Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca
Arren memandang Leon dengan tatapan mendalam, sambil mengelus perutnya. Entah mengapa, hormon kehamilan ini membuat gairahnhya meredup, tidak seperti sebelumnya. “Goda aku,” ucapnya sambil melingkarkan lengan ke leher sang suami. Leon memajukan wajahnya, mendekat ke hidung Arren. Kini, keduanya sedang bersitatap dengan penuh rasa cinta. Gairah Leon telah berubah, ia tak lagi ingin menyerang Arren secara membabi-buta seperti dulu. Leon ingin melakukannya secara perlahan dan dengan irama manis yang dapat dikenang. Sebuah ciuman kini didaratkan dengan lembut dan intens. Arren menyambutnya dengan hisapan yang perlahan dan memabukkan. Ciuman itu segera menjadi adegan adu ranjang yang cukup panas. “Sh! Leon! Pelan-pelan,” Arren mengingatkan karena sekarang ada janin yang sedang tumbuh dan berkembang di dalam tubuhnya. Leon mengangguk, meski tidak menghentikan gerakan tangannya yang kini melepaskan gaun Arren dan membuat wanita itu tampak polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh
“Kenapa?” Nyonya besar mengernyit. Ia tak memahami dengan respon Leon yang seakan sangat terkejut dengan perkataannya.“Tidak. Saya tidak perlu rekan,” tegas Leon tanpa ingin dibantah. Wajahnya mengeras, seperti sedang menahan sesuatu.“Kau yakin?” Nyonya besar masih menyangsikan sikap Leon. “Clark pasti akan banyak membantu. Dia–”“Tidak. Terima kasih.”Nyonya besar berhenti bicara. Ia merasa ada yang tidak beres dengan cucunya. Matanya yang bijak mengamati Leon yang duduk di seberangnya. "Leon, apa yang sedang mengganggumu?" tanyanya dengan penuh kepedulian.Leon menghela nafas dalam-dalam sebelum menjawab. Sebenarnya, ia tidak ingin membicarakan hal ini. "Nenek, saya tidak ingin melibatkan Clark dalam misi ini. Saya merasa lebih baik jika saya menangani ini sendiri."Nyonya besar mengernyit, mencoba memahami alasan di balik keputusan cucunya. "Kenapa? Clark adalah bagian dari tim keamanan keluarga ini, dan dia telah membuktikan kemampuannya. Apakah kau tidak yakin dengan kemampuanny
Keesokan harinya, matahari kembali menyapa bumi dengan sinarnya yang hangat. Di gang yang sama, sesuai dengan janji, rombongan Raja Charlie dan kelompok pedagang informasi berkumpul pada waktu yang telah ditentukan. Sebuah anggukan kecil menjadi kode rahasia bahwa kedua kubu telah bersatu di titik pertemuan yang tersembunyi dan kini sidang bersiap untuk melancarkan misi mereka. “Selamat datang, Tuan,” sapa pria tua yang kemarin mabuk itu. Sekarang, sepertinya ia telah sadar dan tidak lagi teler seperti ketika pertama kali bertemu. Raja Charlie mengangkat sebelah alisnya, menyadari bahwa pria yang sama tampak begitu berbeda. Kumis lebatnya telah dicukur dan kini penampilan sedikit lebih rapi dan bercahaya. “Ya. Mari berangkat,” ucap sang raja tanpa ingin membuang waktu lebih lama lagi. Mereka harus segera bergerak sebelum matahari semakin meninggi. “Baik. Mari, ikuti saya,” Pria tua itu segera menuju ke arah mobil yang sudah cukup tua, dengan kelima anak buahnya–pria kemarin ya
Keringat dingin mulai membasahi dahi sang raja. Ia diam seribu bahasa. Entah mengapa, pertanyaan dari Hamz mengintimidasinya. Hamz menatap Raja Charlie dengan tajam, matanya seperti menembus kedalaman pikirannya. Udara di sekitar mereka terasa semakin tegang, seolah-olah seluruh alam merasakan ketegangan yang menggelayuti sang raja. “Si–al,” raja mendecih. Mengapa ia harus merasa kikuk seperti ini? “Apa yang kau bicarakan? Siapa yang panik?” Raja Charlie berkilah. Ia kembali menjadi dirinya sendiri. Sang raja tidak boleh memberi celah kecurigaan agar Hamz tidak semakin mencecarnya dengan pertanyaan lain yang dapat membahayakan. “Hm ….” Hamz terdiam. Ia sadar bahwa ia telah bersikap tidak sopan kepada kliennya. “Maafkan saya, Tuan,” ucap Hamz. “Panggil aku ‘Yang Mulia’ jika tidak ada orang lain!” “Baik, Yang Mulia,” Hamz memutar bola matanya. Melayani raja labil seperti ini cukup melelahkan. Raja Charlie akhirnya dapat tersenyum kembali. Ia tidak lagi menekuk wajahnya atau menata
Keberadaan tambang garam itu menjadi mitos dan hanya sebatas buah bibir ketika seseorang mendengarnya di pusat kota. Tidak ada yang pernah ke sana, atau lebih tepatnya, orang-orang yang pernah bekerja di sana, tidak ada yang pernah kembali dengan selamat. Leon masih mencari jejak organisasi The Brave dan menghubungi Jawan yang sedang melakukan penyelidikan terhadap rombongan keluarga Rocky. Tidak ada intelijen wilayah yang fokus bertugas karena kacaunya pimpinan yang berganti, kondisi keamanan Rossie sedang tidak baik-baik saja. “Sayang, kau akan pergi ke mana?” Arren memandang Leon dengan tatapan lembut namun penuh pertanyaan. DI pagi hari seperti ini, Leon telah memakai setelan jasnya dan juga bercukur, serta menyisir rapi rambutnya. Sepertinya, ada bisnis lain yang sedang ditanganinya. “Aku harus pergi ke suatu tempat, Sayang.” Leon menjawab lembut sambil menatap Arren dari arah cermin yang berada di hadapannya. Ia sedang memakai dasi, namun tidak kunjung berhasil. Arren tertawa
“Nona!” “Dolores? Benar, kan?” Arren mencoba mengingat. Pria tinggi dengan rambut pirang yang tipis dan wajah kotak itu … “Laurens!” Akhirnya ia mengigat nama depan si pria muda. “Benar, Nona Rossie. Saya Laurens Dolores. Senang berjumpa dengan Anda lagi,” Laurens membungkukkan badan. Arren menutup mulutnya, tak percaya bahwa ia akan bertemu kawan lama di tempat seperti ini. Ia tersenyum cerah dan berbincang ringan dengan Laurens. “Bagaimana kabar adikmu?” “Lora? Ah, ya, dia sudah lebih baik.” “Memangnya, dia pernah sakit?” “Lebih tepatnya, sakit hati, Nona. Ia baru saja patah hati.” “Oh! Astaga!” Arren cukup bersimpati kepada gadis remaja itu. Urusan asmara–untuk anak berusia 15 tahun–memang cukup rumit dan menyedihkan, jika sampai tertolak seperti itu. “Apakah pria itu tidak baik?” Arren penasaran. “Pria itu … menghilang begitu saja ketika pergi berkencan dengannya di banquet rakyat, pesta Anda,” ucap Laurens ringan. “Astaga! Menyedihkan!” “Ya, untuk itulah Lora menangis
“Arren, apa yang terjadi?” Clark bertanya dengan penasaran. Arren tiba-tiba membeku. Ia bahkan tak mengalihkan pandangan dari jendela yang menghadap ke seberang jalan. “Ada apa?” Clark ikut menoleh ke belakang, mencoba mencari tahu sosok yang menangkap perhatian Arren sampai wanita itu tidak menyahuti panggilannya. Clark tidak menemukan apa-apa. “Arren .…” panggilnya lagi. Kali ini, Clark menjentikkan jarinya ke wajah Arren, berusaha menyadarkan wanita itu dari tatapan kosongnya. “Ah!” Arren terkesiap. Ia tersadara sepenuhnya namun, air mukanya berubah. “Clark, sepertinya aku harus pergi,” ucapnya tiba-tiba. Ia mengelap sudut bibirnya dengan lap makan dan mulai bangkit dari kursinya. Kakinya hampir tersandung karena Arren tampak tergesa-gesa. “Arren, apa yang terjadi padamu?” Clark menarik tangan wanita itu sebelum ia pergi lebih jauh. “Biarkan aku ikut denganmu,” pintanya. Clark merasa ada sesuatu yang tidak beres dari gelagat Arren. Ia harus mengetahui apa itu. “A–aku akan ber
Sesak dada segera terasa, tatkala mengetahui bahwa suaminya kini bermain gila di belakangnya. Hati istri mana yang tidak patah karenanya? “Ja … hat ….” Arren menitikkan air mata. Ia menangis tersedu-sedu di pinggir kaca besar yang menghalanginya dari pandangan Leon. Pria itu, dengan selingkuhannya, berada di sisi dalam sedangkan Arren ada di luar sedang berpanas-panasan. Hati Arren remuk ketika melihat dengan jelas suaminya, Leon, bersama wanita tak dikenal di sebuah kafe yang cukup terpencil itu. Apakah, ini yang disebut Leon sebagai ‘bisnis’? Sia-sia saja Arren mengkhawatirkan sang suami yang ternyata … ah, ia bahkan tak bisa melanjutkan bagaimana akhrinya. Air mata Arren tumpah tanpa bisa dikontrol. Rasa kekecewaan menyelimuti hatinya seperti badai yang merobek-robek langit biru. Suara sang putri yang tertawa-tawa dengan ceria semakin menusuk telinganya. "Kenapa, Leon? Kenapa kau melakukan ini padaku?" gumam Arren di antara isak tangisnya. Kaca besar di depannya menjadi saksi b