Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Seorang pria berjas hitam yang rapi dengan dasi merah terlihat berdiri dengan sikap tegak dan penuh kepercayaan diri.Dengan postur tubuh atletis dengan tinggi sekitar 185 cm, Pria itu sangat kokoh dan seakan sulit untuk didekati. Matanya berwarna cokelat tajam, dengan dagu bersih dan bibirnya yang sering terlipat dalam ekspresi serius. "Selamat pagi, Nyonya," sapanya sambil mengangguk hormat. Inspektur Kirk, pria itu kembali lagi ke Mansion ini, untuk apa? "Ada yang bisa saya bantu, Inspektur?" tanya Nyonya Rossie dengan ekspresi curiga. Ia belum mempersilahkan sang inspektur untuk masuk ke dalam kediamannya sebelum jelas apa kepentingan yang hendak diungkapkannya. Inspektur Kirk menjawab dengan suara yang tegas dan berwibawa, "Izinkan saya masuk, Nyonya Rossie. Saya memiliki berita yang harus saya sampaikan mengenai Abigail Rossie," ucapnya dengan ekspresi serius. "Abbey? Apalagi yang ingin Anda ketahui? Saya tidak ada hubungannya dengan dia!" teriak Nyonya Rossie yang mengejutk
Malam semakin larut, jam makan malam telah usai, seharusnya setelah ini, Nyonya Rossie, Arren dan Leon akan kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat atau melakukan kegiatan lain sambil menunggu waktu tidur tiba. Namun, sebelum beranjak dari ruang makan tersebut, sebuah kehebohan mengejutkan mereka. Seorang penjaga tampak tergopoh-gopoh masuk dan memberitahuksn bahwa ada rombongan pria besar yang sedang bertamu di gerbang Mansion mereka. Salah seorang di antaranya adalah mantan menantu sang Nyonya rumah, Adam Hart. "Nyo—nyonya. Adam Hart ingin bertemu Anda," ucap pengawal itu dengan napas tersengal. Dadanya kembang-kempis menahan laju oksigen yang terpompa cepat pada jantungnya. Keringatnya bercucuran, dan ia tampak sedikit gusar. Kedatangan tamu-tamu asing itu cukup memantik perhatian sehingga para penjaga bersiap dengan kewaspadaan ekstra. Mereka tidak ingin lagi terkecoh dan mengalami insiden membahayakan bagi penghuni Mansion seperti yang telah terjadi di masa lalu. "B
Semua terjadi begitu cepat. Tidak ada yang mengira bahwa momen berpamitan Adam Hart merupakan momen terakhir ia bertemu dengan sang putri di kehidupan ini. "Apa?!" "Benar, Nona. Ayah Anda tewas terpenggal, kemarin malam."Bagai disambar petir, Arren begitu terkejut dengan kabar yang tiba-tiba datang ini.Arren bercucuran air mata ketika mendengar kabar tentang kematian ayahnya, pagi ini. Ia benar-benar tidak menyangka, kemarin malam adalah hari terakhirnya bertemu dengan sang ayah yang telah ia maafkan sepenuhnya. "Leon …" panggil Arren yang kini kesulitan bernapas. Ia tiba-tiba merasa pusing dan tak lama kemudian, tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan."Arren!"Leon segera menangkap tubuh sang istri yang hampir ambruk ke tanah itu, kemudian menggendongnya hingga ke sofa terdekat. Leon pun sangat terkejut dengan berita yang baru ia dengar. Namun, Leon berusaha tetap tenang. Ia tidak ingin semakin memperkeruh suasana karena Leon sangat mengetahui bahwa istrinya lah yang lebih terlu
Kematian sang ayah memang membuat Arren terpukul. Gadis berhati hangat itu masih belum bisa merelakan satu-satunya orang tuanya tewas dengan cara mengenaskan. Beberapa waktu ini, sebelum jasad Adam dipulangkan dari unit forensik untuk dimakamkan, Arren mengunci diri di kamar. Ia tidak tampak ingin pergi ke luar dan memilih untuk makan di berdua saja dengan Leon. Nyonya besar sangat khawatir dengan keadaannya namun Leon berhasil meredam kecemasannya. "Biarkan Arren memulihkan diri, Nyonya," ucap Leon suatu kali ketika Nyonya besar sangat ingin menemui sang cucu. Arren tak kunjung memperlihatkan diri dan hanya memandang ke luar jendela sesekali. Selebihnya, ia akan tidur seharian dan hanya bangun ketika waktu makan telah datang. Pelayan hanya akan mengantar kereta berisi makanan dan meninggalkannya di depan kamar. Leon akan mengambilnya dan menyuapi Arren supaya tetap makan, meski kehilangan seleranya. Leon tidak akan membiarkan Arren sakit hanya karena merasakan duka. Pria berpiki
Sudah satu minggu ini, Adam pergi meninggalkan keluarga Rossie. Suasana berkabung yang tengah terjadi menjadi semakin berat pada hari ini. Dalam tradisi Rossie, masa berkabung selama tujuh hari adalah masa maksimal seseorang mengantar kepergian anggota keluarga. Anggota keluarga Rossie telah menjalani ritual tujuh hari penuh kesedihan, kini tiba saatnya untuk mengakhiri masa berkabung yang menyedihkan dan bersiap dengan hari baru yang akan menjelang. Pagi itu, sinar matahari seakan bersinar terik, tidak seperti biasanya. Cahayanya mampu menembus tirai hitam yang membentang di jendela-jendela Mansion sebagai penghalang cahaya yang sengaja ditutup sempurna dalam suasana duka. Matahari seakan mengetahui bahwa hari ini, suasana berkabung sudah harus diakhiri. Mau tidak mau, siap tidak siap, segala kain hitam yang telah menggelapkan seluruh Mansion harus segera disingkirkan. Keheningan yang telah menjadi teman setia keluarga Rossie kini berangsur memudar. Mereka sudah tampak beraktiv
“Belum mandi pun, kamu sudah cantik,” ucap Leon sambil mengecup lembut bibir Arren yang bersemu merah. Gadis itu tidak lagi bisa membantah atau pun mengelak. Ia menikmati setiap usapan lembut bibir sang suami dengan penuh kepuasan. “Mmh …” Mereka berdua mendesah nikmat dan ambruk ke ranjang. Leon bahkan tidak mempedulikan jasnya yang mungkin akan kusut jika bergelut di sana dengan istrinya. Leon terus melancarkan aksi penuh gairah dari bibir hingga ke leher jenjang sang istri. Ia juga bermain-main dengan kulit mulus Arren yang tersingkap ketika tangannya menggerayangi seluruh tubuh bagian atas. Gaun tidur Arren tertanggal sempurna. Ia kini tak ubahnya bayi yang terlentang tanpa busana. “Kau sangat cantik,” puji Leon sambil menikmati pemandangan indah di hadapannya. “Tidakkah kau ingin pergi?” tanya Arren sedikit menggoda. Rona wajahnya tidak mengatakan bahwa ia benar-benar akan mengusir sang suami untuk pergi begitu saja. Arren jelas menginginkan sentuhan lebih dari sang suami
Leon membatalkan rencananya untuk pergi ke pusat kota dan mengamati kondisi riil di lapangan. Ia begitu terbius dengan pesona sang istri yang sangat menggoda. Leon tak bisa menolaknya. Keesokan harinya, rutinitas itu berulang. Pria tampan dan gagah itu telah bersiap untuk pergi bekerja namun sang istri yang baru saja terbangun, lagi-lagi, memberi godaan yang tak terelakkan. “Sayang!” Arren menjerit, tatkala Leon lagi-lagi menyergapnya secara tiba-tiba. “Kenapa kamu begitu menggemaskan, huh?” tanyanya sambil mencumbui sang istri di sekitar leher. Jejak-jejak merah segera terbit dan hal itu sungguh membuat Arren malu. Namun, Leon tak mempedulikan jeritan istrinya. Ia terus menciumi tubuh Arren yang masih alami tanpa basuhan sabun atau pun produk kimia lainnya. Menurut Leon, aroma tubuh Arren sangat khas dan hal itu menggugah hasrat yang ia pendam dalam-dalam. “Bagaimana aku bisa kerja dengan tenang, kalau kau selalu membuatku terangsang, hm?” Leon berbisik lembut di telinga Arren d
Putri Lesel terkesiap, tatkala ada tangan kekar yang merengkuh pinggangnya dengan kokoh. Lengan yang meyentuh punggungnya begitu hangat. Tonjolan ototnya terasa kaku, memberi debaran yang fenomenal. Jantung Putri Lesel berdetak sangat kencang ketika wajah tampan itu mulai tampak. Wajah itu, garis rahang kokoh dengan jambang tipis keemasan, sangat mempesona! Wajah pria tampan itu baru saja tampak setelah terhalangi silau matahari yang menyusup lewat atap transparan hutan di dalam hotel tersebut. “Anda tidak apa-apa?” tanya sang pria yang belum diketahui namanya itu. “A–ah,” Putri Lesel belum menjawab. Ia tersipu malu. Untuk sesaat, ia bahkan tidak ingin melepaskan pelukan dari orang asing ini. Begitu mendebarkan! “Putri!” Pengawal Putri Lesel yang berada tak jauh darinya segera datang dan menyingkirkan pria tak dikenal itu. Ia bahkan hampir saja menodongkan senjata. Tapi, hal itu tidak terjadi. Segera saja, gerakan reflek itu dilarang oleh sang majikan. “Mundur!” ucap sang putr