Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Clark meraba-raba dalam kegelapan yang menyelimuti gedung terbengkalai ini. Sebuah tempat yang jelas-jelas telah ditinggalkan selama bertahun-tahun, mungkin bahkan dekade.Langkah-langkah Clark yang hati-hati, memecah keheningan di dalam ruangan. Ia bahkan bisa mendengar bunyi napasnya sendiri yang menderu untuk menghalau perasaan gelisah di dalam dadanya.Tidak ada suara selain kerikil yang bergesekan di bawah sepatunya, tidak ada lantai kasar yang menggores alas sepatunya.Setiap langkah yang diambilnya, menghasilkan derap pelan yang membuat bulu kuduknya meremang.Gedung ini, menurut informan tadi, adalah tempat terakhir The Rose bersembunyi. Clark harus menemukannya, apapun yang terjadi.Clark melangkah maju, menatap ke sekeliling dengan perasaan waspada. Dinding gedung ini telah menjadi saksi bisu dari sejarah yang mungkin penuh dengan rahasia dan intrik nyata.Lantai kayu yang lapuk mengeluh di bawah langkahnya, dan sinar bulan tembus melalui jendela pecah, menciptakan siluet se
"Siapa kau? Mengapa kau memiliki semua dokumen itu?" cecar Clark, yang mulai mempertanyakan motif The Rose. Orang itu benar-benar tidak terduga."Aku ingin membantumu," sahutnya dingin. Kali ini, ia mulai mendekat ke arah Clark yang telah menurunkan senjatanya."Buka dulu topeng itu!" perintah Clark, yang memilih mundur untuk bersiaga. Ia masih belum mempercayai The Rose sepenuhnya. Bisa jadi, ini adalah jebakan, seperti yang sudah-sudah."Baiklah..." ujarnya, kemudian melepas topeng hitam itu, lalu..."A--apakah kau...""Ya, benar. Aku adalah Braun Rossie, putera dari Abigail Rossie."Clark tersentak dan tidak percaya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Laki-laki itu... Braun? Anak satu-satunya dari Abigail Rossie?Clark benar-benar semakin penasaran dengan alasan dibalik pengkhianatan sang Tuan muda."Tuan, jika Anda waras, mengapa mengkhianati ibu Anda sendiri?" Kali ini Clark turut mendekat dan duduk di kursi yang telah disiapkan di sana.Wajahnya tampak menuntut jawaban rasional,
Arren Rossie mendengar kabar tentang kecelakaan mengerikan yang menimpa Clark, melalui pesan singkat yang memerihkan hatinya. Tanpa ragu, ia bergegas meninggalkan mansion mewah itu dan menuju ke rumah sakit, tempat Clark dirawat. Meski dikawal ketat oleh para pengawal, Arren tidak melewatkan kesempatan untuk bersama dengan Clark, di saat kritis seperti ini. "Kita hampir tiba, Nona.""Tolong, bergegaslah!"Wajah Arren tampak pucat karena tidak sabar, ingin mengetahui keadaan Clark yang konon terkena ledakan. Dalam ketakutan, Arren terus berdoa, semoga nyawa Clark bisa diselamatkan.Setibanya di rumah sakit, Arren segera berlari melewati lorong-lorong yang lengang. Saat ini sedang dini hari, rumah sakit sangat sepi. "Clark, kumohon..." desis Arren sambil terus menggegas langkah. Di dalam rumah sakit yang steril itu, setiap detik terasa seperti waktu yang sangat lama dan berharga. Arren benar-benar berdoa, agar Clark dapat melewati masa kritis ini dengan sempurna."Nona, ada apa? T
Setelah menunggu selama sehari semalam, akhirnya Clark perlahan membuka matanya. Arren belum mengetahui bahwa Clark telah bangun dari koma yang cukup menegangkan. Ia tertidur tanpa sadar di sisi Clark, sambil terus memegangi tangan pria itu yang semakin menghangat. Cahaya pagi yang lembut menyentuh wajahnya, dan seutas senyum mengembang, ketika Clark menyadari kehadiran seseorang yang duduk tertidur di sisi ranjang. Orang itu adalah Arren, Clark dapat mengenali sentuhan lembut tangannya yang menggenggam tanpa lelah, sejak kemarin malam.Clark mengira, ia sedang berhalusinasi bahwa ada seseorang yang selalu menangisi ketika Clark belum tampak membuka mata. Clark tidak merasa memiliki seseorang yang akan sedih, jika ia tiada. Aroma mawar lembut yang samar terus membersamai Clark, sejak ia berada di dalam buaian alam mimpi. Aroma itu mengingatkan Clark pada seseorang, namun, tidak mungkin itu terjadi. Orang itu adalah objek cinta tak tersampaikan, yang selama ini ia kejar. Mana mung
Abigail Rossie adalah seorang wanita berusia 50 tahun dengan tampilan yang menawan meskipun penuh kepalsuan. Rambut brunette panjangnya menjuntai kaku, hingga ke bahu, seperti mahkota cokelat yang tak terlihat. Matanya berwarna serupa, dengan kilau tajam yang berbahaya. Hal ini membuat Abigail Rossie ditakuti oleh musuh-musuhnya Tentu saja bukan karena penampilannya saja, namun, karena kelicikan otaknya.Dibalik segala kemewahan dan keanggunan yang terpancar nyata, Abigail adalah lawan yang penuh dengan intrik dan siasat nyata. Wajah Abigail yang cukup senja dan memiliki kerutan tersembunyi, menunjukkan segala tanda usia dan pengalaman yang dimilikinya. Bibirnya selalu tersenyum, namun penuh dengan kepalsuan. Abigail dapat dengan mudah merahasiakan segala ambisi dan tujuan gelap yang selalu berputar di dalam otaknya."Kami ingin menggugat kepemimpinan Nyonya Besar. Izinkan kami masuk!" serunya, ketika berhadapan dengan kapten keamanan yang sedang berjaga di gerbang. Kapten keaman
Rencana penggulingan kekuasaan neneknya telah didengar oleh Arren, dan gadis itu semakin was-was. "Bagaimana ini?" gumamnya sambil menggigiti kuku jari. Arren hanya asal bicara saja, ketika meneguhkan ikrar untuk melindungi Rossie. Nyatanya, Arren bahkan tidak memiliki rencana apa-apa. Ajudannya, Shane, masih terbaring lemah dalam pemilihan, begitu juga Clark, sang pengawal setia. Arren merasa sendiri, dan tidak memiliki dukungan pasti. "Cucuku... apa yang kau khawatirkan?" tanya Nyonya besar yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Ia melihat Arren tampak termenung di depan meja riasnya dengan wajah sendu. "Eh, Nenek... bagaimana keadanmu?" tanya Arren yang sontak merapikan riasannya. Ia tidak ingin neneknya lebih cemas lagi dengan melihat kegelisahannya. "Aku baik, bagaimana denganmu? Mengapa murung? Pagi ini cerah sekali, Lho..." seloroh sang nenek, kemudian masuk ke dalam kamar Arren. Langkahnya yang anggun, menuntunnya menuju ke arah cucu kesayangannya. Nenek Arren, seperti
"Bagaimana rencananya?" tanya Abigail dengan wajah tegang. Ia melirik sekilas ke arah Nyonya Andersen yang tidak tampak memiliki rencana matang. "Percayalah padaku, voting ini akan sangat berguna!" ucapnya dengan keyakinan penuh. Dewan Rossie adalah lembaga yang berperan penting dalam pengambilan keputusan untuk wilayah Rossie. Mereka memiliki kewenangan untuk menentukan berbagai aspek pemerintahan, termasuk kebijakan, anggaran, dan pengangkatan pemimpin.Nyonya Andersen adalah ketua dewan, ia dapat dengan bebas memasukkan agenda voting dalam pertemuan penting, dan mengusahakannya dengan hasil akhir yang diinginkan. Semua itu sangat mudah, asal ada bayarannya. Meski sedikit ragu, namun, Abigail tidak dapat menolak rencana sang rekan. Ia benar-benar harus segera merebut posisi penguasa. Jika tidak, Arren benar-benar dapat menjadi saingan yang tak terkalahkan. "Minggu depan usia Arren 20 tahun. Kita harus segera bergerak, jika tidak ingin tertolak mentah-mentah oleh hukum sialan i
Cahaya mentari pagi sedang menyinari Mansion Rossie dengan hangatnya. Nyonya besar Rossie tampak duduk di teras depan, sambil menikmati secangkir teh Earl Grey dengan tenangnya.Saat ini, ia sedang menatap kebunnya yang indah sambil menunggu Arren selesai berhias. Mereka berencana untuk berjalan-jalan bersama, sebelum Arren akhirnya memulai kelas paginya dengan sang tutor yang baru akan tiba pukul 10 pagi nanti. Kelas debat bersama Tuan William akan dimulai dua jam lagi. Mereka masih memiliki waktu untuk mengobrol bersama dan menikmati pagi, sebelum Arren kembali sibuk dengan aktivitas belajar rutinnya demi mengasah diri. "Nyonya! Nyonya!" Kepala pelayan tiba-tiba melupakan sopan santunnya, dan berlari seakan hendak menerkam sang Nyonya. "Ada apa denganmu di pagi yang Indah ini?" tanya Nyonya besar dengan satu alis terangkat. Ia tampak heran dengan kelakuan sang kepala pelayan yang tidak seperti biasanya. "Ma--maaf, Nyonya! Gawat! Gawat!""Jess, tenangkan dirimu. Apa yang terjadi