Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Ucapan sang ajudan membuat alis Leon bertaut. “Rocky?” gumamnya. Sang ajudan mengangguk. “Siapa itu Rocky? Apakah pebisnis dari ibu kota?’ Leon menyelidik. Ia tidak merasa mengenal seseorang bernama Rocky, terlebih jika itu harus tersambung pada ponsel sang ajudan. “Siapa nama belakangnya?” “Ehm … Tuan. Itu, si Tuan Putri dari Rocky. Bukan si Rocky, maksud saya.” Ajudan menjelaskan dalam bahasa lelaki yang seharusnya dapat dimengerti oleh Leon. Mereka sedang berada di kediaman. Sangan tidak baik hasil akhirnya, jika nyonya muda yang sedang mengandung itu melemparkan tatapan curiga. Rocky, penyamaran, seorang wanita. Bukankah, kode itu seharusnya sangat brilian? “ASTAGA!” “Begitulah.” Mereka saling pandang sejenak, sebelum Leon akhirnya mengambil panggilan tersebut dengan enggan. Ada apa gerangan? Mengapa sang putri ingin kembali berbincang? Mau menolak, Leon merasa tidak sopan. Bagaimana pun, Putri Lesel adalah tamu negara, meski ilegal. Seyogyanya, tamu negara sepertinya mendap
Gelak tawa membahana di ruang makan, dengan Arren sebagai tokoh utama yang menarik perhatian. Leon senang menatap wajah sang istri yang kini tampak bahagia–tidak seperti waktu-waktu sebelumnya ketika ayahnya ditemukan hanya tinggal jasad tanpa kepala. Dalam hati, Leon berjanji akan menjaga senyum Arren agar terus merekah, sepanjang hidupnya. “Kau sudah mengantuk?” tanya Leon penuh perhatian. Arren menyipitkan mata seakan sedang memperhatikan sesuatu. “Mengantuk? Iya. Tapi, aku tidak ingin langsung tidur. Aku bisa muntah.” “Kau benar. Apakah kau ingin berjalan-jalan?” “Ayo! Aku ingin menghirup wangi bunga mawar di kebun belakang.” Leon mengangguk. Pria itu lalu mengulurkan tangan untuk membantu Arren bangkir dari tempat duduknya. Gadis itu meregangkan tubuhnya untuk sesaat, kemudian menyambut uluran tangan Leon yang sedang menunggu untuk digapai. Tiba-tiba, Nyonya Rossie masuk ke dalam ruang makan dan menyapa mereka berdua. “Kalian sudah menikmati makan malam?” tanyanya. Arren m
Nyonya besar tersenyum senang, akhirnya Leon dapat menjadi kaki-tangan yang bisa diandalkan. “Aku khawatir mereka ingin mengincar sesuatu. Entah apa itu.” Raut wajah sang Nyonya berubah khawatir. Leon dapat melihat perbedaanya dengan jelas. “Anda tidak perlu khawatir, Nyonya. Saya akan memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja.” Wajah sendu sang nenek berubah cerah. Meski malam semakin larut, namun kekhawatirannya kini telah mereda. “Kau benar-benar bisa diandalkan. Terima kasih, Leon,” ucap Nyonya Besar sambil menepuk pundak sang cucu menantu itu dengan bangga. Leon mengangguk, merasakan kehangatan yang menjalar di dalam hatinya. Leon baru merasakan kesatuan sebagai sebuah keluarga dengan pekerjaan yang saling dipikul sama rata. "Leon," ucap Nyonya Besar dengan suara lembut, "Aku memberikan kepercayaan ini kepadamu bukan hanya karena kemampuanmu, tetapi juga karena aku merasakan kebaikan hatimu. Keluarga Rossie selalu dijaga oleh kepercayaan, dan kini kau bagian darinya." L
Pria berbadan besar dengan jambang tebal berwarna kecokelatan itu tiba-tiba menghentikan pembicaraan di ruangan yang penuh dengan gemerlap lampu. Dengan langkah yang penuh keyakinan, ia menarik perhatian semua orang di sekitarnya. Pria tersebut, seolah-olah adalah penguasa yang selalu mendapatkan lampu sorot di setiap gerakannya. Leon menatapnya dengan pandangan curiga. “Anda–” “Halo,” sapanya sambil menggenggam tangan Leon yang sudah berdiri untuk menyambut seseorang itu–secara reflek. Pria itu mengenakan setelan mengkilap berwarna hitam yang membuatnya tampak begitu elegan dan berwibawa. Dasinya yang berwarna merah hati kontras dengan pakaian hitamnya, memberikan sentuhan kebangsawanan pada penampilannya. Setiap gerakannya dipenuhi dengan keanggunan seorang raja, seolah-olah ia terbiasa dengan perhatian dari seluruh ruangan. Tatapannya yang tajam memancarkan aura kepemimpinan yang tak terbantahkan. “Raja Charlie von Rocky.” “Leonard Connor.” “Ayah!” Putri Lesel hanya mering
Anak kecil yang disebutkan tertabrak itu tampak meringis dan memegangi lututnya di pinggir jalan. “Hei!” panggil Leon, setelah menenangkan diri akibat keterkejutan yang luar biasa. Anak itu tampak menangis dengan terisak. Leon segera mendekat ke arahnya. “Apakah kau terluka?” tanyanya penuh perhatian. Leon–pria kasar itu–kini adalah seorang calon ayah. Melihat ketakutan dan kepedihan yang dirasakan si gadis kecil itu membuat sudut hatinya terluka. Entah mengapa, Leon tiba-tiba merasakan bahwa bisa jadi yang terluka itu adalah putrinya sendiri. “Huhu … hiks …” Gadis itu menangis, masih belum berbicara. Sopir Leon yang merasa bersalah hadir di belakang sang majikan dengan membawa kotak obat. “Kita obati dulu, lalu bawa dia ke rumah sakit, Tuan.” Ia memberi saran. Leon segera mengangguk setuju, tanpa ragu. Ia ingin memastikan bahwa anak kecil itu mendapatkan pertolongan secepat mungkin. Dengan hati yang berdebar, Leon membantu anak kecil itu untuk duduk di tepi jalan dan mengambil k
“Di sebelah rumahku,” sahut Ava polos. Gadis cilik bermata jernih itu mendongak ke arah Leon karena tingginya hanya setinggi lutut pria itu. “Dokter. Saya harus menitipkan Ava sebentar,” ucap Leon dengan sorot mata tajam. Wajahnya merah padam, meski menyunggingkan sedikit senyuman hanya untuk mengelabui Ava. Leon tidak ingin bocah semakin ketakutan atau menderita. Hasil visum telah keluar. Bukti itu sudah cukup untuk menjebloskan paman tetangga Ava ke penjara. Namun, Leon memiliki rencana lain di luar tatanan hukum yang ada: pria bajingan seperti paman tetangga itu, sudah selayaknya dilemparkan ke kandang buaya. “A–anda ingin berbuat apa, Tuan?” Dokter itu tampak gelisah, sebelum menyanggupi permintaan Leon untuk menjaga Ava. Firasatnya mengatakan, akan terjadi hal buruk di luar dugaan. Sang dokter baru mengetahui identitas Leon yang sesungguhnya–menantu dari keluarga Rossie. Sudah tentu kualifikasinya tidak main-main. Ia khawatir, Leon akan melakukan tindakan main hakim sendiri d
Leon tampak marah dengan jawaban konyol dari si pemilik rumah. Mana mungkin hantu bisa menjawab jika bukan si empunya rumah? “Buka atau kudobrak pintunya!” Leon mengancam. Suaranya tegas dan dalam dengan wajah merah padam yang tak dapat disembunyikan. Beberapa saat kemudian, terdengar suara klik kecil yang menandakan knop pintu telah berputar. Seseorang menarik daun pintu itu hingga membentur rantai kecil sebagai pengaman–mengira Leon adalah pria kasar yang ingin menagih hutang. “Siapa kau?” hardik seorang lelaki tambun dengan bau asap rokok dan alkohol yang bercampur, memuakkan. Sorot matanya sayu, dominan merah, dengan gurat-gurat halus yang mengindikasikan kelelahan. Pria itu bahkan hanya menjulurkan separuh kepalanya, tanpa membuka penuh daun pintu yang dirantai itu. Ia merasa tidak suka dengan kedatangan Leon yang mendadak dan penuh ancaman. Pria itu harus menilai situasi, sebelum membiarkan tamu tak diundang itu untuk memasuki unit rumahnya. “Apakah kau kenal Ava?” Leon ber
Polisi telah meringkus paman tetangga Ava yang bernama Jose Guacan. Pria itu sebenarnya adalah mantan rekan kerja orang tua Ava yang baru-baru ini ditinggal mati oleh istrinya. Perangai Jose yang pemarah dan suka mabuk-mabukan, membuat para tetangga enggan berurusan dengannya. Kondisi pemukiman yang kumuh, turut memberi celah ketidakpedulian sehingga tak ada satu orang pun yang mengetahui perihal kasus pemerkosaan terhadap Ava. Ayah dan Ibu Ava telah lama menghilang, seolah, mereka memang berniat meninggalkan Ava tanpa penjagaan. Setelah mengikuti program pelatihan di sebuah instansi pencarian kerja, ayah dan ibu Ava tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Ava terpaksa menjadi anak angkat Jose yang kemudian disalahartikan sebagai tawanan pemuas nafsu, di usia sekecil itu. “Sepertinya dia tewas,” gumam petugas polisi yang mendobrak gudang yang berada di samping rumah Jose. Pria itu ditemukan tergeletak tanpa nyawa, dengan anoes berdarah yang sepertinya bekas siksaan—entah oleh si
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.