Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
Setelah memperoleh informasi dari James dan Alicia, Leon kembali ke mobilnya. Di sana, ajudan dan juga sang sopir telah menunggu kedatangan sang majikan. “Bagaimana, Tuan?” tanya ajudan itu dengan penuh rasa cemas. Ia dilarang mengikuti Leon karena harus menunggu panggilan dari Jawan–detektif swasta yang diperintahkan untuk menyelidiki rencana Raja Charlie. Sang ajudan, bagaimana pun, tentu saja mengkhawatirkan majikannya. Terlebih, Leon tidak tampak kembali dengan segera. “Semua baik-baik saja,” ucap Leon dengan tenang. Ia menggulung setengah lengan kemejanya, kemudian masuk ke dalam mobil. Leon lalu mengelap keringat di dahinya dan meminta kabar tentang Jawan. “Apakah dia sudah melaporkan sesuatu?” tanya Leon dengan ekspresi serius ke arah sang ajudan. Pria bertubuh kurus itu menggeleng. Ia telah menanti telepon dari Jawan, namun belum ada panggilan masuk sama sekali sejak tadi. “Apakah, kita harus menghubunginya duluan?” tanyanya ingin memastikan. Leon berpikir sebentar. Ma
Leon menepati janji pada dirinya sendiri setelah mengikuti rapat di kantor dewan. Ia menuju ke toko kue yang paling mahal dan paling enak di pusat kota agar bisa membelikan sang istri kudapan yang istimewa. “Semoga saja, Arren menyukainya,” gumam Leon ketika baru saja tiba di mobil setelah membungkus satu loyang kecil kue stroberi yang manis dan asam. Menurut Leon, kue itu terlihat enak. Semoga saja Arren memikirkan hal yang sama. Mobil melaju ke Mansion Rossie setelah berputar-putar di area sibuk ini selama seharian penuh. Waktu menunjukkan pukul 7 malam dan lampu-lampu Mansion tampak menyala terang. Leon turun dari mobil dengan wajah yang terlihat lelah. Staminanya memang berkurang karena telah berkeliling ke berbagai lokasi yang cukup berjauhan. Pria itu mulai membuka satu kancing kemeja yang ada di bagian teratas lalu melanjutkan langkahnya untuk menuju ke arah kamar. Mungkin saja, sang istri sedang menunggunya di sana. Leon baru saja memikirkan hal yang membahagiakan hatinya.
“A—arren! Itu tidak seperti yang kau pikirkan!” teriak Leon sambil meremas rambutnya. Pria itu kehabisan kata-kata. Rasa letih juga semakin menghujam tubuhnya. “Dia—”“Sudahlah! Kau tidak perlu menjelaskan siapa selingkuhanmu itu! Aku sudah tau siapa dia!” Arren memalingkan wajahnya. Kali ini, ia sedikit mendongakkan kepalanya untuk menahan air mata. “A—arren ... dia ... dia bukan selingkuhanku! Dia hanyalah … rekan bisnis! Bagaimana kau bisa mengenalnya?” tanya Leon sambil mencengkeram lengan sang istri. Arren tersentak, tanpa sadar air matanya tak dapat lagi ditahan. “Hiks ….” Wanita itu akhirnya menangis tanpa suara. Leon sangat kebingungan. “Arren, sayangku. Maafkan aku,” ucap Leon lembut. Kali ini, ia mengaku bahwa ia bersalah. Jika saja Leon mengetahui bahwa Arren melihat kejadian itu, pasti ia tidak akan kebingungan sejak kemarin. “Aku tidak berselingkuh. Dia sendiri yang menciumku secara tiba-tiba. Kau tidak melihat versi akhirnya? Aku bahkan menamparnya!”“Be—benarkah?” Ar
Setelah memuaskan diri, Arren dan Leon akhirnya pergi berkencan, sesuai janji yang diungkapkan kemarin malam. Arren tampak menawan dengan gaun kuning bercorak bintang dan Leon tampak mempesona dengan kaos polo berwarna gelap yang membalut tubuh atletisnya. Pasangan itu seperti pasangan idaman dengan keelokan paras dan juga keharmonisan tingkah laku yang ditampakkan. Setiap mata yang memandang, sudah pasti akan terpesona dengan penampilan mereka. “Anda sangat cantik, Nona,” ucap seorang pelayan yang baru saja memasangkan hiasan terakhir pada leher jenjang sang nona muda: kalung berlian. Kalung itu adalah kalung yang sempat hilang, dicuri pada malam gala di ibu kota, beberapa waktu yang lalu. Leon–pria itu–ternyata memiliki sisi romantis yang merancang segala keindahan hanya untuk sang istri tercinta. Ia tak segan mengeluarkan harta jika memang perhiasan-perhiasan yang disukai Arren menambah kecantikannya. “Kau benar,” ucap Leon yang segera menarik Arren mendekat ke arahnya. Lengan
Beberapa saat sebelum Putri Lesel memutuskan untuk berjalan-jalan dan bertemu Arren adalah … memohon pada ayahnya untuk melupakan tentang Leon. Setelah dikurung karena berani menggoda suami orang, Lesel berpura-pura telah melupakan Leon dan sedang patah hati, oleh karena itu, ia butuh hiburan. Siapa yang menyangka bahwa ternyata ayahnya benar. Lesel memang tidak seharusnya terlibat dengan Leon dan juga … Arren! “Teganya ….” Lesel menangis, antara sakit hati dan juga marah karena Leon dan Arren ternyata mengkhianati kepercayaannya. Lesel benar-benar berharap bahwa Arren seperti kakak perempuan yang dapat dipercaya, nyatanya? Wanita itu adalah wanita licik yang memanfaatkannya untuk … untuk… merebut Leon! “Tidak bisa dimaafkan!” Ia menggeram seperti seekor anjing liar yang sedang marah. Ayahnya—Raja Charlie—beberapa waktu lalu telah kembali dari pertambangan garam yang konon letaknya disembunyikan dari mata dunia, Lesel tidak tertarik dengan ceritanya. Ia hanya tertarik kepada keb
Senja menggantung indah, menampilkan kehangatan dalam setiap siraman cahaya sang surya yang hendak sampai ke peraduannya. Arren dan Ava menikmati waktu kebersamaan mereka dengan canda-tawa. Arren tidak pernah menyangka bahwa Ava adalah gadis yang ceria. Arren mengetahui bahwa Ava adalah penyintas kekerasan seksual dari cerita Leon. Pria itu telah mengatakan semuanya. Arren tidak menyangka bahwa Ava begitu manis dan menggemaskan. Penampilannya sangat normal seperti anak kebanyakan. Leon pernah mengatakan bahwa ada stimulus di otak Ava yang menghapus sebagian memori yang membuatnya sakit sehingga ia tidak begitu mengingat detail kejadian yang membuatnya trauma. Leon mengatakan bahwa dalam kasus Ava, terdapat kemungkinan bahwa otaknya merespon traumatis dengan cara mengurangi atau menghapus ingatan tentang pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya. Pola pertahanan diri tersebut disebut sebagai amnesia disosiatif di mana kondisi seseorang dikuatkan dengan cara menghapus sebagian ing
Arren menggigit bawah bibirnya. Ia tidak menyangka bahwa di wilayah ini ada pembelot yang begitu berbahaya. “Ba–bagaimana kalian bisa lolos dari petugas polisi?” Arren tak percaya. Apa saja yang dilakukan para polisi itu sampai tidak menyadari ada potensi bahaya seperti ini di Rossie? Potensi? Mereka bahkan sudah berbahaya! “Haha! Haha! Kau tidak perlu tahu!” Pria berbadan gempal mulai tertawa. Tentu saja ia tidak bisa membocorkan bagaimana organisasi mereka bekerja. Mulai dari memalsukan dokumen pencabutan izin, memperjualbelikan manusia, hingga … melenyapkan diri seolah hantu di wilayah ini! “Haha!” Dua pria lainnya juga tergelak. Mereka tidak bisa menahan tawa. Namun, sebuah deheman membuyarkan semuanya. “Apa yang kalian lakukan?!” bentaknya dengan nada tajam. Detik kemudian, ia memukuli tiga penjaga yang seharusnya tidak banyak bicara itu. Bagaimana mungkin mereka bisa mengobrol dengan sandera? Setelah memukuli anak-anak buah yang tidak becus, pria kurus itu lalu mengusir me
Suasana masih saja suram. Terdengar langkah kaki yang mendekat, namun tidak ada seorang pun yang merespon teriakan Arren. “To–tolong aku!” Ia masih berusaha mencari perhatian. Dengan demikian, Arren dapat berpura-pura terluka dan membebaskan diri dengan rencananya. Siapa tahu, Arren dapat memperdaya penculik itu dan setidaknya, membiarkan ikatan di matanya dilepaskan. Arren akan mencari cara untuk membebaskan diri dengan ketajaman analisisnya. Tak lama, knop pintu besi itu berputar lalu … Arren dapat mendengar suara langkah kaki itu semakin mendekat ke arahnya. Ia sedikit gemetar. Bayang-bayang ketidakpastian menggelayuti hati dan pikiran Arren. Ia tidak bisa melihat apa pun. Semuanya begitu membingungkan. “Ha! Kau masih bisa bicara rupanya ….” Suara seorang wanita mengejutkan Arren. Satu hal yang dapat ia pastikan, tidak ada wanita sama sekali sejak tadi. Anehnya, suara itu tidak asing sama sekali. Sepertinya, Arren pernah mendengarnya di suatu tempat. “Siapa kau!” hardik Arren