Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
Tidak ada yang dapat menggambarkan bagaimana perasaan Leon pagi itu. Ia sangat kesal! “Arren! Kau tidak boleh pergi!” teriaknya yang tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Arren—yang kini berada di sisi Clark—hanya tersenyum sinis. Ia tidak mempedulikan kemarahan Leon. “Sampai jumpa!”“Arren!” Leon semakin naik pitam. Namun, Nyonya besar segera menggenggam lengan Leon yang begitu besar. Wanita tua itu hampir saja kesulitan menahan Leon agar tak mengamuk. Ia sangat tahu bahwa cucu perempuannya itu sedang merajuk. “Biarkan dia, Leon. Jika kau melarang atau mengejarnya, ia akan semakin menjauhimu!” “Tapi ….”“Percayalah padaku. Apa pun yang terjadi di antara kalian, akan membaik, seiring berjalannya waktu.”Leon memijat pelipisnya yang penuh dengan gurat kemarahan. Napasnya terasa berat karena menahan gejolak amarah yang tidak ada habisnya. Leon berusaha menenangkan dirinya. “Percayalah padaku, hm?”Leon menghela nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya meskipun amarahnya masi
“Oh, tidak,” Arren mengelak, meski matanya tidak berkata demikian. Ia terus saja memperhatikan wanita itu dan seolah ingin mencabik-cabiknya saat itu juga. Kafe itu masih terlihat ramai, bahkan wanita yang sedang dicurigai oleh Arren tidak tampak memperhatikannya lebih lanjut. Arren meremas sapu tangan yang ada pada genggamannya, seolah, sapu tangan itu adalah perwujudan dari wanita yang sedang dicurigai sebagai selingkuhan Leon. Dicurigai? Bukankah mereka memang benar-benar telah berselingkuh di belakangnya? “Arren ….” Clark mencoba memanggilnya lagi. Arren tidak tampak memperhatikan apa pun kecuali wanita bergaun bunga yang sejak tadi berada dalam radarnya. “Kau ingin tambah kuenya?” tanya Clark seolah tidak ingin membahas soal wanita itu lebih lanjut. “Tidak,” Arren menggeleng. Kali ini, sapu tangan itu ia letakkan begitu saja dan Arren tampak bangkit dari kursinya. “Aku ingin ke kamar mandi,” ucapnya. Clark mengangguk. Arren pergi menjauh untuk sementara. Hatinya masih berdeba
“Apa?” Arren membeliak. Ia tidak menyangka bahwa Clark akan mengatakan hal yang tak masuk akal seperti itu. “Bukankah, usiamu masih produktif, huh? Apa yang terjadi?” Arren menelisik. Tatapannya memindai Clark sedemikian rupa, mencoba mencari jawaban dari gestur pria itu yang tidak tampak … aneh! “Aku ingin berpetualang, Arren. Sudah saatnya aku pergi dari wilayah ini. Toh, kau sudah kembali. Misiku hanya sampai kau kembali lagi ke sini,” ucap Clark sambil menatap cangkir kopinya yang telah kosong. Sekilas, Arren merasa Clark sedang menghindarinya. Pria itu tidak tampak ingin menatap Arren atau pun mencoba menanamkan perkataannya secara lebih dalam. Ada apa dengannya? “Clark. Apakah, ada sesuatu yang ingin kamu katakan?” “Tidak.” “Tolong, jangan pensiun, Clark. Hanya kau lah satu-satunya temanku di sini.” “Maaf, Arren, tetapi aku memang harus pergi,” Clark mulai menatap Arren secara benar. Pandangan mereka berdua seakan sedang mengisyaratakan suatu momen yang pernah hilang. Ar
Suara anonim itu bergema di seluruh ruangan, menciptakan gelombang kejut yang melanda Leon secara tiba-tiba. Langkah kaki yang awalnya hendak melangkah masuk ke dalam lorong terhenti. Mata Leon sibuk mencari-cari sumber suara yang terkesan misterius itu, namun … Leon tidak menemukan apa pun! “Tunjukkan dirimu!” seru Leon dengan lantang sambil tetap mewaspadai hal-hal yang mungkin terjadi. Pandangannya menyapu ke seluruh penjuru sudut yang tak terlihat. Di antara rak-rak buku kuno, barulah Leon dapat melihat sosok seorang pria tua yang sedang memegang senapan tanpa keraguan sedikit pun dari sorot matanya. “Pergi lah dari sini!” teriaknya kencang sambil mengacungkan senjata, berharap, Leon takut dan mengurungkan langkahnya untuk masuk ke wilayah terlarang itu lebih lanjut. Leon mengangkat ke dua tangannya, seakan memberi tanda bahwa ia bukan lah pria yang berbahaya. “Saya tidak ingin mencari masalah, Tuan,” ucapnya sopan. Namun, pria tua bersenapan itu tidak tampak mengendurkan kewasp
Setelah memperoleh informasi dari James dan Alicia, Leon kembali ke mobilnya. Di sana, ajudan dan juga sang sopir telah menunggu kedatangan sang majikan. “Bagaimana, Tuan?” tanya ajudan itu dengan penuh rasa cemas. Ia dilarang mengikuti Leon karena harus menunggu panggilan dari Jawan–detektif swasta yang diperintahkan untuk menyelidiki rencana Raja Charlie. Sang ajudan, bagaimana pun, tentu saja mengkhawatirkan majikannya. Terlebih, Leon tidak tampak kembali dengan segera. “Semua baik-baik saja,” ucap Leon dengan tenang. Ia menggulung setengah lengan kemejanya, kemudian masuk ke dalam mobil. Leon lalu mengelap keringat di dahinya dan meminta kabar tentang Jawan. “Apakah dia sudah melaporkan sesuatu?” tanya Leon dengan ekspresi serius ke arah sang ajudan. Pria bertubuh kurus itu menggeleng. Ia telah menanti telepon dari Jawan, namun belum ada panggilan masuk sama sekali sejak tadi. “Apakah, kita harus menghubunginya duluan?” tanyanya ingin memastikan. Leon berpikir sebentar. Ma
Leon menepati janji pada dirinya sendiri setelah mengikuti rapat di kantor dewan. Ia menuju ke toko kue yang paling mahal dan paling enak di pusat kota agar bisa membelikan sang istri kudapan yang istimewa. “Semoga saja, Arren menyukainya,” gumam Leon ketika baru saja tiba di mobil setelah membungkus satu loyang kecil kue stroberi yang manis dan asam. Menurut Leon, kue itu terlihat enak. Semoga saja Arren memikirkan hal yang sama. Mobil melaju ke Mansion Rossie setelah berputar-putar di area sibuk ini selama seharian penuh. Waktu menunjukkan pukul 7 malam dan lampu-lampu Mansion tampak menyala terang. Leon turun dari mobil dengan wajah yang terlihat lelah. Staminanya memang berkurang karena telah berkeliling ke berbagai lokasi yang cukup berjauhan. Pria itu mulai membuka satu kancing kemeja yang ada di bagian teratas lalu melanjutkan langkahnya untuk menuju ke arah kamar. Mungkin saja, sang istri sedang menunggunya di sana. Leon baru saja memikirkan hal yang membahagiakan hatinya.
“A—arren! Itu tidak seperti yang kau pikirkan!” teriak Leon sambil meremas rambutnya. Pria itu kehabisan kata-kata. Rasa letih juga semakin menghujam tubuhnya. “Dia—”“Sudahlah! Kau tidak perlu menjelaskan siapa selingkuhanmu itu! Aku sudah tau siapa dia!” Arren memalingkan wajahnya. Kali ini, ia sedikit mendongakkan kepalanya untuk menahan air mata. “A—arren ... dia ... dia bukan selingkuhanku! Dia hanyalah … rekan bisnis! Bagaimana kau bisa mengenalnya?” tanya Leon sambil mencengkeram lengan sang istri. Arren tersentak, tanpa sadar air matanya tak dapat lagi ditahan. “Hiks ….” Wanita itu akhirnya menangis tanpa suara. Leon sangat kebingungan. “Arren, sayangku. Maafkan aku,” ucap Leon lembut. Kali ini, ia mengaku bahwa ia bersalah. Jika saja Leon mengetahui bahwa Arren melihat kejadian itu, pasti ia tidak akan kebingungan sejak kemarin. “Aku tidak berselingkuh. Dia sendiri yang menciumku secara tiba-tiba. Kau tidak melihat versi akhirnya? Aku bahkan menamparnya!”“Be—benarkah?” Ar
Setelah memuaskan diri, Arren dan Leon akhirnya pergi berkencan, sesuai janji yang diungkapkan kemarin malam. Arren tampak menawan dengan gaun kuning bercorak bintang dan Leon tampak mempesona dengan kaos polo berwarna gelap yang membalut tubuh atletisnya. Pasangan itu seperti pasangan idaman dengan keelokan paras dan juga keharmonisan tingkah laku yang ditampakkan. Setiap mata yang memandang, sudah pasti akan terpesona dengan penampilan mereka. “Anda sangat cantik, Nona,” ucap seorang pelayan yang baru saja memasangkan hiasan terakhir pada leher jenjang sang nona muda: kalung berlian. Kalung itu adalah kalung yang sempat hilang, dicuri pada malam gala di ibu kota, beberapa waktu yang lalu. Leon–pria itu–ternyata memiliki sisi romantis yang merancang segala keindahan hanya untuk sang istri tercinta. Ia tak segan mengeluarkan harta jika memang perhiasan-perhiasan yang disukai Arren menambah kecantikannya. “Kau benar,” ucap Leon yang segera menarik Arren mendekat ke arahnya. Lengan