Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
“Nona!” “Dolores? Benar, kan?” Arren mencoba mengingat. Pria tinggi dengan rambut pirang yang tipis dan wajah kotak itu … “Laurens!” Akhirnya ia mengigat nama depan si pria muda. “Benar, Nona Rossie. Saya Laurens Dolores. Senang berjumpa dengan Anda lagi,” Laurens membungkukkan badan. Arren menutup mulutnya, tak percaya bahwa ia akan bertemu kawan lama di tempat seperti ini. Ia tersenyum cerah dan berbincang ringan dengan Laurens. “Bagaimana kabar adikmu?” “Lora? Ah, ya, dia sudah lebih baik.” “Memangnya, dia pernah sakit?” “Lebih tepatnya, sakit hati, Nona. Ia baru saja patah hati.” “Oh! Astaga!” Arren cukup bersimpati kepada gadis remaja itu. Urusan asmara–untuk anak berusia 15 tahun–memang cukup rumit dan menyedihkan, jika sampai tertolak seperti itu. “Apakah pria itu tidak baik?” Arren penasaran. “Pria itu … menghilang begitu saja ketika pergi berkencan dengannya di banquet rakyat, pesta Anda,” ucap Laurens ringan. “Astaga! Menyedihkan!” “Ya, untuk itulah Lora menangis
“Arren, apa yang terjadi?” Clark bertanya dengan penasaran. Arren tiba-tiba membeku. Ia bahkan tak mengalihkan pandangan dari jendela yang menghadap ke seberang jalan. “Ada apa?” Clark ikut menoleh ke belakang, mencoba mencari tahu sosok yang menangkap perhatian Arren sampai wanita itu tidak menyahuti panggilannya. Clark tidak menemukan apa-apa. “Arren .…” panggilnya lagi. Kali ini, Clark menjentikkan jarinya ke wajah Arren, berusaha menyadarkan wanita itu dari tatapan kosongnya. “Ah!” Arren terkesiap. Ia tersadara sepenuhnya namun, air mukanya berubah. “Clark, sepertinya aku harus pergi,” ucapnya tiba-tiba. Ia mengelap sudut bibirnya dengan lap makan dan mulai bangkit dari kursinya. Kakinya hampir tersandung karena Arren tampak tergesa-gesa. “Arren, apa yang terjadi padamu?” Clark menarik tangan wanita itu sebelum ia pergi lebih jauh. “Biarkan aku ikut denganmu,” pintanya. Clark merasa ada sesuatu yang tidak beres dari gelagat Arren. Ia harus mengetahui apa itu. “A–aku akan ber
Sesak dada segera terasa, tatkala mengetahui bahwa suaminya kini bermain gila di belakangnya. Hati istri mana yang tidak patah karenanya? “Ja … hat ….” Arren menitikkan air mata. Ia menangis tersedu-sedu di pinggir kaca besar yang menghalanginya dari pandangan Leon. Pria itu, dengan selingkuhannya, berada di sisi dalam sedangkan Arren ada di luar sedang berpanas-panasan. Hati Arren remuk ketika melihat dengan jelas suaminya, Leon, bersama wanita tak dikenal di sebuah kafe yang cukup terpencil itu. Apakah, ini yang disebut Leon sebagai ‘bisnis’? Sia-sia saja Arren mengkhawatirkan sang suami yang ternyata … ah, ia bahkan tak bisa melanjutkan bagaimana akhrinya. Air mata Arren tumpah tanpa bisa dikontrol. Rasa kekecewaan menyelimuti hatinya seperti badai yang merobek-robek langit biru. Suara sang putri yang tertawa-tawa dengan ceria semakin menusuk telinganya. "Kenapa, Leon? Kenapa kau melakukan ini padaku?" gumam Arren di antara isak tangisnya. Kaca besar di depannya menjadi saksi b
Leon terkejut karena mendapati bahwa sisi lain ranjang yang seharusnya menjadi tempatnya untuk tidur, kini basah oleh … cairan aneh! “Apa ini, darah?” Leon bertanya-tanya, karena warnanya merah, bentuk cairannya cukup kental dan … berbau amis! “Arren! Apa yang terjadi?” Leon tidak bisa menahan dirinya. Ia berteriak karena ketakutan. Leon tidka biasanya memiliki rasa takut, akan tetapi, tentu saja darah ini tidak biasa! “Kau baik-baik saja?!” Leon mengguncang tubuh Arren. Wanita itu hanya menggeram marah dan menampik tangan Leon. “Aku haid! Jadi, pergilah tidur di tempat lain!’ ketusnya. “A—aren ….” Leon tidak menyangka bahwa Arren akan bersikap dingin seperti itu. Ada apa dengannya? "Maafkan aku, Arren. Apakah aku melakukan kesalahan?" tanya Leon dengan lembut. Ia kini mengelus lembut rambut Arren yang menyapu sebagian sisi ranjang. Usapan tangannya yang perlahan, hampir memusnahkan kebencian di hati Arren akan peristiwa tadi siang. “Ah!” Arren menyingkirkan tangan itu dengan k
Tidak ada yang dapat menggambarkan bagaimana perasaan Leon pagi itu. Ia sangat kesal! “Arren! Kau tidak boleh pergi!” teriaknya yang tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Arren—yang kini berada di sisi Clark—hanya tersenyum sinis. Ia tidak mempedulikan kemarahan Leon. “Sampai jumpa!”“Arren!” Leon semakin naik pitam. Namun, Nyonya besar segera menggenggam lengan Leon yang begitu besar. Wanita tua itu hampir saja kesulitan menahan Leon agar tak mengamuk. Ia sangat tahu bahwa cucu perempuannya itu sedang merajuk. “Biarkan dia, Leon. Jika kau melarang atau mengejarnya, ia akan semakin menjauhimu!” “Tapi ….”“Percayalah padaku. Apa pun yang terjadi di antara kalian, akan membaik, seiring berjalannya waktu.”Leon memijat pelipisnya yang penuh dengan gurat kemarahan. Napasnya terasa berat karena menahan gejolak amarah yang tidak ada habisnya. Leon berusaha menenangkan dirinya. “Percayalah padaku, hm?”Leon menghela nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya meskipun amarahnya masi
“Oh, tidak,” Arren mengelak, meski matanya tidak berkata demikian. Ia terus saja memperhatikan wanita itu dan seolah ingin mencabik-cabiknya saat itu juga. Kafe itu masih terlihat ramai, bahkan wanita yang sedang dicurigai oleh Arren tidak tampak memperhatikannya lebih lanjut. Arren meremas sapu tangan yang ada pada genggamannya, seolah, sapu tangan itu adalah perwujudan dari wanita yang sedang dicurigai sebagai selingkuhan Leon. Dicurigai? Bukankah mereka memang benar-benar telah berselingkuh di belakangnya? “Arren ….” Clark mencoba memanggilnya lagi. Arren tidak tampak memperhatikan apa pun kecuali wanita bergaun bunga yang sejak tadi berada dalam radarnya. “Kau ingin tambah kuenya?” tanya Clark seolah tidak ingin membahas soal wanita itu lebih lanjut. “Tidak,” Arren menggeleng. Kali ini, sapu tangan itu ia letakkan begitu saja dan Arren tampak bangkit dari kursinya. “Aku ingin ke kamar mandi,” ucapnya. Clark mengangguk. Arren pergi menjauh untuk sementara. Hatinya masih berdeba
“Apa?” Arren membeliak. Ia tidak menyangka bahwa Clark akan mengatakan hal yang tak masuk akal seperti itu. “Bukankah, usiamu masih produktif, huh? Apa yang terjadi?” Arren menelisik. Tatapannya memindai Clark sedemikian rupa, mencoba mencari jawaban dari gestur pria itu yang tidak tampak … aneh! “Aku ingin berpetualang, Arren. Sudah saatnya aku pergi dari wilayah ini. Toh, kau sudah kembali. Misiku hanya sampai kau kembali lagi ke sini,” ucap Clark sambil menatap cangkir kopinya yang telah kosong. Sekilas, Arren merasa Clark sedang menghindarinya. Pria itu tidak tampak ingin menatap Arren atau pun mencoba menanamkan perkataannya secara lebih dalam. Ada apa dengannya? “Clark. Apakah, ada sesuatu yang ingin kamu katakan?” “Tidak.” “Tolong, jangan pensiun, Clark. Hanya kau lah satu-satunya temanku di sini.” “Maaf, Arren, tetapi aku memang harus pergi,” Clark mulai menatap Arren secara benar. Pandangan mereka berdua seakan sedang mengisyaratakan suatu momen yang pernah hilang. Ar
Suara anonim itu bergema di seluruh ruangan, menciptakan gelombang kejut yang melanda Leon secara tiba-tiba. Langkah kaki yang awalnya hendak melangkah masuk ke dalam lorong terhenti. Mata Leon sibuk mencari-cari sumber suara yang terkesan misterius itu, namun … Leon tidak menemukan apa pun! “Tunjukkan dirimu!” seru Leon dengan lantang sambil tetap mewaspadai hal-hal yang mungkin terjadi. Pandangannya menyapu ke seluruh penjuru sudut yang tak terlihat. Di antara rak-rak buku kuno, barulah Leon dapat melihat sosok seorang pria tua yang sedang memegang senapan tanpa keraguan sedikit pun dari sorot matanya. “Pergi lah dari sini!” teriaknya kencang sambil mengacungkan senjata, berharap, Leon takut dan mengurungkan langkahnya untuk masuk ke wilayah terlarang itu lebih lanjut. Leon mengangkat ke dua tangannya, seakan memberi tanda bahwa ia bukan lah pria yang berbahaya. “Saya tidak ingin mencari masalah, Tuan,” ucapnya sopan. Namun, pria tua bersenapan itu tidak tampak mengendurkan kewasp