Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Clark mulai mengejar bayangan 'The Rose' dengan tekad penuh harap. Ia telah mengumpulkan petunjuk dari pesan-pesan anonim dan tato mawar yang ditemukan pada provokator yang ditangkap.Perjalanan ini memimpinnya ke kota terdekat. Clark berharap, ia dapat menemukan lebih banyak petunjuk untuk menangkap The Rose dengan cepat. Kota X, yang terletak di perbatasan wilayah Rossie bagian utara, adalah kota yang gelap yang penuh dengan misteri. Sesuai kondisi geografisnya, Kota X tidak memiliki hasil bumi. Roda ekonomi mereka berputar dari hasil jual-beli jasa, yang kebanyakan ilegal. Meski Nyonya besar sering memerintahkan untuk melakukan inspeksi rutin di sana, namun tetap saja tidak membuat pelaku kriminal jera. Mereka selalu dapat mencari celah untuk melancarkan aksi kejahatan, sesuai dengan bayaran dari klien yang membutuhkan jasa, secepatnya. Clark yang pernah mengawasi wilayah itu selama beberapa waktu, cukup hafal setiap gang dan lorong gelap yang sering dijadikan lokasi transaksi
Clark meraba-raba dalam kegelapan yang menyelimuti gedung terbengkalai ini. Sebuah tempat yang jelas-jelas telah ditinggalkan selama bertahun-tahun, mungkin bahkan dekade.Langkah-langkah Clark yang hati-hati, memecah keheningan di dalam ruangan. Ia bahkan bisa mendengar bunyi napasnya sendiri yang menderu untuk menghalau perasaan gelisah di dalam dadanya.Tidak ada suara selain kerikil yang bergesekan di bawah sepatunya, tidak ada lantai kasar yang menggores alas sepatunya.Setiap langkah yang diambilnya, menghasilkan derap pelan yang membuat bulu kuduknya meremang.Gedung ini, menurut informan tadi, adalah tempat terakhir The Rose bersembunyi. Clark harus menemukannya, apapun yang terjadi.Clark melangkah maju, menatap ke sekeliling dengan perasaan waspada. Dinding gedung ini telah menjadi saksi bisu dari sejarah yang mungkin penuh dengan rahasia dan intrik nyata.Lantai kayu yang lapuk mengeluh di bawah langkahnya, dan sinar bulan tembus melalui jendela pecah, menciptakan siluet se
"Siapa kau? Mengapa kau memiliki semua dokumen itu?" cecar Clark, yang mulai mempertanyakan motif The Rose. Orang itu benar-benar tidak terduga."Aku ingin membantumu," sahutnya dingin. Kali ini, ia mulai mendekat ke arah Clark yang telah menurunkan senjatanya."Buka dulu topeng itu!" perintah Clark, yang memilih mundur untuk bersiaga. Ia masih belum mempercayai The Rose sepenuhnya. Bisa jadi, ini adalah jebakan, seperti yang sudah-sudah."Baiklah..." ujarnya, kemudian melepas topeng hitam itu, lalu..."A--apakah kau...""Ya, benar. Aku adalah Braun Rossie, putera dari Abigail Rossie."Clark tersentak dan tidak percaya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Laki-laki itu... Braun? Anak satu-satunya dari Abigail Rossie?Clark benar-benar semakin penasaran dengan alasan dibalik pengkhianatan sang Tuan muda."Tuan, jika Anda waras, mengapa mengkhianati ibu Anda sendiri?" Kali ini Clark turut mendekat dan duduk di kursi yang telah disiapkan di sana.Wajahnya tampak menuntut jawaban rasional,
Arren Rossie mendengar kabar tentang kecelakaan mengerikan yang menimpa Clark, melalui pesan singkat yang memerihkan hatinya. Tanpa ragu, ia bergegas meninggalkan mansion mewah itu dan menuju ke rumah sakit, tempat Clark dirawat. Meski dikawal ketat oleh para pengawal, Arren tidak melewatkan kesempatan untuk bersama dengan Clark, di saat kritis seperti ini. "Kita hampir tiba, Nona.""Tolong, bergegaslah!"Wajah Arren tampak pucat karena tidak sabar, ingin mengetahui keadaan Clark yang konon terkena ledakan. Dalam ketakutan, Arren terus berdoa, semoga nyawa Clark bisa diselamatkan.Setibanya di rumah sakit, Arren segera berlari melewati lorong-lorong yang lengang. Saat ini sedang dini hari, rumah sakit sangat sepi. "Clark, kumohon..." desis Arren sambil terus menggegas langkah. Di dalam rumah sakit yang steril itu, setiap detik terasa seperti waktu yang sangat lama dan berharga. Arren benar-benar berdoa, agar Clark dapat melewati masa kritis ini dengan sempurna."Nona, ada apa? T
Setelah menunggu selama sehari semalam, akhirnya Clark perlahan membuka matanya. Arren belum mengetahui bahwa Clark telah bangun dari koma yang cukup menegangkan. Ia tertidur tanpa sadar di sisi Clark, sambil terus memegangi tangan pria itu yang semakin menghangat. Cahaya pagi yang lembut menyentuh wajahnya, dan seutas senyum mengembang, ketika Clark menyadari kehadiran seseorang yang duduk tertidur di sisi ranjang. Orang itu adalah Arren, Clark dapat mengenali sentuhan lembut tangannya yang menggenggam tanpa lelah, sejak kemarin malam.Clark mengira, ia sedang berhalusinasi bahwa ada seseorang yang selalu menangisi ketika Clark belum tampak membuka mata. Clark tidak merasa memiliki seseorang yang akan sedih, jika ia tiada. Aroma mawar lembut yang samar terus membersamai Clark, sejak ia berada di dalam buaian alam mimpi. Aroma itu mengingatkan Clark pada seseorang, namun, tidak mungkin itu terjadi. Orang itu adalah objek cinta tak tersampaikan, yang selama ini ia kejar. Mana mung
Abigail Rossie adalah seorang wanita berusia 50 tahun dengan tampilan yang menawan meskipun penuh kepalsuan. Rambut brunette panjangnya menjuntai kaku, hingga ke bahu, seperti mahkota cokelat yang tak terlihat. Matanya berwarna serupa, dengan kilau tajam yang berbahaya. Hal ini membuat Abigail Rossie ditakuti oleh musuh-musuhnya Tentu saja bukan karena penampilannya saja, namun, karena kelicikan otaknya.Dibalik segala kemewahan dan keanggunan yang terpancar nyata, Abigail adalah lawan yang penuh dengan intrik dan siasat nyata. Wajah Abigail yang cukup senja dan memiliki kerutan tersembunyi, menunjukkan segala tanda usia dan pengalaman yang dimilikinya. Bibirnya selalu tersenyum, namun penuh dengan kepalsuan. Abigail dapat dengan mudah merahasiakan segala ambisi dan tujuan gelap yang selalu berputar di dalam otaknya."Kami ingin menggugat kepemimpinan Nyonya Besar. Izinkan kami masuk!" serunya, ketika berhadapan dengan kapten keamanan yang sedang berjaga di gerbang. Kapten keaman
Rencana penggulingan kekuasaan neneknya telah didengar oleh Arren, dan gadis itu semakin was-was. "Bagaimana ini?" gumamnya sambil menggigiti kuku jari. Arren hanya asal bicara saja, ketika meneguhkan ikrar untuk melindungi Rossie. Nyatanya, Arren bahkan tidak memiliki rencana apa-apa. Ajudannya, Shane, masih terbaring lemah dalam pemilihan, begitu juga Clark, sang pengawal setia. Arren merasa sendiri, dan tidak memiliki dukungan pasti. "Cucuku... apa yang kau khawatirkan?" tanya Nyonya besar yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Ia melihat Arren tampak termenung di depan meja riasnya dengan wajah sendu. "Eh, Nenek... bagaimana keadanmu?" tanya Arren yang sontak merapikan riasannya. Ia tidak ingin neneknya lebih cemas lagi dengan melihat kegelisahannya. "Aku baik, bagaimana denganmu? Mengapa murung? Pagi ini cerah sekali, Lho..." seloroh sang nenek, kemudian masuk ke dalam kamar Arren. Langkahnya yang anggun, menuntunnya menuju ke arah cucu kesayangannya. Nenek Arren, seperti
"Bagaimana rencananya?" tanya Abigail dengan wajah tegang. Ia melirik sekilas ke arah Nyonya Andersen yang tidak tampak memiliki rencana matang. "Percayalah padaku, voting ini akan sangat berguna!" ucapnya dengan keyakinan penuh. Dewan Rossie adalah lembaga yang berperan penting dalam pengambilan keputusan untuk wilayah Rossie. Mereka memiliki kewenangan untuk menentukan berbagai aspek pemerintahan, termasuk kebijakan, anggaran, dan pengangkatan pemimpin.Nyonya Andersen adalah ketua dewan, ia dapat dengan bebas memasukkan agenda voting dalam pertemuan penting, dan mengusahakannya dengan hasil akhir yang diinginkan. Semua itu sangat mudah, asal ada bayarannya. Meski sedikit ragu, namun, Abigail tidak dapat menolak rencana sang rekan. Ia benar-benar harus segera merebut posisi penguasa. Jika tidak, Arren benar-benar dapat menjadi saingan yang tak terkalahkan. "Minggu depan usia Arren 20 tahun. Kita harus segera bergerak, jika tidak ingin tertolak mentah-mentah oleh hukum sialan i
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.