Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Pagi di Mansion Rossie yang tenang, mendadak berubah menjadi menegangkan. Sorak-sorai dari kerumunan orang di pintu gerbang, merobek ketenangan pagi yang biasanya mereka alami. Gerombolan warga, mulai dari pria, wanita dan juga anak-anak, tampak berdesakan di depan gerbang Mansion Rossie. Mereka seakan ingin merangsek masuk dan membuat keributan. Mereka telah mengantri di sana sejak fajar tadi, agar dapat menginjakkan kaki di Mansion Rossie. Para pengawal yang bertugas di pintu gerbang, tampak kesulitan untuk menjaga ketertiban. Gerombolan orang yang ingin masuk ke dalam, semakin bertambah jumlahnya. Mereka menjadi semakin sulit dikendalikan."Kami ingin bertemu Nyonya Rossie!" pekik seorang pria dengan suara lantang, yang menyebabkan kegaduhan semakin tidak karuan. Dengan penuh amarah, pria itu tampak ingin menuntut pertanggung-jawaban sang Nyonya yang tampak menelantarkan mereka. Sorak-sorai dan teriakan lainnya saling bersahutan, membuat para pengawal semakin kewalahan. Mereka
Arren terkejut dengan darah yang tiba-tiba mengucur deras di... luar bajunya."Nona!!!" teriak pengawal yang menyadari ada perusuh yang memulai serangan."Shane!" Arren berteriak, karena ternyata, bukanlah dirinya yang terkena tusukan pria misterius tadi."No--nona," lirih Shane, yang kini ambruk dengan bersimbah darah."Panggil dokter! Cepat!" teriak Arren yang segera menekan luka tusuk Shane dengan robekan bajunya.Suasana menjadi sangat tegang di sana, Clark dengan segera mengangkat tubuh Shane ke lokasi yang lebih aman, sambil menunggu tim medis datang.Arren benar-benar terpukul dengan kejadian yang begitu tiba-tiba ini. Ia sampai tidak dapat menangis akibat syok. Seluruh tubuh Arren gemetar dengan wajah pucat yang tak terbayangkan.Saat sang pria misterius mendekat tadi, senjata tajam yang mengancam Arren, rupanya telah dihalau oleh tubuh Shane.Sebelum pria itu bisa melancarkan aksinya, Shane dengan gesit melempar dirinya ke hadapan sang Nona muda, dan menangkap tusukan sang pri
Clark memandang tajam pada salah seorang provokator yang baru saja mengaku bahwa mereka hanya menjalankan perintah.Seseorang telah membayar mereka untuk berbuat rusuh di Mansion Rossie, ketika unjuk-rasa oleh warga desa dimulai. Wajah Clark mulai dipenuhi dengan ekspresi ketidaksenangan dan amarah yang terpendam."Siapa orang itu?!" Clark mendesak, menuntut jawaban yang pasti dari para tahanan. Mereka saling berpandangan, ragu-ragu untuk memberikan jawaban yang pria itu inginkan. Mereka tahu bahwa, menjelaskan lebih lanjut berarti, pelaku tersebut dapat menjerat kehidupan pribadi mereka lebih dalam lagi."Ka--kami tidak mengetahui identitas orang itu, Tuan..." ucap mereka takut-takut. "Tato mawar, hanya itu yang saya ingat. Dia memiliki tato mawar di pergelangan tangannya," lanjut tahanan lainnya dengan keyakinan penuh. "Tato mawar..." Clark menggertakkan giginya, mencoba mengingat-ingat petunjuk tersebut dalam memorinya. "Apa yang bisa kau katakan tentang orang itu? Bagaimana k
Leon mengerjapkan mata, ketika melihat sosok yang begitu ingin disentuhnya. "Arren?" panggilnya. Ia tidak percaya dengan penglihatannya. Wanita yang dipanggil itu tersenyum dan mengangguk lemah. Ia kemudian membentangkan tangannya lebar-lebar, bersiap untuk sebuah pelukan. Leon tidak membuang waktu lagi. Ia segera datang. Langkah lebar yang diambilnya, sejalan dengan hawa nafsunya yang kian merajalela. Leon benar-benar menginginkan Arren saat ini juga, untuk disentuhnya. "Arren!" teriaknya dengan tergesa, detik kemudian, ia telah merengkuh istrinya itu dengan suka cita. "Arren!" gumam Leon dengan penuh kerinduan. Dikecupnya pucuk kepala gadis itu, kemudian turun sedikit ke arah kening. Pria itu lalu menyusur ciuman penuh cinta ke seluruh wajah sang istri, hingga sampai ke bibir. Setibanya di bibir Arren, Leon kemudian membuka sedikit mulut sang istri, untuk melumat erat bibir ranumnya dengan penuh kerakusan. Gairah Leon memuncak seketika, akibat sentuhan dari bibir mereka. "
Clark mulai mengejar bayangan 'The Rose' dengan tekad penuh harap. Ia telah mengumpulkan petunjuk dari pesan-pesan anonim dan tato mawar yang ditemukan pada provokator yang ditangkap.Perjalanan ini memimpinnya ke kota terdekat. Clark berharap, ia dapat menemukan lebih banyak petunjuk untuk menangkap The Rose dengan cepat. Kota X, yang terletak di perbatasan wilayah Rossie bagian utara, adalah kota yang gelap yang penuh dengan misteri. Sesuai kondisi geografisnya, Kota X tidak memiliki hasil bumi. Roda ekonomi mereka berputar dari hasil jual-beli jasa, yang kebanyakan ilegal. Meski Nyonya besar sering memerintahkan untuk melakukan inspeksi rutin di sana, namun tetap saja tidak membuat pelaku kriminal jera. Mereka selalu dapat mencari celah untuk melancarkan aksi kejahatan, sesuai dengan bayaran dari klien yang membutuhkan jasa, secepatnya. Clark yang pernah mengawasi wilayah itu selama beberapa waktu, cukup hafal setiap gang dan lorong gelap yang sering dijadikan lokasi transaksi
Clark meraba-raba dalam kegelapan yang menyelimuti gedung terbengkalai ini. Sebuah tempat yang jelas-jelas telah ditinggalkan selama bertahun-tahun, mungkin bahkan dekade.Langkah-langkah Clark yang hati-hati, memecah keheningan di dalam ruangan. Ia bahkan bisa mendengar bunyi napasnya sendiri yang menderu untuk menghalau perasaan gelisah di dalam dadanya.Tidak ada suara selain kerikil yang bergesekan di bawah sepatunya, tidak ada lantai kasar yang menggores alas sepatunya.Setiap langkah yang diambilnya, menghasilkan derap pelan yang membuat bulu kuduknya meremang.Gedung ini, menurut informan tadi, adalah tempat terakhir The Rose bersembunyi. Clark harus menemukannya, apapun yang terjadi.Clark melangkah maju, menatap ke sekeliling dengan perasaan waspada. Dinding gedung ini telah menjadi saksi bisu dari sejarah yang mungkin penuh dengan rahasia dan intrik nyata.Lantai kayu yang lapuk mengeluh di bawah langkahnya, dan sinar bulan tembus melalui jendela pecah, menciptakan siluet se
"Siapa kau? Mengapa kau memiliki semua dokumen itu?" cecar Clark, yang mulai mempertanyakan motif The Rose. Orang itu benar-benar tidak terduga."Aku ingin membantumu," sahutnya dingin. Kali ini, ia mulai mendekat ke arah Clark yang telah menurunkan senjatanya."Buka dulu topeng itu!" perintah Clark, yang memilih mundur untuk bersiaga. Ia masih belum mempercayai The Rose sepenuhnya. Bisa jadi, ini adalah jebakan, seperti yang sudah-sudah."Baiklah..." ujarnya, kemudian melepas topeng hitam itu, lalu..."A--apakah kau...""Ya, benar. Aku adalah Braun Rossie, putera dari Abigail Rossie."Clark tersentak dan tidak percaya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Laki-laki itu... Braun? Anak satu-satunya dari Abigail Rossie?Clark benar-benar semakin penasaran dengan alasan dibalik pengkhianatan sang Tuan muda."Tuan, jika Anda waras, mengapa mengkhianati ibu Anda sendiri?" Kali ini Clark turut mendekat dan duduk di kursi yang telah disiapkan di sana.Wajahnya tampak menuntut jawaban rasional,
Arren Rossie mendengar kabar tentang kecelakaan mengerikan yang menimpa Clark, melalui pesan singkat yang memerihkan hatinya. Tanpa ragu, ia bergegas meninggalkan mansion mewah itu dan menuju ke rumah sakit, tempat Clark dirawat. Meski dikawal ketat oleh para pengawal, Arren tidak melewatkan kesempatan untuk bersama dengan Clark, di saat kritis seperti ini. "Kita hampir tiba, Nona.""Tolong, bergegaslah!"Wajah Arren tampak pucat karena tidak sabar, ingin mengetahui keadaan Clark yang konon terkena ledakan. Dalam ketakutan, Arren terus berdoa, semoga nyawa Clark bisa diselamatkan.Setibanya di rumah sakit, Arren segera berlari melewati lorong-lorong yang lengang. Saat ini sedang dini hari, rumah sakit sangat sepi. "Clark, kumohon..." desis Arren sambil terus menggegas langkah. Di dalam rumah sakit yang steril itu, setiap detik terasa seperti waktu yang sangat lama dan berharga. Arren benar-benar berdoa, agar Clark dapat melewati masa kritis ini dengan sempurna."Nona, ada apa? T