Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
Keesokan harinya, matahari kembali menyapa bumi dengan sinarnya yang hangat. Di gang yang sama, sesuai dengan janji, rombongan Raja Charlie dan kelompok pedagang informasi berkumpul pada waktu yang telah ditentukan. Sebuah anggukan kecil menjadi kode rahasia bahwa kedua kubu telah bersatu di titik pertemuan yang tersembunyi dan kini sidang bersiap untuk melancarkan misi mereka. “Selamat datang, Tuan,” sapa pria tua yang kemarin mabuk itu. Sekarang, sepertinya ia telah sadar dan tidak lagi teler seperti ketika pertama kali bertemu. Raja Charlie mengangkat sebelah alisnya, menyadari bahwa pria yang sama tampak begitu berbeda. Kumis lebatnya telah dicukur dan kini penampilan sedikit lebih rapi dan bercahaya. “Ya. Mari berangkat,” ucap sang raja tanpa ingin membuang waktu lebih lama lagi. Mereka harus segera bergerak sebelum matahari semakin meninggi. “Baik. Mari, ikuti saya,” Pria tua itu segera menuju ke arah mobil yang sudah cukup tua, dengan kelima anak buahnya–pria kemarin ya
Keringat dingin mulai membasahi dahi sang raja. Ia diam seribu bahasa. Entah mengapa, pertanyaan dari Hamz mengintimidasinya. Hamz menatap Raja Charlie dengan tajam, matanya seperti menembus kedalaman pikirannya. Udara di sekitar mereka terasa semakin tegang, seolah-olah seluruh alam merasakan ketegangan yang menggelayuti sang raja. “Si–al,” raja mendecih. Mengapa ia harus merasa kikuk seperti ini? “Apa yang kau bicarakan? Siapa yang panik?” Raja Charlie berkilah. Ia kembali menjadi dirinya sendiri. Sang raja tidak boleh memberi celah kecurigaan agar Hamz tidak semakin mencecarnya dengan pertanyaan lain yang dapat membahayakan. “Hm ….” Hamz terdiam. Ia sadar bahwa ia telah bersikap tidak sopan kepada kliennya. “Maafkan saya, Tuan,” ucap Hamz. “Panggil aku ‘Yang Mulia’ jika tidak ada orang lain!” “Baik, Yang Mulia,” Hamz memutar bola matanya. Melayani raja labil seperti ini cukup melelahkan. Raja Charlie akhirnya dapat tersenyum kembali. Ia tidak lagi menekuk wajahnya atau menata
Keberadaan tambang garam itu menjadi mitos dan hanya sebatas buah bibir ketika seseorang mendengarnya di pusat kota. Tidak ada yang pernah ke sana, atau lebih tepatnya, orang-orang yang pernah bekerja di sana, tidak ada yang pernah kembali dengan selamat. Leon masih mencari jejak organisasi The Brave dan menghubungi Jawan yang sedang melakukan penyelidikan terhadap rombongan keluarga Rocky. Tidak ada intelijen wilayah yang fokus bertugas karena kacaunya pimpinan yang berganti, kondisi keamanan Rossie sedang tidak baik-baik saja. “Sayang, kau akan pergi ke mana?” Arren memandang Leon dengan tatapan lembut namun penuh pertanyaan. DI pagi hari seperti ini, Leon telah memakai setelan jasnya dan juga bercukur, serta menyisir rapi rambutnya. Sepertinya, ada bisnis lain yang sedang ditanganinya. “Aku harus pergi ke suatu tempat, Sayang.” Leon menjawab lembut sambil menatap Arren dari arah cermin yang berada di hadapannya. Ia sedang memakai dasi, namun tidak kunjung berhasil. Arren tertawa
“Nona!” “Dolores? Benar, kan?” Arren mencoba mengingat. Pria tinggi dengan rambut pirang yang tipis dan wajah kotak itu … “Laurens!” Akhirnya ia mengigat nama depan si pria muda. “Benar, Nona Rossie. Saya Laurens Dolores. Senang berjumpa dengan Anda lagi,” Laurens membungkukkan badan. Arren menutup mulutnya, tak percaya bahwa ia akan bertemu kawan lama di tempat seperti ini. Ia tersenyum cerah dan berbincang ringan dengan Laurens. “Bagaimana kabar adikmu?” “Lora? Ah, ya, dia sudah lebih baik.” “Memangnya, dia pernah sakit?” “Lebih tepatnya, sakit hati, Nona. Ia baru saja patah hati.” “Oh! Astaga!” Arren cukup bersimpati kepada gadis remaja itu. Urusan asmara–untuk anak berusia 15 tahun–memang cukup rumit dan menyedihkan, jika sampai tertolak seperti itu. “Apakah pria itu tidak baik?” Arren penasaran. “Pria itu … menghilang begitu saja ketika pergi berkencan dengannya di banquet rakyat, pesta Anda,” ucap Laurens ringan. “Astaga! Menyedihkan!” “Ya, untuk itulah Lora menangis
“Arren, apa yang terjadi?” Clark bertanya dengan penasaran. Arren tiba-tiba membeku. Ia bahkan tak mengalihkan pandangan dari jendela yang menghadap ke seberang jalan. “Ada apa?” Clark ikut menoleh ke belakang, mencoba mencari tahu sosok yang menangkap perhatian Arren sampai wanita itu tidak menyahuti panggilannya. Clark tidak menemukan apa-apa. “Arren .…” panggilnya lagi. Kali ini, Clark menjentikkan jarinya ke wajah Arren, berusaha menyadarkan wanita itu dari tatapan kosongnya. “Ah!” Arren terkesiap. Ia tersadara sepenuhnya namun, air mukanya berubah. “Clark, sepertinya aku harus pergi,” ucapnya tiba-tiba. Ia mengelap sudut bibirnya dengan lap makan dan mulai bangkit dari kursinya. Kakinya hampir tersandung karena Arren tampak tergesa-gesa. “Arren, apa yang terjadi padamu?” Clark menarik tangan wanita itu sebelum ia pergi lebih jauh. “Biarkan aku ikut denganmu,” pintanya. Clark merasa ada sesuatu yang tidak beres dari gelagat Arren. Ia harus mengetahui apa itu. “A–aku akan ber
Sesak dada segera terasa, tatkala mengetahui bahwa suaminya kini bermain gila di belakangnya. Hati istri mana yang tidak patah karenanya? “Ja … hat ….” Arren menitikkan air mata. Ia menangis tersedu-sedu di pinggir kaca besar yang menghalanginya dari pandangan Leon. Pria itu, dengan selingkuhannya, berada di sisi dalam sedangkan Arren ada di luar sedang berpanas-panasan. Hati Arren remuk ketika melihat dengan jelas suaminya, Leon, bersama wanita tak dikenal di sebuah kafe yang cukup terpencil itu. Apakah, ini yang disebut Leon sebagai ‘bisnis’? Sia-sia saja Arren mengkhawatirkan sang suami yang ternyata … ah, ia bahkan tak bisa melanjutkan bagaimana akhrinya. Air mata Arren tumpah tanpa bisa dikontrol. Rasa kekecewaan menyelimuti hatinya seperti badai yang merobek-robek langit biru. Suara sang putri yang tertawa-tawa dengan ceria semakin menusuk telinganya. "Kenapa, Leon? Kenapa kau melakukan ini padaku?" gumam Arren di antara isak tangisnya. Kaca besar di depannya menjadi saksi b
Leon terkejut karena mendapati bahwa sisi lain ranjang yang seharusnya menjadi tempatnya untuk tidur, kini basah oleh … cairan aneh! “Apa ini, darah?” Leon bertanya-tanya, karena warnanya merah, bentuk cairannya cukup kental dan … berbau amis! “Arren! Apa yang terjadi?” Leon tidak bisa menahan dirinya. Ia berteriak karena ketakutan. Leon tidka biasanya memiliki rasa takut, akan tetapi, tentu saja darah ini tidak biasa! “Kau baik-baik saja?!” Leon mengguncang tubuh Arren. Wanita itu hanya menggeram marah dan menampik tangan Leon. “Aku haid! Jadi, pergilah tidur di tempat lain!’ ketusnya. “A—aren ….” Leon tidak menyangka bahwa Arren akan bersikap dingin seperti itu. Ada apa dengannya? "Maafkan aku, Arren. Apakah aku melakukan kesalahan?" tanya Leon dengan lembut. Ia kini mengelus lembut rambut Arren yang menyapu sebagian sisi ranjang. Usapan tangannya yang perlahan, hampir memusnahkan kebencian di hati Arren akan peristiwa tadi siang. “Ah!” Arren menyingkirkan tangan itu dengan k
Tidak ada yang dapat menggambarkan bagaimana perasaan Leon pagi itu. Ia sangat kesal! “Arren! Kau tidak boleh pergi!” teriaknya yang tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Arren—yang kini berada di sisi Clark—hanya tersenyum sinis. Ia tidak mempedulikan kemarahan Leon. “Sampai jumpa!”“Arren!” Leon semakin naik pitam. Namun, Nyonya besar segera menggenggam lengan Leon yang begitu besar. Wanita tua itu hampir saja kesulitan menahan Leon agar tak mengamuk. Ia sangat tahu bahwa cucu perempuannya itu sedang merajuk. “Biarkan dia, Leon. Jika kau melarang atau mengejarnya, ia akan semakin menjauhimu!” “Tapi ….”“Percayalah padaku. Apa pun yang terjadi di antara kalian, akan membaik, seiring berjalannya waktu.”Leon memijat pelipisnya yang penuh dengan gurat kemarahan. Napasnya terasa berat karena menahan gejolak amarah yang tidak ada habisnya. Leon berusaha menenangkan dirinya. “Percayalah padaku, hm?”Leon menghela nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya meskipun amarahnya masi