Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
"Apa yang kalian bicarakan? Aku sama sekali tidak mengetahui apa pun!" Arren menyela, ia seakan menjadi orang bodoh yang tidak mengetahui apa-apa. Nenek dan suaminya begitu penuh rahasia. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi di sini? "Arren. Ayah Leon itu seharusnya menjadi menantu keluarga ini. Sebelum pria bajingan itu kawin lari dengan seorang budak!" Nyonya Rossie menjelaskan, dengan lengkingan tajam yang memekakkan telinga. "A—apa?" Arren tak percaya dengan pendengarannya. "Benarkah itu?" Ia melihat ke arah Leon yang sedang menundukkan kepala. Pria itu diam dan tidak tahu harus menjawab apa. "Lihatlah. Anak itu juga bakal seperti Ayahnya. Kau jangan mudah percaya!" Nyonya Rossie terus menuduh Leon yang serupa sang ayah. Padahal… "Aku bahkan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Mengapa Anda menyamakan kami? Gila!" Leon meradang. Kisah kelam keluarganya yang dengan rapat ia simpan, akhirnya terbuka juga. Arren dan Neneknya tentu saja syok dengan pengakuan Leon itu. Namun, mere
Nenek Lucy tersenyum lembut dan dengan bangga memperkenalkan Leonard Connor sebagai cucu angkatnya. "Lesea—budak itu—adalah anak angkat saya, Nyonya," ucap Nenek Lucy dengan mata berkaca-kaca, teringat kembali akan kenangan bersama sang anak angkat yang telah tiada. "Apa maksudmu, Lucy?""Itulah kenyataannya…""Jangan bercanda!"Nyonya besar tampak tidak menerima fakta tentang kenyataan ini. Namun, ia tidak melihat ekspresi kebimbangan di dalam diri Lucy—sang mantan pesuruh yang ia percayai. "Mengapa budak itu harus menjadi anak angkatmu? Anak laknat itu!" Amukan Nyonya besar tampak tak bisa dikendalikan. Ia masih merasa sakit hati terhadap pengkhianatan yang dilakukan oleh Alexander Connor dan Lesea yang mencoreng kehormatannya. Bukan hanya itu saja, Nyonya besar juga telah kehilangan banyak uang karena kerjasama yang ia bangun dengan keluarga Connor harus berhenti di tengah jalan. Tidak sedikit kerugian yang dideritanya. Bahkan, sangat banyak. Oleh karena itu, Nyonya besar sanga
Tatapan Nyonya besar tampak mengancam, dengan desahan napas berat yang seolah yak memberi harap pada sang cucu menantu. Mau tidak mau, ia harus mencari jalan tengah agar perseteruan ini tidak sampai merusak hubungannya dengan Arren, dan tentu saja memberi keuntungan yang ia inginkan."Katakan, Nyonya. Saya akan mengerahkan kemampuan saya jika bisa," ucap Leon dengan kesungguhan, namun Arren menarik tangan sang suami dan menggeleng pelan. "Kau tidak harus membuktikan apa pun," katanya dengan suara bergetar. Entah mengapa, sikap Neneknya cukup keterlaluan. Arren keberatan dengan berbagai desakan dari sang Nenek yang seolah memojokkan Leon. Leon tidak seharusnya menuruti setiap permintaan sang Nenek yang menjatuhkan harga dirinya. Seharusnya Leon melawan, namun pria itu hanya tersenyum lembut dan menggenggam erat tangan Arren. "Aku tidak ingin hubungan kita seperti duri dalam daging, Arren. Tenanglah, aku pasti bisa memenuhi syarat itu.""Sayang, kau tidak perlu seperti ini," kata Arre
Seorang pria berjas hitam yang rapi dengan dasi merah terlihat berdiri dengan sikap tegak dan penuh kepercayaan diri.Dengan postur tubuh atletis dengan tinggi sekitar 185 cm, Pria itu sangat kokoh dan seakan sulit untuk didekati. Matanya berwarna cokelat tajam, dengan dagu bersih dan bibirnya yang sering terlipat dalam ekspresi serius. "Selamat pagi, Nyonya," sapanya sambil mengangguk hormat. Inspektur Kirk, pria itu kembali lagi ke Mansion ini, untuk apa? "Ada yang bisa saya bantu, Inspektur?" tanya Nyonya Rossie dengan ekspresi curiga. Ia belum mempersilahkan sang inspektur untuk masuk ke dalam kediamannya sebelum jelas apa kepentingan yang hendak diungkapkannya. Inspektur Kirk menjawab dengan suara yang tegas dan berwibawa, "Izinkan saya masuk, Nyonya Rossie. Saya memiliki berita yang harus saya sampaikan mengenai Abigail Rossie," ucapnya dengan ekspresi serius. "Abbey? Apalagi yang ingin Anda ketahui? Saya tidak ada hubungannya dengan dia!" teriak Nyonya Rossie yang mengejutk
Malam semakin larut, jam makan malam telah usai, seharusnya setelah ini, Nyonya Rossie, Arren dan Leon akan kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat atau melakukan kegiatan lain sambil menunggu waktu tidur tiba. Namun, sebelum beranjak dari ruang makan tersebut, sebuah kehebohan mengejutkan mereka. Seorang penjaga tampak tergopoh-gopoh masuk dan memberitahuksn bahwa ada rombongan pria besar yang sedang bertamu di gerbang Mansion mereka. Salah seorang di antaranya adalah mantan menantu sang Nyonya rumah, Adam Hart. "Nyo—nyonya. Adam Hart ingin bertemu Anda," ucap pengawal itu dengan napas tersengal. Dadanya kembang-kempis menahan laju oksigen yang terpompa cepat pada jantungnya. Keringatnya bercucuran, dan ia tampak sedikit gusar. Kedatangan tamu-tamu asing itu cukup memantik perhatian sehingga para penjaga bersiap dengan kewaspadaan ekstra. Mereka tidak ingin lagi terkecoh dan mengalami insiden membahayakan bagi penghuni Mansion seperti yang telah terjadi di masa lalu. "B
Semua terjadi begitu cepat. Tidak ada yang mengira bahwa momen berpamitan Adam Hart merupakan momen terakhir ia bertemu dengan sang putri di kehidupan ini. "Apa?!" "Benar, Nona. Ayah Anda tewas terpenggal, kemarin malam."Bagai disambar petir, Arren begitu terkejut dengan kabar yang tiba-tiba datang ini.Arren bercucuran air mata ketika mendengar kabar tentang kematian ayahnya, pagi ini. Ia benar-benar tidak menyangka, kemarin malam adalah hari terakhirnya bertemu dengan sang ayah yang telah ia maafkan sepenuhnya. "Leon …" panggil Arren yang kini kesulitan bernapas. Ia tiba-tiba merasa pusing dan tak lama kemudian, tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan."Arren!"Leon segera menangkap tubuh sang istri yang hampir ambruk ke tanah itu, kemudian menggendongnya hingga ke sofa terdekat. Leon pun sangat terkejut dengan berita yang baru ia dengar. Namun, Leon berusaha tetap tenang. Ia tidak ingin semakin memperkeruh suasana karena Leon sangat mengetahui bahwa istrinya lah yang lebih terlu
Kematian sang ayah memang membuat Arren terpukul. Gadis berhati hangat itu masih belum bisa merelakan satu-satunya orang tuanya tewas dengan cara mengenaskan. Beberapa waktu ini, sebelum jasad Adam dipulangkan dari unit forensik untuk dimakamkan, Arren mengunci diri di kamar. Ia tidak tampak ingin pergi ke luar dan memilih untuk makan di berdua saja dengan Leon. Nyonya besar sangat khawatir dengan keadaannya namun Leon berhasil meredam kecemasannya. "Biarkan Arren memulihkan diri, Nyonya," ucap Leon suatu kali ketika Nyonya besar sangat ingin menemui sang cucu. Arren tak kunjung memperlihatkan diri dan hanya memandang ke luar jendela sesekali. Selebihnya, ia akan tidur seharian dan hanya bangun ketika waktu makan telah datang. Pelayan hanya akan mengantar kereta berisi makanan dan meninggalkannya di depan kamar. Leon akan mengambilnya dan menyuapi Arren supaya tetap makan, meski kehilangan seleranya. Leon tidak akan membiarkan Arren sakit hanya karena merasakan duka. Pria berpiki
Sudah satu minggu ini, Adam pergi meninggalkan keluarga Rossie. Suasana berkabung yang tengah terjadi menjadi semakin berat pada hari ini. Dalam tradisi Rossie, masa berkabung selama tujuh hari adalah masa maksimal seseorang mengantar kepergian anggota keluarga. Anggota keluarga Rossie telah menjalani ritual tujuh hari penuh kesedihan, kini tiba saatnya untuk mengakhiri masa berkabung yang menyedihkan dan bersiap dengan hari baru yang akan menjelang. Pagi itu, sinar matahari seakan bersinar terik, tidak seperti biasanya. Cahayanya mampu menembus tirai hitam yang membentang di jendela-jendela Mansion sebagai penghalang cahaya yang sengaja ditutup sempurna dalam suasana duka. Matahari seakan mengetahui bahwa hari ini, suasana berkabung sudah harus diakhiri. Mau tidak mau, siap tidak siap, segala kain hitam yang telah menggelapkan seluruh Mansion harus segera disingkirkan. Keheningan yang telah menjadi teman setia keluarga Rossie kini berangsur memudar. Mereka sudah tampak beraktiv