Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
Arren menggigit bawah bibirnya. Ia tidak menyangka bahwa di wilayah ini ada pembelot yang begitu berbahaya. “Ba–bagaimana kalian bisa lolos dari petugas polisi?” Arren tak percaya. Apa saja yang dilakukan para polisi itu sampai tidak menyadari ada potensi bahaya seperti ini di Rossie? Potensi? Mereka bahkan sudah berbahaya! “Haha! Haha! Kau tidak perlu tahu!” Pria berbadan gempal mulai tertawa. Tentu saja ia tidak bisa membocorkan bagaimana organisasi mereka bekerja. Mulai dari memalsukan dokumen pencabutan izin, memperjualbelikan manusia, hingga … melenyapkan diri seolah hantu di wilayah ini! “Haha!” Dua pria lainnya juga tergelak. Mereka tidak bisa menahan tawa. Namun, sebuah deheman membuyarkan semuanya. “Apa yang kalian lakukan?!” bentaknya dengan nada tajam. Detik kemudian, ia memukuli tiga penjaga yang seharusnya tidak banyak bicara itu. Bagaimana mungkin mereka bisa mengobrol dengan sandera? Setelah memukuli anak-anak buah yang tidak becus, pria kurus itu lalu mengusir me
Suasana masih saja suram. Terdengar langkah kaki yang mendekat, namun tidak ada seorang pun yang merespon teriakan Arren. “To–tolong aku!” Ia masih berusaha mencari perhatian. Dengan demikian, Arren dapat berpura-pura terluka dan membebaskan diri dengan rencananya. Siapa tahu, Arren dapat memperdaya penculik itu dan setidaknya, membiarkan ikatan di matanya dilepaskan. Arren akan mencari cara untuk membebaskan diri dengan ketajaman analisisnya. Tak lama, knop pintu besi itu berputar lalu … Arren dapat mendengar suara langkah kaki itu semakin mendekat ke arahnya. Ia sedikit gemetar. Bayang-bayang ketidakpastian menggelayuti hati dan pikiran Arren. Ia tidak bisa melihat apa pun. Semuanya begitu membingungkan. “Ha! Kau masih bisa bicara rupanya ….” Suara seorang wanita mengejutkan Arren. Satu hal yang dapat ia pastikan, tidak ada wanita sama sekali sejak tadi. Anehnya, suara itu tidak asing sama sekali. Sepertinya, Arren pernah mendengarnya di suatu tempat. “Siapa kau!” hardik Arren
Malam semakin larut. Perjalanan menuju ke pegunungan Amber tidaklah mudah. Jalan yang gelap dan berbatu menjadi penghalang bagi kecepatan mobil, memaksa Leon dan anak buahnya untuk tidak dapat serta merta menambah kecepatan. Kegelapan semakin dalam, area sekitar hanya dihiasi oleh sinar bulan yang samar-samar, menyinari jalanan berbatu dan curam. Leon duduk di kursi belakang mobil, memandangi peta yang terbuka di pangkuannya. Ashton, yang duduk di sampingnya, tetap fokus pada layar monitor yang menampilkan pergerakan pasukan tempur menuju pegunungan. Clark, bersiaga dengan senjata di sisi sang sopir, sehingga dapat merespon ancaman apa pun yang mungkin dapat membahayakan nyawa mereka. "Bagaimana perkembangan, Ashton?" tanya Leon, suaranya bergetar dengan amarah yang masih membara di dalam hatinya. Baginya, situasi ini sangat berbahaya. Leon benar-benar mengkhawatirkan keselamatan Arren. Ashton mengangkat pandangannya sejenak dari layar. "Pasukan tempur sedang menuju ke pegunungan se
Beberapa jam sebelum penyergapan terjadi, Lesel sedang bermain-main dengan mangsanya: Arren dan Ava. Setelah mengetahui bahwa Arren memiliki hati yang lembut dan penuh belas kasih, ia mempermainkan anak kecil itu untuk melukai Arren. “Bagaimana? Takut?” tanya Lesel kepada Ava yang sedang ia jambak dan pukul dengan beringas. “Hentikan! Dasar kau jalang!” Arren mengamuk. Ia bahkan terus menggesek-gesekkan tali yang membeli tangan dan kakinya dengan cepat, tanpa peduli bahwa itu hanya akan melukai kulitnya yang pucat. Ketegangan yang dirasakan Arren hanya menyakiti urat syaraf dan juga perutnya. Arren semakin tidak terkendali ketika melihat Ava menangis menahan sakit. Ia begitu marah dan tidak percaya bahwa ada seorang wanita yang begitu tega melukai anak kecil tak bersalah. “Ha! Kau menangis? Bagaimana? Kau sudah mau menceraikan Leon … ku?” “Kau gila!” “
Malam telah berganti fajar, menandakan perubahan waktu yang mendalam dan meninggalkan pertanda ketidakpastian. Pasukan tempur yang dipimpin oleh Leon telah berhasil menguasai area markas yang disinyalir sebagai tempat penyekapan sang istri–Arren. Pasukan tempur itu telah menyusup secara rahasia kemudian membabat habis penjaga bersenjata yang tampak berbahaya lalu membebaskan para tahanan yang disekap di dalam sana. Sudah jelas, tahanan itu adalah rakyat biasa yang kemungkinan mengalami perlakuan serupa: diculik dan disekap tanpa bisa melakukan perlawanan. “Arah jam 12!” Terdengar pekikan tentara musuh yang baru saja tiba di lokasi kekacauan. Baku tembak kembali terjadi di setiap sudut markas, senjata-senjata meletus memecah keheningan malam. Suara peluru yang bersarang di tembok, suara letupan granat dan teriakan pasukan memecah ketenangan yang semula melingkupi bangunan besi itu. “SIAL!!!” Pekikan putus asa yang terdengar dari arah lawan, menghiasi malam yang kelam. Menyisakan
“Ada apa di lokasi tambang? Ada di mana itu?” Leon merasa semakin tak sabar. Lokasi tambang menjadi titik fokus baru dalam pencariannya. Setiap detik terasa berharga dan ketidakpastian semakin merayap di dalam dirinya. “A–aku bisa membantu kalian." Wanita itu tergagap saat akan memberikan bantuan. Ia mengira, tenggorokannya akan terbakar oleh rasa tidak nyaman yang merayapi dirinya sejak tadi. Wanita itu lalu meminta seteguk air untuk dapat meringankan dahaga yang telah merajai dirinya. Ashton segera memberinya air seperti yang diminta. Setelah meneguk botol air mineral itu, ia lantas kembali fokus dan meminta gambar peta. “Aku akan menunjukkan lokasinya pada kalian,” ucapnya sambil menatap Leon tajam. *** Pasukan Leon kembali bergerak ke arah yang ditunjukkan oleh wanita asing itu, sambil terus bersiaga, jika saja ada pasukan musuh yang menyergap secara tiba-tiba. Leon memimpin pasukannya, melewati lorong-lorong gelap yang masih menyimpan misteri dan bahaya. Suara langkah kaki
Suasana di area tambang menjadi sangat kacau. Lorong gelap itu kini penuh pekikan gempita untuk menyerang pasukan Leon yang ada di seberang mereka. “SERANG!”Perintah dari Raja Charlie itu tidak serta merta membuat para pekerja melakukan serangan. Mereka hanya menggertak. Teriakan-teriakan penuh kehebohan itu juga hanya datang dari rombongan pengawal raja yang mulai maju mendahului mereka. “Awas!”Respon dari pasukan Leon tentu saja memberikan perlawanan meski mereka belum mengetahui kelompok lawan adalah faksi yang sangat berbeda: pengawal berpengalaman dan juga pekerja tambang yang terpaksa melakukan ancaman. “Argh!”Pasukan Leon melakukan metode pertarungan jarak dekat dan tidak membombardir lawan dengan tembakan membabi-buta. Mereka benar-benar bertarung secara adil, sesuai dengan medan yang ada. “Hiyat!”Pertarungan sengit masih saja berlangsung, dengan darah yang tumpah dimana-mana. Kepalan tinju dan juga tajamnya belati turut memberi siksaan nyata yang melumpuhkan para penga
Arren sangat marah dengan perlakuan sang putri kepadanya. Namun, yang lebih membuat hatinya terluka adalah … perlakuannya kepada rakyat tak bersalah yang ada di belakang mereka. Bagaimana mungkin seorang penguasa tidak memiliki hati nurani sedikit pun? Bagaimana jika orang-orang itu adalah rakyatnya sendiri? “Jalan!” teriak sang putri sambil terus menatap tajam ke arah Arren. “Memangnya, kita hendak kemana?” tanya Arren penasaran. Apa yang terjadi di bangunan sebelumnya? Apakah benar Leon telah datang untuk menyelamatkan mereka? “Banyak omong!” Lesel mengangkat tangannya dan hampir saja mendaratkan sebuah tamparan kepada Arren, sebelum sang ayah meneriakkan namanya. “Lesel! Berhenti main-main! Segera gegas langkahmu!” Tangan sang putri mengambang di udara. Ia benar-benar marah karena tidak berhasil membungkam mulut musuh yang ada di hadapannya. Lesel lebih baik menurut dan tidak mengecewakan ayahnya lagi jika ia masih ingin bertahan hidup lebih lama. “Baik, Ayah!” sahutnya sambil