Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Nenek Lucy tersenyum lembut dan dengan bangga memperkenalkan Leonard Connor sebagai cucu angkatnya. "Lesea—budak itu—adalah anak angkat saya, Nyonya," ucap Nenek Lucy dengan mata berkaca-kaca, teringat kembali akan kenangan bersama sang anak angkat yang telah tiada. "Apa maksudmu, Lucy?""Itulah kenyataannya…""Jangan bercanda!"Nyonya besar tampak tidak menerima fakta tentang kenyataan ini. Namun, ia tidak melihat ekspresi kebimbangan di dalam diri Lucy—sang mantan pesuruh yang ia percayai. "Mengapa budak itu harus menjadi anak angkatmu? Anak laknat itu!" Amukan Nyonya besar tampak tak bisa dikendalikan. Ia masih merasa sakit hati terhadap pengkhianatan yang dilakukan oleh Alexander Connor dan Lesea yang mencoreng kehormatannya. Bukan hanya itu saja, Nyonya besar juga telah kehilangan banyak uang karena kerjasama yang ia bangun dengan keluarga Connor harus berhenti di tengah jalan. Tidak sedikit kerugian yang dideritanya. Bahkan, sangat banyak. Oleh karena itu, Nyonya besar sanga
Tatapan Nyonya besar tampak mengancam, dengan desahan napas berat yang seolah yak memberi harap pada sang cucu menantu. Mau tidak mau, ia harus mencari jalan tengah agar perseteruan ini tidak sampai merusak hubungannya dengan Arren, dan tentu saja memberi keuntungan yang ia inginkan."Katakan, Nyonya. Saya akan mengerahkan kemampuan saya jika bisa," ucap Leon dengan kesungguhan, namun Arren menarik tangan sang suami dan menggeleng pelan. "Kau tidak harus membuktikan apa pun," katanya dengan suara bergetar. Entah mengapa, sikap Neneknya cukup keterlaluan. Arren keberatan dengan berbagai desakan dari sang Nenek yang seolah memojokkan Leon. Leon tidak seharusnya menuruti setiap permintaan sang Nenek yang menjatuhkan harga dirinya. Seharusnya Leon melawan, namun pria itu hanya tersenyum lembut dan menggenggam erat tangan Arren. "Aku tidak ingin hubungan kita seperti duri dalam daging, Arren. Tenanglah, aku pasti bisa memenuhi syarat itu.""Sayang, kau tidak perlu seperti ini," kata Arre
Seorang pria berjas hitam yang rapi dengan dasi merah terlihat berdiri dengan sikap tegak dan penuh kepercayaan diri.Dengan postur tubuh atletis dengan tinggi sekitar 185 cm, Pria itu sangat kokoh dan seakan sulit untuk didekati. Matanya berwarna cokelat tajam, dengan dagu bersih dan bibirnya yang sering terlipat dalam ekspresi serius. "Selamat pagi, Nyonya," sapanya sambil mengangguk hormat. Inspektur Kirk, pria itu kembali lagi ke Mansion ini, untuk apa? "Ada yang bisa saya bantu, Inspektur?" tanya Nyonya Rossie dengan ekspresi curiga. Ia belum mempersilahkan sang inspektur untuk masuk ke dalam kediamannya sebelum jelas apa kepentingan yang hendak diungkapkannya. Inspektur Kirk menjawab dengan suara yang tegas dan berwibawa, "Izinkan saya masuk, Nyonya Rossie. Saya memiliki berita yang harus saya sampaikan mengenai Abigail Rossie," ucapnya dengan ekspresi serius. "Abbey? Apalagi yang ingin Anda ketahui? Saya tidak ada hubungannya dengan dia!" teriak Nyonya Rossie yang mengejutk
Malam semakin larut, jam makan malam telah usai, seharusnya setelah ini, Nyonya Rossie, Arren dan Leon akan kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat atau melakukan kegiatan lain sambil menunggu waktu tidur tiba. Namun, sebelum beranjak dari ruang makan tersebut, sebuah kehebohan mengejutkan mereka. Seorang penjaga tampak tergopoh-gopoh masuk dan memberitahuksn bahwa ada rombongan pria besar yang sedang bertamu di gerbang Mansion mereka. Salah seorang di antaranya adalah mantan menantu sang Nyonya rumah, Adam Hart. "Nyo—nyonya. Adam Hart ingin bertemu Anda," ucap pengawal itu dengan napas tersengal. Dadanya kembang-kempis menahan laju oksigen yang terpompa cepat pada jantungnya. Keringatnya bercucuran, dan ia tampak sedikit gusar. Kedatangan tamu-tamu asing itu cukup memantik perhatian sehingga para penjaga bersiap dengan kewaspadaan ekstra. Mereka tidak ingin lagi terkecoh dan mengalami insiden membahayakan bagi penghuni Mansion seperti yang telah terjadi di masa lalu. "B
Semua terjadi begitu cepat. Tidak ada yang mengira bahwa momen berpamitan Adam Hart merupakan momen terakhir ia bertemu dengan sang putri di kehidupan ini. "Apa?!" "Benar, Nona. Ayah Anda tewas terpenggal, kemarin malam."Bagai disambar petir, Arren begitu terkejut dengan kabar yang tiba-tiba datang ini.Arren bercucuran air mata ketika mendengar kabar tentang kematian ayahnya, pagi ini. Ia benar-benar tidak menyangka, kemarin malam adalah hari terakhirnya bertemu dengan sang ayah yang telah ia maafkan sepenuhnya. "Leon …" panggil Arren yang kini kesulitan bernapas. Ia tiba-tiba merasa pusing dan tak lama kemudian, tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan."Arren!"Leon segera menangkap tubuh sang istri yang hampir ambruk ke tanah itu, kemudian menggendongnya hingga ke sofa terdekat. Leon pun sangat terkejut dengan berita yang baru ia dengar. Namun, Leon berusaha tetap tenang. Ia tidak ingin semakin memperkeruh suasana karena Leon sangat mengetahui bahwa istrinya lah yang lebih terlu
Kematian sang ayah memang membuat Arren terpukul. Gadis berhati hangat itu masih belum bisa merelakan satu-satunya orang tuanya tewas dengan cara mengenaskan. Beberapa waktu ini, sebelum jasad Adam dipulangkan dari unit forensik untuk dimakamkan, Arren mengunci diri di kamar. Ia tidak tampak ingin pergi ke luar dan memilih untuk makan di berdua saja dengan Leon. Nyonya besar sangat khawatir dengan keadaannya namun Leon berhasil meredam kecemasannya. "Biarkan Arren memulihkan diri, Nyonya," ucap Leon suatu kali ketika Nyonya besar sangat ingin menemui sang cucu. Arren tak kunjung memperlihatkan diri dan hanya memandang ke luar jendela sesekali. Selebihnya, ia akan tidur seharian dan hanya bangun ketika waktu makan telah datang. Pelayan hanya akan mengantar kereta berisi makanan dan meninggalkannya di depan kamar. Leon akan mengambilnya dan menyuapi Arren supaya tetap makan, meski kehilangan seleranya. Leon tidak akan membiarkan Arren sakit hanya karena merasakan duka. Pria berpiki
Sudah satu minggu ini, Adam pergi meninggalkan keluarga Rossie. Suasana berkabung yang tengah terjadi menjadi semakin berat pada hari ini. Dalam tradisi Rossie, masa berkabung selama tujuh hari adalah masa maksimal seseorang mengantar kepergian anggota keluarga. Anggota keluarga Rossie telah menjalani ritual tujuh hari penuh kesedihan, kini tiba saatnya untuk mengakhiri masa berkabung yang menyedihkan dan bersiap dengan hari baru yang akan menjelang. Pagi itu, sinar matahari seakan bersinar terik, tidak seperti biasanya. Cahayanya mampu menembus tirai hitam yang membentang di jendela-jendela Mansion sebagai penghalang cahaya yang sengaja ditutup sempurna dalam suasana duka. Matahari seakan mengetahui bahwa hari ini, suasana berkabung sudah harus diakhiri. Mau tidak mau, siap tidak siap, segala kain hitam yang telah menggelapkan seluruh Mansion harus segera disingkirkan. Keheningan yang telah menjadi teman setia keluarga Rossie kini berangsur memudar. Mereka sudah tampak beraktiv
“Belum mandi pun, kamu sudah cantik,” ucap Leon sambil mengecup lembut bibir Arren yang bersemu merah. Gadis itu tidak lagi bisa membantah atau pun mengelak. Ia menikmati setiap usapan lembut bibir sang suami dengan penuh kepuasan. “Mmh …” Mereka berdua mendesah nikmat dan ambruk ke ranjang. Leon bahkan tidak mempedulikan jasnya yang mungkin akan kusut jika bergelut di sana dengan istrinya. Leon terus melancarkan aksi penuh gairah dari bibir hingga ke leher jenjang sang istri. Ia juga bermain-main dengan kulit mulus Arren yang tersingkap ketika tangannya menggerayangi seluruh tubuh bagian atas. Gaun tidur Arren tertanggal sempurna. Ia kini tak ubahnya bayi yang terlentang tanpa busana. “Kau sangat cantik,” puji Leon sambil menikmati pemandangan indah di hadapannya. “Tidakkah kau ingin pergi?” tanya Arren sedikit menggoda. Rona wajahnya tidak mengatakan bahwa ia benar-benar akan mengusir sang suami untuk pergi begitu saja. Arren jelas menginginkan sentuhan lebih dari sang suami
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.