Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Kembali ke momen ketika Arren mulai giat berlatih bersama Clark. Gadis itu tampak sangat bersemangat. Ia tidak ingin menjadi gadis yang lemah. Arren berjanji pada dirinya sendiri untuk dapat melindungi nyawanya ketika berada dalam bahaya. Arren muak jika terus-menerus menjadi sasaran kekejaman orang lain. Kali ini, Arren harus bisa menguatkan diri, baik secara mental maupun fisik. Arren sudah merasa semakin dewasa. "Kita akan berlatih pertarungan jarak dekat dengan senjata tajam," ujar Clark dengan serius. "Ingatlah, tujuan utama dari latihan ini adalah untuk melatih refleks dan kecepatanmu." Arren mengangguk, semangatnya kian berkobar. Ia telah bersiap sebaik mungkin untuk latihan ini. Meskipun Arren harap dapat berlatih dengan senjata api, namun, menurut Clark, Arren harus memahami pentingnya dasar-dasar pertarungan dengan belati. Arren menyadari betapa pentingnya kemampuan bertarung jarak dekat, terutama ketika serangan jarak jauh bisa diantisipasi oleh pengawal. "Baik, P
Gerimis di malam itu, terasa mencekam. Arren masih terbayang perasaan tidak nyaman akibat bekas luka tusukan. Luka di lengannya memang terasa nyeri, namun, luka di hatinya, lebih sakit lagi. "Bagaimana ini? Bagaimana jika Leon tidak lagi menginginkanku?" Gemuruh dalam dadanya, kembali menyapa. Arren seakan melupakan rencana melarikan diri dari sang mafia. Entah mengapa, penilaian sang suami menjadi penting dalam citra tubuhnya. Saat ini, Arren benar-benar merasa rendah diri dan tidak memiliki cahaya. "Tidurlah, Arren. Aku akan menjagamu,"Clark sudah di sisinya sejak ia dirawat, siang tadi. Sampai dini hari ini, pria itu masih setia di sana. Arren bahkan belum mendengar kabar tentang Leon. Apakah pria itu baik-baik saja? "Pergilah ke kamarmu, Clark. Aku tidak apa-apa," ucap Arren, sambil tidur membelakangi Clark. Hatinya tidak nyaman, karena terus memikirkan Leon. Clark mendengus, merasa diusir secara halus oleh Arren. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa. "Panggilah aku jika
Malam yang penuh gairah sekali lagi menguasai kamar Leon dan Arren. Dengan lembut, Leon melepaskan pakaian Arren satu per satu. Gadis itu terlihat canggung, namun, tidak ada lagi rona ketakutan di wajahnya."Kau begitu indah," bisik Leon.Tangan Leon merasakan setiap lekuk tubuh Arren, mengelusnya dengan penuh kasih dan sayang.Bibirnya yang haus akan hasrat liar, bermain di antara kulit wajah dan leher Arren, membangkitkan gairah yang membara dalam diri mereka berdua."Ah..," desah Arren, ketika bibir Leon menggoda bibirnya dengan lembut, kadang dengan gigitan ringan yang mengejutkannya."Bagaimana ini? Aku tidak bisa berhenti.”Tubuh Arren perlahan terangkat, melebur dalam dekapan hangat Leon. Sensasi penetrasi membawanya ke puncak gairah. Detak jantung keduanya semakin cepat, dan mereka saling terikat dalam kenikmatan yang terus membara."Aaah," Arren tak bisa menahan desakan gairah dalam dirinya.Setiap sentuhan Leon membuat hasratnya terbakar. Namun, dalam pikirannya, masih ada b
Sebuah video s*ks yang dibintangi oleh suaminya terpampang jelas di layar kaca. Arren merasa seolah dunianya runtuh. Air mata gagal tertahan dan mulai mengalir dari kedua matanya, meresapi wajahnya yang pucat dan seolah tanpa tenaga. Arren tidak pernah mengira akan melihat hal yang menyakitkan hatinya sejauh ini. "A--apa itu tadi?"Rasa marah, kecewa, dan bingung bercampur jadi satu di dalam dirinya. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin suaminya melakukan pengkhianatan seperti ini padanya?Arren menatap layar televisi dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ia merasa seperti dilemparkan ke dalam jurang yang tanpa ujung. Semua kenangan indah mereka jalin seolah pupus dalam sekejap. Cinta dan kepercayaan yang telah mereka bangun selama ini hancur begitu saja."Nyonya!!!" seru kepala pengawal tiba-tiba masuk ke kamarnya. Dengan sigap, ia melepas sambungan kabel yang ada pada perangkat elektronik di sana. Arren yang masih hanyut dalam kecemasan dan kesedihan, mendongak
"Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya kepala pengawal dengan ekspresi khawatir yang tampak jelas di wajahnya."Ya, Aku baik-baik saja," jawab Leon, meskipun masih terpancar rasa sesal dan amarah fi wajahnya. "Sudahkah kau identifikasi penyerangnya?" tanya Leon sejurus kemudian. "Sedang kami tangani, Tuan. Anda tidak perlu khawatir," sahut sang kepala pengawal dengan tegas. "Saya telah memanggil dokter. Tolong Anda segera ke ruang kerja."Leon mengernyit, merasa, kepala pengawal melakukan hal yang tidak perlu. "Ini demi Nyonya. Anda tidak ingin Nyonya merasa bersalah, Bukan?" Ucapan kepala pengawal terasa seperti mantra sihir. Leon tidak lagi mendebatnya. Beberapa saat kemudian, dokter yang dipanggil untuk memeriksa Leon tiba di ruang kerjanya. "Apa yang terjadi, Tuan?" tanyanya dengan spontan."Hanya... luka kecil," jawab Leon singkat. "Sudah lama tidak melihat Anda di sini, Dokter," komentar Leon, mencoba mencairkan suasana.Sang dokter tersenyum sambil memeriksa luka yang ada di
Leon menghela nafas dalam-dalam saat ia terbaring sendiri di sofa ruang kerjanya. Matanya memandang kosong ke langit-langit ruangan, dengan pikiran yang melayang jauh ke masa lalu. Kisah kelam keluarganya terus menghantuinya, mewarnai pikiran Leon dengan luka dan penderitaan yang tak pernah sembuh. Ibu Leon, Lesea, adalah sosok yang menjadi pemicu tragedi besar dalam hidupnya. Tragedi itulah yang membentuk dirinya menjadi pria buas seperti saat ini. Meski, ia tidak pernah merasa bahwa, dirinya bersikap seperti itu. "Kau binatang buas!"Penilaian Arren, serupa dengan penilaian wanita-wanita lain yang pernah dekat dengannya. Hal ini memberinya gambaran umum tentang dirinya sendiri. Leon tertidur tanpa sengaja.Rasa lelah dan beban di pundaknya, ia harap hilang musnah dengan ketiadaan kesadarannya. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Leon bermimpi tentang memori buruk, yang tidak pernah ingin ia panggil kembali. "Mom...," rintihnya, dengan keringat dingin yang mulai mengalir. R
Tangis pilu Leon, berbanding terbalik dengan perasaan Arren.Gadis itu kini semakin yakin, bahwa Leon memang benar-benar tidak mencintainya tanpa bertanya lebih lanjut tentang maksud igauan dalam tidurnya."Ya... Leon... jangan cintai aku."Dua insan itu pun larut dalam pikiran buruk masing-masing, tanpa bisa saling memberitahu ataupun menanyakan lebih lanjut tentang perasaan mereka, sehingga menyebabkan kesalah-pahaman semakin membesar.Leon terus tertidur dalam pelukan Arren, tanpa menyadari bahwa, mimpi buruknya akan menjadi kenyataan.***Pagi hari pun tiba, Leon terbangun dalam perasaan yang lelah dan gelisah. Namun, ada satu momen yang membuat tidurnya kemarin terasa sedikit berbeda.Leon tidak mengetahui bahwa Arren terus bersamanya, sampai jelang subuh tiba. Gadis itu kemudian beranjak pergi, setelah para pelayan tampak bersiap untuk memulai pekerjaan mereka."Nyonya...,""Ssh..., biarkan Tuan tidur. Jangan beritahu dia kalau aku kemari."Kepala pelayan mengangguk takzim, kemu
Dalam pertimbangan yang matang, Leon akhirnya menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan. Ia telah membaca sekilas dokumen yang diberikan, dan Leon tidak pernah mencurigai Clark yang berkali-kali berhasil menyelamatkan nyawa sang istri."Baiklah, lakukan seperti itu."Saat kata-kata persetujuan meluncur dari bibir Leon, Clark memancarkan senyum tipis yang tampak mencurigakan. Leon tidak pernah mengira bahwa pria itu akan berkhianat.Setelah bermain peran sebagai pengawal yang submisif dan patuh tanpa pernah melawan, Clark menunjukkan sikap dominasi yang tidak biasa. Aura kebuasan mulai memenuhi ruangan itu, seakan bertumpuk dengan aura predator lain yang tengah menandai wilayah kekuasaannya.Baik Leon maupun Clark, dua-duanya tidak mengira bahwa mereka akan memakan satu sama lain dalam keheningan yang mencekam."Ada apa? Apa perintahku kurang jelas?" tanya Leon dengan nada yang menusuk tajam.Bulu kuduknya meremang, dengan situasi yang sulit diartikan. Matanya mulai menilai gera