Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Kapal yang diinginkan oleh Leon, sedang dalam perjalanan.Sambil menunggu, Leon berniat untuk berpamitan pada Ford, sebagai orang kepercayaan. Pria itu pun menemui Ford di pusat kota, sambil menghabiskan waktu bercengkrama, sebelum akhirnya esok harus berlayar jauh darinya. "Bos!" panggil Ford, dari arah pintu masuk. Leon sudah berada di bar itu lebih dulu, mulai menghabiskan gelas pertamanya dengan tergesa. Hentakan alkohol membuat nyeri di kepalanya, namun, akhirnya, Leon mulai merasakan kenikmatan yang diciptakannya. Pria itu menoleh cepat, saat Ford memanggilnya. Ia kemudian memberikan senyuman samar, pertanda senang dengan kehadiran sahabat lama yang ia nantikan. Bar itu terasa begitu berbeda dari kelab malam mereka. Sebuah tempat yang tidak cukup dikenal, sehingga memberikan privasi yang kental. Ford berjalan mendekati Leon , kemudian duduk di sampingnya. Ia memperhatikan temannya itu dengan cukup cermat. Pandangannya menyapu ke seluruh tubuh sang mafia, yang terkenal kej
Keesokan paginya, sinar matahari perlahan menerobos jendela kamar Arren yang terbuka lebar. Cahayanya yang hangat mulai menyapa wajahnya yang tampak tenang dalam tidur lelap. Arren telah menghabiskan malamnya dengan ketenangan setelah perawatan yang diberikan oleh dokter kemarin malam. Di sebelah tempat tidurnya, tampak Clark yang sedang duduk tertidur, dengan sikap siaga, seolah-olah semalam, ia telah berjaga hanya untuk Arren saja. Clark tiba-tiba membuka mata, ketika sinar matahari mulai menerpa wajahnya.Matanya kemudian langsung mencari sosok Arren, yang ternyata hanya berada tiga langkah di depannya.Dengan penuh perhatian, ia memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja."Syukurlah," gumamnya lega. Tidak butuh waktu lama, Arren pun mulai terbangun dari tidurnya. Ia menggeliat pelan sebelum membuka mata. Ketika pandangannya kembali fokus, Arren melihat wajah yang sangat akrab baginya."Clark..." gumamnya pelan sambil tersenyum lemah.Pria itu tersenyum hangat sebagai sambutan.
Keesokan paginya, ketegangan masih menyelimuti Mansion Rossie. Clark dan tim pencari tetap berjuang untuk melacak keberadaan sang Nyonya besar Rossie. Segala petunjuk yang bisa membawa mereka pada keberadaan Nyonya besar, akan segera mereka dapatkan.Clark tidak akan menyerah begitu saja, karena, bisa saja, nyawa Nyonya besar sedang berada dalam bahaya."Coba kita kembali ke Kamar Nyonya Besar," ucap Clark, mencoba mencari petunjuk lebih dalam.Mereka setuju, dan mulai bergerak menuju ke lantai dua, ke arah Kamar sang Nyonya. Kamar Nyonya Besar adalah sebuah ruangan yang terlihat anggun dan penuh dengan barang-barang mewah yang antik. Perabotan kayu berlapis emas dengan hiasan dinding yang indah menghiasi ruangannya. Arren dahulu menghabiskan banyak waktu bersama neneknya di sana, ketika masih belia. Arren senang mendengarkan cerita-cerita masa lalu dan nasihat bijak yang selalu diberikan oleh beliau, ketika masih jaya. Namun, di dalam kamar itu, tidak terdapat petunjuk yang menga
Clark yang menerima tugas pertama dari sang Nona muda, akhirnya melangkahkan kaki dengan gegap gempita. Ia senang, karena pada akhirnya diakui sebagai salah satu tangan kanan sang Nona, meski hanya secara lisan saja. Tetapi, hal itu bukanlah hal yang ia risaukan saat ini, karena wilayah Rossie secara keseluruhan sedang berada dalam ancaman.Sejak Nyonya besar mulai menunjukkan gejala pre-demensia, semuanya menjadi berubah. Nyonya besar adalah sosok yang dihormati dan dihargai oleh semua orang di Mansion Rossie. Namun, sekarang, ia telah menjadi orang yang hampir tidak mengenal cucunya sendiri."Sekarang, katakan, sejak kapan Nyonya besar menjadi seperti itu?" tanya Clark kepada kepala keamanan, yang dahulu ia percayakan untuk menjaga sang Nyonya besar.Kepala keamanan itu menggelengkan kepala dengan lesu. "Hhh... Nyonya sudah setahun ini mengidap pre-demensia, Tuan. Gejalanya semakin memburuk, terutama setelah Nyonya Abigail mengganti dokter pribadinya."Clark mengeraskan rahangnya
"Mmh..." erang Arren, tatkala Leon mulai mencumbui leher jenjangnya yang bebas rambut karena baru saja ia. kuncir kuda. "Sayang, kau sangat cantik..." puji Leon dengan meninggalkan jejak-jejak cinta di antara kulit putih susu Arren, istrinya. Gigitan demi gigitan, berpadu dengan deru napas yang kian memburu, membuat jantung Arren menjadi terpacu. Pria itu, selalu memiliki cara untuk memenangkan gairahnya. "Ah..." desah Arren yang kini terlentang tanpa busana. Baru saja, jemari Leon tampak menyibak gaun malam yang sedang dikenakannya, dan membuangnya begitu saja. "Kau lebih cantik seperti ini," gumamnya sambil mulai menyesap kulit polos istrinya, dengan rakus dan penuh makna. Arren menggeliat, mencoba menangkal desiran darah yang kian memenuhi kepalanya. Namun, gadis itu akhirnya luluh juga. "Aku akan masuk... " ucap Leon yang kini telah menyiapkan kejantanannya. Pria itu dengan perlahan memasukkan miliknya ke dalam inti tubuh Arren, kemudian menggerak-gerakkannya dengan penuh
Pagi di Mansion Rossie yang tenang, mendadak berubah menjadi menegangkan. Sorak-sorai dari kerumunan orang di pintu gerbang, merobek ketenangan pagi yang biasanya mereka alami. Gerombolan warga, mulai dari pria, wanita dan juga anak-anak, tampak berdesakan di depan gerbang Mansion Rossie. Mereka seakan ingin merangsek masuk dan membuat keributan. Mereka telah mengantri di sana sejak fajar tadi, agar dapat menginjakkan kaki di Mansion Rossie. Para pengawal yang bertugas di pintu gerbang, tampak kesulitan untuk menjaga ketertiban. Gerombolan orang yang ingin masuk ke dalam, semakin bertambah jumlahnya. Mereka menjadi semakin sulit dikendalikan."Kami ingin bertemu Nyonya Rossie!" pekik seorang pria dengan suara lantang, yang menyebabkan kegaduhan semakin tidak karuan. Dengan penuh amarah, pria itu tampak ingin menuntut pertanggung-jawaban sang Nyonya yang tampak menelantarkan mereka. Sorak-sorai dan teriakan lainnya saling bersahutan, membuat para pengawal semakin kewalahan. Mereka
Arren terkejut dengan darah yang tiba-tiba mengucur deras di... luar bajunya."Nona!!!" teriak pengawal yang menyadari ada perusuh yang memulai serangan."Shane!" Arren berteriak, karena ternyata, bukanlah dirinya yang terkena tusukan pria misterius tadi."No--nona," lirih Shane, yang kini ambruk dengan bersimbah darah."Panggil dokter! Cepat!" teriak Arren yang segera menekan luka tusuk Shane dengan robekan bajunya.Suasana menjadi sangat tegang di sana, Clark dengan segera mengangkat tubuh Shane ke lokasi yang lebih aman, sambil menunggu tim medis datang.Arren benar-benar terpukul dengan kejadian yang begitu tiba-tiba ini. Ia sampai tidak dapat menangis akibat syok. Seluruh tubuh Arren gemetar dengan wajah pucat yang tak terbayangkan.Saat sang pria misterius mendekat tadi, senjata tajam yang mengancam Arren, rupanya telah dihalau oleh tubuh Shane.Sebelum pria itu bisa melancarkan aksinya, Shane dengan gesit melempar dirinya ke hadapan sang Nona muda, dan menangkap tusukan sang pri
Clark memandang tajam pada salah seorang provokator yang baru saja mengaku bahwa mereka hanya menjalankan perintah.Seseorang telah membayar mereka untuk berbuat rusuh di Mansion Rossie, ketika unjuk-rasa oleh warga desa dimulai. Wajah Clark mulai dipenuhi dengan ekspresi ketidaksenangan dan amarah yang terpendam."Siapa orang itu?!" Clark mendesak, menuntut jawaban yang pasti dari para tahanan. Mereka saling berpandangan, ragu-ragu untuk memberikan jawaban yang pria itu inginkan. Mereka tahu bahwa, menjelaskan lebih lanjut berarti, pelaku tersebut dapat menjerat kehidupan pribadi mereka lebih dalam lagi."Ka--kami tidak mengetahui identitas orang itu, Tuan..." ucap mereka takut-takut. "Tato mawar, hanya itu yang saya ingat. Dia memiliki tato mawar di pergelangan tangannya," lanjut tahanan lainnya dengan keyakinan penuh. "Tato mawar..." Clark menggertakkan giginya, mencoba mengingat-ingat petunjuk tersebut dalam memorinya. "Apa yang bisa kau katakan tentang orang itu? Bagaimana k