Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca
Ava tertidur, ketika mobil melintasi jalanan aspal yang mulus. Esme telah memberikan alamat rumahnya, untuk sementara, Ava akan tinggal di sana. “Aku telah mengurus kepindahan kalian ke sebuah rumah di pusat kota. Besok, kalian bisa pindah,” ucap Leon yang mengusahakan hal terbaik bagi Ava dan Esme agar segera bangkit dari keterpurukan. Leon rela mengeluarkan uang pribadinya untuk memberli tempat tinggal bagi Ava dan Esme, sampai orang tua gadis itu ditemukan. Setelahnya, mungkin mereka bisa memiliki dua rumah yang berdekatan karena Esme mungkin juga akan berkeluarga. Siapa yang mengira? Perwakilan dari kepolisian telah meneruskan dokumen terkait klaim sokongan dana untuk penyintas pelecehan dari dinas terkait. Leon menolaknya. Ia merasa dapat menyelesaikan persoalan ini sendiri, meski tak memutus komunikasi dari instansi pemerintah yang memantau perkembangan fisik dan psikis Ava dari waktu ke waktu. “Kalian harus berkemas. Besok, Sopir akan mengantar ke kediaman baru di pusat ko
Arren memandang Leon dengan tatapan mendalam, sambil mengelus perutnya. Entah mengapa, hormon kehamilan ini membuat gairahnhya meredup, tidak seperti sebelumnya. “Goda aku,” ucapnya sambil melingkarkan lengan ke leher sang suami. Leon memajukan wajahnya, mendekat ke hidung Arren. Kini, keduanya sedang bersitatap dengan penuh rasa cinta. Gairah Leon telah berubah, ia tak lagi ingin menyerang Arren secara membabi-buta seperti dulu. Leon ingin melakukannya secara perlahan dan dengan irama manis yang dapat dikenang. Sebuah ciuman kini didaratkan dengan lembut dan intens. Arren menyambutnya dengan hisapan yang perlahan dan memabukkan. Ciuman itu segera menjadi adegan adu ranjang yang cukup panas. “Sh! Leon! Pelan-pelan,” Arren mengingatkan karena sekarang ada janin yang sedang tumbuh dan berkembang di dalam tubuhnya. Leon mengangguk, meski tidak menghentikan gerakan tangannya yang kini melepaskan gaun Arren dan membuat wanita itu tampak polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh
“Kenapa?” Nyonya besar mengernyit. Ia tak memahami dengan respon Leon yang seakan sangat terkejut dengan perkataannya.“Tidak. Saya tidak perlu rekan,” tegas Leon tanpa ingin dibantah. Wajahnya mengeras, seperti sedang menahan sesuatu.“Kau yakin?” Nyonya besar masih menyangsikan sikap Leon. “Clark pasti akan banyak membantu. Dia–”“Tidak. Terima kasih.”Nyonya besar berhenti bicara. Ia merasa ada yang tidak beres dengan cucunya. Matanya yang bijak mengamati Leon yang duduk di seberangnya. "Leon, apa yang sedang mengganggumu?" tanyanya dengan penuh kepedulian.Leon menghela nafas dalam-dalam sebelum menjawab. Sebenarnya, ia tidak ingin membicarakan hal ini. "Nenek, saya tidak ingin melibatkan Clark dalam misi ini. Saya merasa lebih baik jika saya menangani ini sendiri."Nyonya besar mengernyit, mencoba memahami alasan di balik keputusan cucunya. "Kenapa? Clark adalah bagian dari tim keamanan keluarga ini, dan dia telah membuktikan kemampuannya. Apakah kau tidak yakin dengan kemampuanny
Keesokan harinya, matahari kembali menyapa bumi dengan sinarnya yang hangat. Di gang yang sama, sesuai dengan janji, rombongan Raja Charlie dan kelompok pedagang informasi berkumpul pada waktu yang telah ditentukan. Sebuah anggukan kecil menjadi kode rahasia bahwa kedua kubu telah bersatu di titik pertemuan yang tersembunyi dan kini sidang bersiap untuk melancarkan misi mereka. “Selamat datang, Tuan,” sapa pria tua yang kemarin mabuk itu. Sekarang, sepertinya ia telah sadar dan tidak lagi teler seperti ketika pertama kali bertemu. Raja Charlie mengangkat sebelah alisnya, menyadari bahwa pria yang sama tampak begitu berbeda. Kumis lebatnya telah dicukur dan kini penampilan sedikit lebih rapi dan bercahaya. “Ya. Mari berangkat,” ucap sang raja tanpa ingin membuang waktu lebih lama lagi. Mereka harus segera bergerak sebelum matahari semakin meninggi. “Baik. Mari, ikuti saya,” Pria tua itu segera menuju ke arah mobil yang sudah cukup tua, dengan kelima anak buahnya–pria kemarin ya
Keringat dingin mulai membasahi dahi sang raja. Ia diam seribu bahasa. Entah mengapa, pertanyaan dari Hamz mengintimidasinya. Hamz menatap Raja Charlie dengan tajam, matanya seperti menembus kedalaman pikirannya. Udara di sekitar mereka terasa semakin tegang, seolah-olah seluruh alam merasakan ketegangan yang menggelayuti sang raja. “Si–al,” raja mendecih. Mengapa ia harus merasa kikuk seperti ini? “Apa yang kau bicarakan? Siapa yang panik?” Raja Charlie berkilah. Ia kembali menjadi dirinya sendiri. Sang raja tidak boleh memberi celah kecurigaan agar Hamz tidak semakin mencecarnya dengan pertanyaan lain yang dapat membahayakan. “Hm ….” Hamz terdiam. Ia sadar bahwa ia telah bersikap tidak sopan kepada kliennya. “Maafkan saya, Tuan,” ucap Hamz. “Panggil aku ‘Yang Mulia’ jika tidak ada orang lain!” “Baik, Yang Mulia,” Hamz memutar bola matanya. Melayani raja labil seperti ini cukup melelahkan. Raja Charlie akhirnya dapat tersenyum kembali. Ia tidak lagi menekuk wajahnya atau menata
Keberadaan tambang garam itu menjadi mitos dan hanya sebatas buah bibir ketika seseorang mendengarnya di pusat kota. Tidak ada yang pernah ke sana, atau lebih tepatnya, orang-orang yang pernah bekerja di sana, tidak ada yang pernah kembali dengan selamat. Leon masih mencari jejak organisasi The Brave dan menghubungi Jawan yang sedang melakukan penyelidikan terhadap rombongan keluarga Rocky. Tidak ada intelijen wilayah yang fokus bertugas karena kacaunya pimpinan yang berganti, kondisi keamanan Rossie sedang tidak baik-baik saja. “Sayang, kau akan pergi ke mana?” Arren memandang Leon dengan tatapan lembut namun penuh pertanyaan. DI pagi hari seperti ini, Leon telah memakai setelan jasnya dan juga bercukur, serta menyisir rapi rambutnya. Sepertinya, ada bisnis lain yang sedang ditanganinya. “Aku harus pergi ke suatu tempat, Sayang.” Leon menjawab lembut sambil menatap Arren dari arah cermin yang berada di hadapannya. Ia sedang memakai dasi, namun tidak kunjung berhasil. Arren tertawa
“Nona!” “Dolores? Benar, kan?” Arren mencoba mengingat. Pria tinggi dengan rambut pirang yang tipis dan wajah kotak itu … “Laurens!” Akhirnya ia mengigat nama depan si pria muda. “Benar, Nona Rossie. Saya Laurens Dolores. Senang berjumpa dengan Anda lagi,” Laurens membungkukkan badan. Arren menutup mulutnya, tak percaya bahwa ia akan bertemu kawan lama di tempat seperti ini. Ia tersenyum cerah dan berbincang ringan dengan Laurens. “Bagaimana kabar adikmu?” “Lora? Ah, ya, dia sudah lebih baik.” “Memangnya, dia pernah sakit?” “Lebih tepatnya, sakit hati, Nona. Ia baru saja patah hati.” “Oh! Astaga!” Arren cukup bersimpati kepada gadis remaja itu. Urusan asmara–untuk anak berusia 15 tahun–memang cukup rumit dan menyedihkan, jika sampai tertolak seperti itu. “Apakah pria itu tidak baik?” Arren penasaran. “Pria itu … menghilang begitu saja ketika pergi berkencan dengannya di banquet rakyat, pesta Anda,” ucap Laurens ringan. “Astaga! Menyedihkan!” “Ya, untuk itulah Lora menangis
“Arren, apa yang terjadi?” Clark bertanya dengan penasaran. Arren tiba-tiba membeku. Ia bahkan tak mengalihkan pandangan dari jendela yang menghadap ke seberang jalan. “Ada apa?” Clark ikut menoleh ke belakang, mencoba mencari tahu sosok yang menangkap perhatian Arren sampai wanita itu tidak menyahuti panggilannya. Clark tidak menemukan apa-apa. “Arren .…” panggilnya lagi. Kali ini, Clark menjentikkan jarinya ke wajah Arren, berusaha menyadarkan wanita itu dari tatapan kosongnya. “Ah!” Arren terkesiap. Ia tersadara sepenuhnya namun, air mukanya berubah. “Clark, sepertinya aku harus pergi,” ucapnya tiba-tiba. Ia mengelap sudut bibirnya dengan lap makan dan mulai bangkit dari kursinya. Kakinya hampir tersandung karena Arren tampak tergesa-gesa. “Arren, apa yang terjadi padamu?” Clark menarik tangan wanita itu sebelum ia pergi lebih jauh. “Biarkan aku ikut denganmu,” pintanya. Clark merasa ada sesuatu yang tidak beres dari gelagat Arren. Ia harus mengetahui apa itu. “A–aku akan ber
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.