnya melangkahkan kaki dengan gegap gempita. Ia senang, karena pada akhirnya diakui sebagai salah satu tangan kanan sang Nona, meski hanya secara lisan saja. Tetapi, hal itu bukanlah hal yang ia risaukan saat ini, karena wilayah Rossie secara keseluruhan sedang berada dalam ancaman.Sejak Nyonya besar mulai menunjukkan gejala pre-demensia, semuanya menjadi berubah. Nyonya besar adalah sosok yang dihormati dan dihargai oleh semua orang di Mansion Rossie. Namun, sekarang, ia telah menjadi orang yang hampir tidak mengenal cucunya sendiri."Sekarang, katakan, sejak kapan Nyonya besar menjadi seperti itu?" tanya Clark kepada kepala keamanan, yang dahulu ia percayakan untuk menjaga sang Nyonya besar.Kepala keamanan itu menggelengkan kepala dengan lesu. "Hhh... Nyonya sudah setahun ini mengidap pre-demensia, Tuan. Gejalanya semakin memburuk, terutama setelah Nyonya Abigail mengganti dokter pribadinya."Clark mengeraskan rahangnya
"Mmh..." erang Arren, tatkala Leon mulai mencumbui leher jenjangnya yang bebas rambut karena baru saja ia. kuncir kuda. "Sayang, kau sangat cantik..." puji Leon dengan meninggalkan jejak-jejak cinta di antara kulit putih susu Arren, istrinya. Gigitan demi gigitan, berpadu dengan deru napas yang kian memburu, membuat jantung Arren menjadi terpacu. Pria itu, selalu memiliki cara untuk memenangkan gairahnya. "Ah..." desah Arren yang kini terlentang tanpa busana. Baru saja, jemari Leon tampak menyibak gaun malam yang sedang dikenakannya, dan membuangnya begitu saja. "Kau lebih cantik seperti ini," gumamnya sambil mulai menyesap kulit polos istrinya, dengan rakus dan penuh makna. Arren menggeliat, mencoba menangkal desiran darah yang kian memenuhi kepalanya. Namun, gadis itu akhirnya luluh juga. "Aku akan masuk... " ucap Leon yang kini telah menyiapkan kejantanannya. Pria itu dengan perlahan memasukkan miliknya ke dalam inti tubuh Arren, kemudian menggerak-gerakkannya dengan penuh
Pagi di Mansion Rossie yang tenang, mendadak berubah menjadi menegangkan. Sorak-sorai dari kerumunan orang di pintu gerbang, merobek ketenangan pagi yang biasanya mereka alami. Gerombolan warga, mulai dari pria, wanita dan juga anak-anak, tampak berdesakan di depan gerbang Mansion Rossie. Mereka seakan ingin merangsek masuk dan membuat keributan. Mereka telah mengantri di sana sejak fajar tadi, agar dapat menginjakkan kaki di Mansion Rossie. Para pengawal yang bertugas di pintu gerbang, tampak kesulitan untuk menjaga ketertiban. Gerombolan orang yang ingin masuk ke dalam, semakin bertambah jumlahnya. Mereka menjadi semakin sulit dikendalikan."Kami ingin bertemu Nyonya Rossie!" pekik seorang pria dengan suara lantang, yang menyebabkan kegaduhan semakin tidak karuan. Dengan penuh amarah, pria itu tampak ingin menuntut pertanggung-jawaban sang Nyonya yang tampak menelantarkan mereka. Sorak-sorai dan teriakan lainnya saling bersahutan, membuat para pengawal semakin kewalahan. Mereka
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.