Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Sudah satu minggu ini, Adam pergi meninggalkan keluarga Rossie. Suasana berkabung yang tengah terjadi menjadi semakin berat pada hari ini. Dalam tradisi Rossie, masa berkabung selama tujuh hari adalah masa maksimal seseorang mengantar kepergian anggota keluarga. Anggota keluarga Rossie telah menjalani ritual tujuh hari penuh kesedihan, kini tiba saatnya untuk mengakhiri masa berkabung yang menyedihkan dan bersiap dengan hari baru yang akan menjelang. Pagi itu, sinar matahari seakan bersinar terik, tidak seperti biasanya. Cahayanya mampu menembus tirai hitam yang membentang di jendela-jendela Mansion sebagai penghalang cahaya yang sengaja ditutup sempurna dalam suasana duka. Matahari seakan mengetahui bahwa hari ini, suasana berkabung sudah harus diakhiri. Mau tidak mau, siap tidak siap, segala kain hitam yang telah menggelapkan seluruh Mansion harus segera disingkirkan. Keheningan yang telah menjadi teman setia keluarga Rossie kini berangsur memudar. Mereka sudah tampak beraktiv
“Belum mandi pun, kamu sudah cantik,” ucap Leon sambil mengecup lembut bibir Arren yang bersemu merah. Gadis itu tidak lagi bisa membantah atau pun mengelak. Ia menikmati setiap usapan lembut bibir sang suami dengan penuh kepuasan. “Mmh …” Mereka berdua mendesah nikmat dan ambruk ke ranjang. Leon bahkan tidak mempedulikan jasnya yang mungkin akan kusut jika bergelut di sana dengan istrinya. Leon terus melancarkan aksi penuh gairah dari bibir hingga ke leher jenjang sang istri. Ia juga bermain-main dengan kulit mulus Arren yang tersingkap ketika tangannya menggerayangi seluruh tubuh bagian atas. Gaun tidur Arren tertanggal sempurna. Ia kini tak ubahnya bayi yang terlentang tanpa busana. “Kau sangat cantik,” puji Leon sambil menikmati pemandangan indah di hadapannya. “Tidakkah kau ingin pergi?” tanya Arren sedikit menggoda. Rona wajahnya tidak mengatakan bahwa ia benar-benar akan mengusir sang suami untuk pergi begitu saja. Arren jelas menginginkan sentuhan lebih dari sang suami
Leon membatalkan rencananya untuk pergi ke pusat kota dan mengamati kondisi riil di lapangan. Ia begitu terbius dengan pesona sang istri yang sangat menggoda. Leon tak bisa menolaknya. Keesokan harinya, rutinitas itu berulang. Pria tampan dan gagah itu telah bersiap untuk pergi bekerja namun sang istri yang baru saja terbangun, lagi-lagi, memberi godaan yang tak terelakkan. “Sayang!” Arren menjerit, tatkala Leon lagi-lagi menyergapnya secara tiba-tiba. “Kenapa kamu begitu menggemaskan, huh?” tanyanya sambil mencumbui sang istri di sekitar leher. Jejak-jejak merah segera terbit dan hal itu sungguh membuat Arren malu. Namun, Leon tak mempedulikan jeritan istrinya. Ia terus menciumi tubuh Arren yang masih alami tanpa basuhan sabun atau pun produk kimia lainnya. Menurut Leon, aroma tubuh Arren sangat khas dan hal itu menggugah hasrat yang ia pendam dalam-dalam. “Bagaimana aku bisa kerja dengan tenang, kalau kau selalu membuatku terangsang, hm?” Leon berbisik lembut di telinga Arren d
Putri Lesel terkesiap, tatkala ada tangan kekar yang merengkuh pinggangnya dengan kokoh. Lengan yang meyentuh punggungnya begitu hangat. Tonjolan ototnya terasa kaku, memberi debaran yang fenomenal. Jantung Putri Lesel berdetak sangat kencang ketika wajah tampan itu mulai tampak. Wajah itu, garis rahang kokoh dengan jambang tipis keemasan, sangat mempesona! Wajah pria tampan itu baru saja tampak setelah terhalangi silau matahari yang menyusup lewat atap transparan hutan di dalam hotel tersebut. “Anda tidak apa-apa?” tanya sang pria yang belum diketahui namanya itu. “A–ah,” Putri Lesel belum menjawab. Ia tersipu malu. Untuk sesaat, ia bahkan tidak ingin melepaskan pelukan dari orang asing ini. Begitu mendebarkan! “Putri!” Pengawal Putri Lesel yang berada tak jauh darinya segera datang dan menyingkirkan pria tak dikenal itu. Ia bahkan hampir saja menodongkan senjata. Tapi, hal itu tidak terjadi. Segera saja, gerakan reflek itu dilarang oleh sang majikan. “Mundur!” ucap sang putr
Leon menyunggingkan senyum. Daftar bisnis yang dikirimkan oleh ketua dewan membuatnya optimis. "Saya akan segera kembali dengan kabar gembira."Wajah-wajah para anggota dewan berubah cerah setelah mendengar kabar dari Leon yang tampak memberi harapan tinggi. "Kami benar-benar akan menantikan kabar itu," ucap Derreck dengan mata berbinar. Pertemuan pertama berakhir dengan hasil yang melegakan. Leon segera bersiap untuk kembali ke Mansion Rossie. "Tuan, ada telepon untuk Anda," kata sang ajudan sambil menyodorkan sebuah ponsel kepada Leon. Alis Leon bertaut. Siapa yang meneleponnya jam segini, apakah Arren? Istrinya itu benar-benar tidak sabar. "Halo?""Halo, Tuan Leon. Ini saya, Lesel.""Putri?""Ya, benar. Bisakah kita bertemu malam ini? Aku ingin mengundangmu makan malam."Leon berpikir sebentar. Tidak sopan jika mengajak kenalan penting seperti ini, akan tetapi, Leon tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman lebih jauh. "Maaf. Bisakah kita bertemu lain kali? Saya ada agenda lain."
Pria besar itu hampir saja menggebrak meja dan menodongkan pistol yang ada di sabuk rahasia di balik kemejanya, ketika mendengar jawaban dari sang ajudan istri yang seakan memiliki potensi berselingkuh di belakang punggungnya. Bicara soal pistol. Leon telah berhenti untuk bersikap abai dan kali ini, ia membawa senjata apinya itu kemana-mana. Mengandalkan keselamatan pada tonjolan otot dan pengawalnya saja tidak cukup. Leon telah memahami hal itu. Ia akan mulai menggunakan kembali Glocky–panggilan kesayangannya untuk pistol semi otomatis, Glock Meyer 22–yang telah menemaninya selama ini. Pada awalnya, Glocky tersimpan rapi di koper Leon. Ia tak menginginkan adanya pertumpahan darah karena Arren tidak menyukai pria bar-bar. Leon mengalah dan menyimpan Glocky dengan rapi tanpa ingin dipergunakan kembali. Sampai pada akhirnya, penyekapan Abigail pada Arren dan juga kejadian berbahaya lain yang mewajibkan Leon agar selalu waspada, mengubah niatnya tersebut. Leon akan kembali memperg
Pekikan sang ajudan membuat Leon terkejut. Arren pingsan? “Oh, tidak!” Leon segera menyambar jasnya dan mengangguk ke arah Shane. Ia segera menuju ke mobil diiringi langkah kaki sang ajudan yang berlari di belakangnya. Shane juga tampak khawatir, namun ia tidak memiliki hak untuk ikut dalam perjalan kembali ke Mansion Rossie ketika pekerjaannya saja sudah menumpuk seperti ini. “Semoga saja, Arren baik-baik saja,” gumamnya. *** Mobil Leon baru saja tiba di Mansion Rossie. Matahari telah menyingsing ke sisi barat. Semburat jingga mulai menghiasi cakrawala. Suasana di Mansion cukup ramai, terutama di dekat kamar Arren. “Arren! Di mana istriku?” tanya Leon. Ia membelah kerumunan pelayan yang memadati pintu masuk. Seorang pelayan yang sedang berlari ke arahnya memberi tahu, "Tuan, Nyonya Arren sedang bersama dokter di dalam. Mereka sedang berusaha memahami apa yang terjadi." Leon melangkah lebih cepat, mengabaikan hiruk-pikuk di sekelilingnya. Ajudan Leon mengamati dari kejauhan,
Suara sang dokter seperti kilatan petir yang mengejutkan, baik bagi Arren maupun Leon. Keduanya tampak sangat tercengang. “Ha–hamil?” Arren mengulang pernyataan sang dokter. Dokter pria itu mengangguk sembari menunjukkan hasil tes urin yang menyatakan bahwa hasil tes hcg Arren adalah positif. Ini berarti, ada janin yang seadng tumbuh di dalam rahimnya. “Sa–sayang!” Leon memekik kegirangan ketika Arren tampak terdiam, tak tahu harus merespon bagaimana. Ada secercah kebahagiaan di dalam hatinya namun juga ada ketakutan yang tiba-tiba datang. Arren duduk terdiam, matanya memandang kosong ke depan, mencoba meresapi kenyataan bahwa dia sekarang sedang mengandung. Leon dengan cepat bergerak mendekatinya, mencoba memberikan dukungan yang dia rasakan sangat dibutuhkan oleh Arren. Pria itu memeluk tubuh Arren yang mematung tanpa bergerak sedikit pun. "Dokter, apakah ini normal? Apa yang harus kami lakukan?" tanya Leon dengan nada panik, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja