Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya.
Leon menyunggingkan senyum. Daftar bisnis yang dikirimkan oleh ketua dewan membuatnya optimis. "Saya akan segera kembali dengan kabar gembira."Wajah-wajah para anggota dewan berubah cerah setelah mendengar kabar dari Leon yang tampak memberi harapan tinggi. "Kami benar-benar akan menantikan kabar itu," ucap Derreck dengan mata berbinar. Pertemuan pertama berakhir dengan hasil yang melegakan. Leon segera bersiap untuk kembali ke Mansion Rossie. "Tuan, ada telepon untuk Anda," kata sang ajudan sambil menyodorkan sebuah ponsel kepada Leon. Alis Leon bertaut. Siapa yang meneleponnya jam segini, apakah Arren? Istrinya itu benar-benar tidak sabar. "Halo?""Halo, Tuan Leon. Ini saya, Lesel.""Putri?""Ya, benar. Bisakah kita bertemu malam ini? Aku ingin mengundangmu makan malam."Leon berpikir sebentar. Tidak sopan jika mengajak kenalan penting seperti ini, akan tetapi, Leon tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman lebih jauh. "Maaf. Bisakah kita bertemu lain kali? Saya ada agenda lain."
Pria besar itu hampir saja menggebrak meja dan menodongkan pistol yang ada di sabuk rahasia di balik kemejanya, ketika mendengar jawaban dari sang ajudan istri yang seakan memiliki potensi berselingkuh di belakang punggungnya. Bicara soal pistol. Leon telah berhenti untuk bersikap abai dan kali ini, ia membawa senjata apinya itu kemana-mana. Mengandalkan keselamatan pada tonjolan otot dan pengawalnya saja tidak cukup. Leon telah memahami hal itu. Ia akan mulai menggunakan kembali Glocky–panggilan kesayangannya untuk pistol semi otomatis, Glock Meyer 22–yang telah menemaninya selama ini. Pada awalnya, Glocky tersimpan rapi di koper Leon. Ia tak menginginkan adanya pertumpahan darah karena Arren tidak menyukai pria bar-bar. Leon mengalah dan menyimpan Glocky dengan rapi tanpa ingin dipergunakan kembali. Sampai pada akhirnya, penyekapan Abigail pada Arren dan juga kejadian berbahaya lain yang mewajibkan Leon agar selalu waspada, mengubah niatnya tersebut. Leon akan kembali memperg
Pekikan sang ajudan membuat Leon terkejut. Arren pingsan? “Oh, tidak!” Leon segera menyambar jasnya dan mengangguk ke arah Shane. Ia segera menuju ke mobil diiringi langkah kaki sang ajudan yang berlari di belakangnya. Shane juga tampak khawatir, namun ia tidak memiliki hak untuk ikut dalam perjalan kembali ke Mansion Rossie ketika pekerjaannya saja sudah menumpuk seperti ini. “Semoga saja, Arren baik-baik saja,” gumamnya. *** Mobil Leon baru saja tiba di Mansion Rossie. Matahari telah menyingsing ke sisi barat. Semburat jingga mulai menghiasi cakrawala. Suasana di Mansion cukup ramai, terutama di dekat kamar Arren. “Arren! Di mana istriku?” tanya Leon. Ia membelah kerumunan pelayan yang memadati pintu masuk. Seorang pelayan yang sedang berlari ke arahnya memberi tahu, "Tuan, Nyonya Arren sedang bersama dokter di dalam. Mereka sedang berusaha memahami apa yang terjadi." Leon melangkah lebih cepat, mengabaikan hiruk-pikuk di sekelilingnya. Ajudan Leon mengamati dari kejauhan,
Suara sang dokter seperti kilatan petir yang mengejutkan, baik bagi Arren maupun Leon. Keduanya tampak sangat tercengang. “Ha–hamil?” Arren mengulang pernyataan sang dokter. Dokter pria itu mengangguk sembari menunjukkan hasil tes urin yang menyatakan bahwa hasil tes hcg Arren adalah positif. Ini berarti, ada janin yang seadng tumbuh di dalam rahimnya. “Sa–sayang!” Leon memekik kegirangan ketika Arren tampak terdiam, tak tahu harus merespon bagaimana. Ada secercah kebahagiaan di dalam hatinya namun juga ada ketakutan yang tiba-tiba datang. Arren duduk terdiam, matanya memandang kosong ke depan, mencoba meresapi kenyataan bahwa dia sekarang sedang mengandung. Leon dengan cepat bergerak mendekatinya, mencoba memberikan dukungan yang dia rasakan sangat dibutuhkan oleh Arren. Pria itu memeluk tubuh Arren yang mematung tanpa bergerak sedikit pun. "Dokter, apakah ini normal? Apa yang harus kami lakukan?" tanya Leon dengan nada panik, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja
Berita kehamilan Arren menyebar dengan cepat ke penjuru Mansion. Pagi ini, para pelayan kembali memadati kamar Arren–seperti malam sebelumnya ketika gadis itu ditemukan pingsan. Namun, kali ini suasanya berbeda. Tidak ada lagi gurat kecemasan yang mewarnai wajah mereka, yang ada hanyalah aura kebahagiaan. “Aku tidak percaya ini! Nona hamil!” “Benar! Ini benar-benar kebahagiaan terbesar yang bisa kita dapatkan!”Para pelayan berbisik, berseru hingga memekik karena sangat gembira. Selama beberapa waktu, mereka telah menyaksikan beragam kejadian memilukan yang menerpa keluarga ini. Dengan adanya berita kehamilan dari sang nona muda, pekerja di keluarga Rossie begitu bersyukur dan menantikan kelahiran sang Rossie muda dengan harapan tinggi. “Apa katamu?” Nyonya Rossie yang baru saja bangun dari tidurnya, terkejut dengan kabar berita yang disampaikan oleh kepala pelayan. “Nona hamil, Nyonya!” “Be–benarkah itu?” Matanya mulai berkaca-kaca. Nyonya Rossie benar-benar tidak mempercayai ha
Ucapan sang ajudan membuat alis Leon bertaut. “Rocky?” gumamnya. Sang ajudan mengangguk. “Siapa itu Rocky? Apakah pebisnis dari ibu kota?’ Leon menyelidik. Ia tidak merasa mengenal seseorang bernama Rocky, terlebih jika itu harus tersambung pada ponsel sang ajudan. “Siapa nama belakangnya?” “Ehm … Tuan. Itu, si Tuan Putri dari Rocky. Bukan si Rocky, maksud saya.” Ajudan menjelaskan dalam bahasa lelaki yang seharusnya dapat dimengerti oleh Leon. Mereka sedang berada di kediaman. Sangan tidak baik hasil akhirnya, jika nyonya muda yang sedang mengandung itu melemparkan tatapan curiga. Rocky, penyamaran, seorang wanita. Bukankah, kode itu seharusnya sangat brilian? “ASTAGA!” “Begitulah.” Mereka saling pandang sejenak, sebelum Leon akhirnya mengambil panggilan tersebut dengan enggan. Ada apa gerangan? Mengapa sang putri ingin kembali berbincang? Mau menolak, Leon merasa tidak sopan. Bagaimana pun, Putri Lesel adalah tamu negara, meski ilegal. Seyogyanya, tamu negara sepertinya mendap
Gelak tawa membahana di ruang makan, dengan Arren sebagai tokoh utama yang menarik perhatian. Leon senang menatap wajah sang istri yang kini tampak bahagia–tidak seperti waktu-waktu sebelumnya ketika ayahnya ditemukan hanya tinggal jasad tanpa kepala. Dalam hati, Leon berjanji akan menjaga senyum Arren agar terus merekah, sepanjang hidupnya. “Kau sudah mengantuk?” tanya Leon penuh perhatian. Arren menyipitkan mata seakan sedang memperhatikan sesuatu. “Mengantuk? Iya. Tapi, aku tidak ingin langsung tidur. Aku bisa muntah.” “Kau benar. Apakah kau ingin berjalan-jalan?” “Ayo! Aku ingin menghirup wangi bunga mawar di kebun belakang.” Leon mengangguk. Pria itu lalu mengulurkan tangan untuk membantu Arren bangkir dari tempat duduknya. Gadis itu meregangkan tubuhnya untuk sesaat, kemudian menyambut uluran tangan Leon yang sedang menunggu untuk digapai. Tiba-tiba, Nyonya Rossie masuk ke dalam ruang makan dan menyapa mereka berdua. “Kalian sudah menikmati makan malam?” tanyanya. Arren m
Nyonya besar tersenyum senang, akhirnya Leon dapat menjadi kaki-tangan yang bisa diandalkan. “Aku khawatir mereka ingin mengincar sesuatu. Entah apa itu.” Raut wajah sang Nyonya berubah khawatir. Leon dapat melihat perbedaanya dengan jelas. “Anda tidak perlu khawatir, Nyonya. Saya akan memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja.” Wajah sendu sang nenek berubah cerah. Meski malam semakin larut, namun kekhawatirannya kini telah mereda. “Kau benar-benar bisa diandalkan. Terima kasih, Leon,” ucap Nyonya Besar sambil menepuk pundak sang cucu menantu itu dengan bangga. Leon mengangguk, merasakan kehangatan yang menjalar di dalam hatinya. Leon baru merasakan kesatuan sebagai sebuah keluarga dengan pekerjaan yang saling dipikul sama rata. "Leon," ucap Nyonya Besar dengan suara lembut, "Aku memberikan kepercayaan ini kepadamu bukan hanya karena kemampuanmu, tetapi juga karena aku merasakan kebaikan hatimu. Keluarga Rossie selalu dijaga oleh kepercayaan, dan kini kau bagian darinya." L