Arren berjalan setengah pincang untuk mencapai ke rumah kaca, sesuai petunjuk Poppy. Entah kenapa … semua hal di mansion ini aneh sekali.
Pertama, pemiliki rumah ini adalah penculik dan pemerkosa. Arren harus menjebloskannya ke penjara!
Kedua, selir yang cemburu? Arren dapat merasakan bahwa wanita yang bernama Vennina itu sepertinya merasa tersaingi oleh kehadirannya. “Aku akan berbicara padanya bahwa aku bukanlah saingannya!”
Mendengar kata ‘saingan’, membuat bulu kuduk Arren meremang. Hanya orang bodoh yang bisa mencintai pria bejat seperti Leon. Tidak. Arren bukan lah orang seperti itu.
“Selamat datang, Nona ….”
Seorang pelayan tampak menyambut Arren yang tampak memasuki rumah kaca.
Sebuah meja telah terhias indah, dengan kepungan bunga mawar di sekitar mereka. Aromanya yang harum menambah kesan elegan dalam ruangan itu. Arren segera menyukai perjamuan yang diadakan.
“Halo,” sapa Arren ramah.
Seorang wanita berusia sekitar 30 tahun-an tampak bangkit dari kursinya. Wajahnya cantik, dengan rambut berwarna merah yang menyala seperti api. Gaun hijau zamrud yang membalut tubuhnya kontras dengan kulit putih bersihnya.
Arren bahkan terpesona dengan kecantikannya.
“Selamat datang, Nona Arren. Saya Vennina Skylar. Selir Tuan Leon,” Vennina memperkenalkan diri.
“Arrendice Hart,” Arren melakukan hal serupa.
Setelah berkenalan, Venn mempersilakan Arren untuk duduk di tempat yang telah disediakan. “Tuangkan tehnya,” ucap sang selir kepada pelayan pribadinya.
Pelayan itu datang seperti yang diminta dan menuangkan teh ke dalam cangkir para nyonya. Namun, ada satu hal yang janggal di sana. Ketika diperhatikan, tangan pelayan itu terlihat gemetar.
“Kau baik-baik saja?” tanya Arren dengan suara lembutnya. Ia sangat mengerti perasaan tertekan para pelayan yang terbiasa disepelekan. Arren dulunya adalah seorang pelayan bar.
“Y—ya, Nona ….” Pelayan itu menyahut dengan gemetar. Deru napasnya terlihat kontras dengan suasana di sekitar. Mengapa ia tampak takut?
“Nah, sekarang … mari kita mengobrol.” Venn memecah kecanggungan. Ia tak ingin rencananya menjadi berantakan.
“Silakan,” Arren tersenyum ramah.
Venn membalas dengan senyum serupa, meski sangat terlihat perbedaan ketulusannya.
Di mata Venn, Arren hanyalah gadis cilik berpenampilan kumuh dan sangat kampungan. Perkataan pelayan yang memuji kecantikannya sungguh berlebihan. Jika wanita itu dipoles akan nampak kecantikannya? Tidak mungkin.
Sekali dipungut dari jalanan, akan tetap menjadi tikus jalanan. Namun, tentu saja hal ini tidak berlaku bagi Venn. Meski sama-sama berasal dari jalanan, level mereka berbeda. Venn, menurutnya sendiri, memancarkan aura elegan yang setara dengan bangsawan di negara itu.
“Jadi, apa pekerjaan Nona Arren?” tanya Venn untuk memulai obrolan. Arren tersenyum dan menjawab dengan jujur.
“Saya adalah pelayan bar. Kalau Anda?”
Venn hampir tersedak. Ia sudah mengira bahwa Arren memang rakyat kelas bawah yang menjijikkan. “Saya? Hm … yah, saya biasa mengurus perkumpulan para nyonya.”
Venn memang memiliki jabatan khusus di kalangan sosialita. Meski berasal dari rakyat jelata, Venn memalsukan identitasnya. Ia bahkan menggunakan tutor terbaik untuk mengajarkan tentang etika kebangsawanan dan menyuap gadis-gadis di dunia sosial yang bergosip tentang asal-usul dirinya.
Venn mengarang cerita tentang pertemuan romantisnya dengan Leon di luar negeri, ketika mereka menghadiri jamuan bangsawan teratas. Di sana, Venn dan Leon saling jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Tentu saja itu semua bohong. Venn adalah pelacur nomor satu di luar negeri yang menjadi bayaran atas keberhasilan Leon menaklukan kartel narkoba di sana. Bos dunia malam yang berkuasa merasa berhutang banyak pada Leon, sehingga menyerahkan selir kesayangannya.
“Menarik sekali. Apa saja yang Anda kerjakan?”
“Yah. Mengatur pertemuan, mengadakan pesta … dan melakukan perjodohan kaum bangsawan.”
Venn beromong besar. Sebenarnya, ia tidak melakukan semua itu. Venn hanya menjadi anggota kehormatan karena menjadi sponsor terbesar di setiap pertemuan. Tentu saja, semua itu berkat suntikan dana dari Leon, kekasihnya.
“Sepertinya, Anda sangat sibuk,” Arren mengapresiasi. Venn mengangguk.
“Nah. Mari sudahi obrolannya. Silakan dinikmati teh spesial dari saya,” ucap Venn dengan senyuman misterius yang sulit diartikan.
“Baik, Nyonya ….”
Arren menyetujui usul Venn dan mulai mengangkat cangkirnya. Detik kemudian, setelah cangkir itu menyentuh bibirnya, Arren tiba-tiba terjungkal dan … batuk darah!
“No–nona!”
Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
Seorang pelayan yang terkejut melihat salah satu majikannya memuntahkan darah. Segera, Venn memanggil seseorang untuk membantu Arren yang terkapar tak berdaya. "Panggil dokter!" teriaknya berpura-pura panik. Hanya satu pelayan yang tahu bahwa itu adalah tipu muslihat dari Venn, sedangkan pelayan yang lain bahkan tidak berani untuk berpikir ke arah sana. Tak lama kemudian, Dokter pribadi Leon berlari ke dalam rumah kaca. "Ada apa ini?" tanya dokter dengan cepat, sambil memeriksa tanda vital pasien. "Dia tiba-tiba muntah darah dan pingsan," ucap Venn, yang sebelumnya telah menyuntikkan zat halusinogen agar Arren tidak bisa mengingat kejadian sebelumnya dengan jelas. Dokter itu tampak panik karena menemukan tanda-tanda keracunan pada tubuh Arren. "Pindahkan dia ke kamar!" perintah sang dokter kepada para pengawal yang tadi ikut mengiringinya. Para pengawal dengan cepat membawa nona yang tak sadarkan diri itu kembali ke kamarnya di lantai tiga. Dokter segera memberikan pertolongan per
Proses pencarian tersangka menjadi topik panas di mansion itu. Semua orang tampak cemas dan ragu … siapa sebenarnya yang telah memprovokasi tuan mereka sampai sedemikian rupa? “Cari mati,” gumam seorang pelayan yang melintas di depan ruang kerja sang tuan. Setelah mengantarkan dua cangkir teh kepada majikannya, pelayan itu kembali ke dapur, ke tempat yang seharusnya. Ia lalu meneruskan gosip dan desas-desus tentang pencarian menyeluruh oleh tim keamanan pada pelaku peracunan kekasih baru sang tuan. *** "Apakah mungkin Nona Venn yang melakukannya?" tanya Ford, ajudan Leon yang baru saja bergabung setelah menuntaskan misi pengintaian di markas Napoli, rival bisnis Leon yang beberapa waktu ini telah mengusik ketentraman kelabnya. "Venn? Hmm..." Leon terlihat memikirkan kemungkinan tersebut. Bagi para pria, persaingan dalam wilayah kekuasaan mungkin sudah hal yang biasa, tetapi apakah hal yang sama berlaku juga bagi para wanita? "Aku akan mencari tahu," ujar Leon dengan serius. Ford t
Pengawal yang bertugas menjaga keselamatan Arren memintanya untuk turun dari pohon. Sungguh, situasi ini dapat menjadi poin hukuman dan juga pengurangan gaji jika saja majikan mereka mengalami cedera."Tenanglah, aku jago memanjat," sahut Arren dengan keyakinan. Ia menggerakkan kakinya secara perlahan-lahan, naik ke atas satu persatu hingga mencapai ujung dahan. Di ujung sana, terdapat sarang burung pipit yang kehilangan salah satu anaknya. "Nah, baik-baik ya, burung kecil," ucap Arren dengan lembut, kemudian meletakkan kembali burung yang terjatuh tadi ke dalam sarangnya.Arren hendak beranjak pergi untuk menuruni batang pohon yang kokoh namun licin itu, namun, nahas, kakinya terpeleset. "Aaaaaaakkkhh....."Arren terpeleset, dan hampir terjatuh. Bisa-bisa, kakinya terkilir. Untung saja, seseorang menangkap tubuhnya tepat waktu. Arren benar-benar bersyukur. Rupanya, pengawal yang ditugaskan oleh Leon ada gunanya juga. "Siapa yang sedang menyelamatkan siapa?" tukas Leon dengan rasa
"Sebelum itu, jelaskan dulu, mengapa tadi Anda tiba-tiba menyeret saya ke dalam gudang?" tanya Arren sambil menunduk, untuk menyembunyikan ekspresi takut dan malu yang dirasakannya. Leon menarik alisnya, menganggap bodoh pertanyaan dari gadis yang telah menawan hatinya. "Kau bodoh atau tidak paham?" tanya Leon balik. “Apa maksud Anda?” "Aku sudah memperingatkan para pengawal agar menjagamu supaya tetap aman. Dan, apa yang tadi kusaksikan? Kau hampir patah tulang!" bentak Leon sambil mencengkram kedua lengan Arren yang tampak rapuh. “Aww ….” Seketika, Leon melepaskan cengkeramannya karena ia tahu bahwa Arren meringis kesakitan. Wajah gadis itu tampak pucat dan ketakutan. "Maaf, maksudku. Kau jangan membahayakan diri sendiri! Mengerti?" tegas Leon supaya Arren lebih berhati-hati di masa depan. "Baik, Tuan," sahut Arren patuh. Entah mengapa, perangai Leon tampak berbeda. Ia tidak lagi bersikap seenaknya. Apa ini? Apakah hati Arren mulai luluh kepadanya? Arren segera menepuk keras w
"Tugas terakhirmu adalah menjadi kambing hitam. Aku akan menciptakan sebuah cerita untuk melindungiku dan menyalahkanmu atas peracunan itu," ucap Venn dengan nada ancaman.Hillis bersimpuh dan memohon pada Venn agar tidak menjebaknya seperti itu. "Kasihanilah saya, Nyonya. Mana berani saya berbohong seperti itu?" Air mata Hillis mengalir deras dengan tubuh yang gemetar. "Kau akan menjadi orang yang bertanggung jawab, dan keselamatan keluargamu akan kujamin. Harus seperti itu!" tegas Venn tanpa ingin memberikan kesempatan untuk bernegosiasi. “Oh Tuhan!” pekiknya putus asa.Hillis memucat, ia dapat merasakan keputusasaan yang memenuhi hatinya. Namun, dia tahu bahwa tidak ada pilihan lain. Keluarganya dan nyawanya berada di tangan Venn. Dia hanya bisa menuruti perintahnya."Ingat, Hilis," Venn menambahkan dengan nada tajam. "Jika rencana ini berhasil, keluargamu akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Jika gagal, kalian akan menerima akibatnya."Hillis mengangguk dengan sedih semb
"Kapan dia akan sadar?" tanya Leon penuh kekhawatiran. "Dia akan cepat sadar, Tuan. Anda tidak perlu khawatir. Ini racun yang sama seperti yang pernah didapatkan oleh Nona Arren. kita sudah punya penawarnya," ucap dokter dengan nada yang meyakinkan."Hhhh.. Baiklah, terima kasih atas bantuanmu," kata Leon sambil berlalu. Ia sudah melaksanakan kewajibannya sebagai tuan rumah terhadap tanggungannya, saat ini, Leon harus kembali bekerja.Venn tidak mengetahui bahwa, cara Leon memperlakukannya sangat berbeda dengan Arren, ketika sama-sama sedang sekarat. Hanya sang dokter dan para pelayan yang mengetahui hal itu. Jika saja, Venn saat ini telah sadar, ia pasti sudah mengamuk dan menggila untuk menarik perhatian sang kekasih yang kehilangan bara cinta terhadapnya.*"Leon, apa yang terjadi? Kenapa mansion begitu gaduh?" tanya Ford yang baru saja turun dari mobil. Ia membawa beberapa botol minuman beralkohol terbaru untuk diuji oleh Leon.Bisnis Leon yang berhubungan dengan dunia malam, men
Arren memegang erat tangan gadis itu dan menuntunnya untuk duduk di gazebo terdekat. Ia menyuruh pelayan untuk membuatkan teh hangat supaya dapat menenangkannya. "Minumlah," ucap Arren lembut sambil menyodorkan secangkir teh hangat. Gadis itu tampak gemetar, dan menerima cangkir itu dengan penuh ketakutan. Sedetik kemudian, cangkir itu luput dari genggamannya. Prang! Cangkir terpecah, Arren terkejut, pengawal kembali bersiaga di dekat sang majikan. Namun, dengan ayunan tangan, Arren berhasil mengusir mereka kembali."Aku tidak apa-apa," ucapnya tegas. Arren memerintahkan para pengawalnya untuk menjauh, agar dapat memberi ruang yang tidak mengintimidasi bagi gadis tersebut. Lea tidak ingin situasinya menjadi semakin rumit.Arren kembali memfokuskan pandangannya pada sang gadis misterius, yang tak kunjung membuka identitasnya. "Apakah kau ingin terus bersikap seperti ini? Bagaimana aku bisa menolongmu, jika kau tak kunjung berbicara?" Arren mulai bersikap tegas pada gadis itu denga
Dalam kebuntuan penyelidikan oleh pihak kepolisian, Ford dan Leon merasa tertekan. Mereka tahu bahwa untuk mengungkap kebenaran di balik kericuhan itu, mereka membutuhkan dukungan dari para tamu yang menjadi saksi kunci. “Kau tahu, kan? Siapa yang tidak mengenalmu, Bos? Mereka takut salah bicara, dan malah diterkam dua binatang buas di luar sana,” Ford menyimpulkan keengganan para tamu untuk bersuara. Para tamu itu pasti tak ingin menambah beban masalah pada hidup mereka. Leonard Connor, terkenal sebagai pria paling berbahaya di ibu kota, sedangkan rivalnya, Napoli Toredo, juga tak kalah menyeramkan. Dalam dunia ini, orang yang waras dan berhati-hati akan menghindari hubungan dengan dua bos gengster ini secara sadar. Mereka tahu bahwa keterlibatan sekecil apapun dengan pria-pria berbahaya seperti Leonard Connor dan Napoli Toredo memiliki resiko besar bagi keselamatan hidup mereka. Dalam dunia kriminal, Leonard Connor dan Napoli Toredo bisa dikatakan sebagai nemesis, alias musuh be
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.