Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Arren berkata sambil memandang berlian yang berkilauan di jarinya. Kilauannya tidak hanya berasal dari cincin, tetapi juga dari matanya yang penuh cinta.Leon gembira ketika melihat rona wajah Arren yang bahagia. "Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu."Arren tersipu mendengarnya. Detik kemudian, sebuah ciuman hangat mendarat di pipi sang suami. "Terima kasih, Sayang. Aku benar-benar menghargainya. ""Hadiah itu, aku baru pertama kali membelinya untuk wanita. Syukurlah kau menyukainya," ucap Leon bahagia. Ia merasa begitu bangga karena dapat membelikan barang kesukaan istrinya. Tidak sia-sia, Leon menguras harta hingga ribuan dollar hanya untuk perhiasan kecil seperti itu. Usul Ford ternyata ada benarnya. "Tentu saja aku suka. Lihatlah ini! Pasti harganya mahal!" Arren bersorak. Ia memperhatikan setiap detail cincin tersebut.Matanya bersinar oleh kilau berlian, Arren merasa seperti seorang putri di negeri dongeng yang sedang dilamar pangeran tertampan. "Cincin itu adalah cinci
"Permisi, Nona… Nyonya memanggil Anda untuk makan bersama," ucap pelayan pribadi Arren sambil mengetuk pintu kamar majikannya. Senja telah berganti malam. Dan kini, saatnya mereka untuk mengisi kekosongan perut yang sudah mulai keroncongan. "Baiklah… Aku akan ke sana," sahut Arren, tanpa membuka pintu. Dengan kehadiran Leon di sisinya, Arren selalu tidak bisa berpakaian dengan benar. Suaminya itu tidak segan-segan melepas gaunnya kapan pun ia inginkan. "Satu ronde lagi, ya?" pinta Leon dengan senyuman nakalnya. Arren melemparkan bantal yang ada dalam jangkauannya ke arah sang suami. "No!" tegasnya sambil melotot heran. Leon terkekeh, ia meraih tangan Arren yang hampir mendaratkan berbagai benda kepadanya. Dengan satu tarikan kencang, Leon berhasil menangkap sang istri kembali ke dalam pelukannya. "Kena!"Detik kemudian, Leon mencumbui bibir sang istri dengan gairah yang membuncah—sebagai upah atas kesabarannya untuk tidak melakukan ronde ke dua. "Mmh…" Arren menggeliat, ingin m
"Apa yang kalian bicarakan? Aku sama sekali tidak mengetahui apa pun!" Arren menyela, ia seakan menjadi orang bodoh yang tidak mengetahui apa-apa. Nenek dan suaminya begitu penuh rahasia. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi di sini? "Arren. Ayah Leon itu seharusnya menjadi menantu keluarga ini. Sebelum pria bajingan itu kawin lari dengan seorang budak!" Nyonya Rossie menjelaskan, dengan lengkingan tajam yang memekakkan telinga. "A—apa?" Arren tak percaya dengan pendengarannya. "Benarkah itu?" Ia melihat ke arah Leon yang sedang menundukkan kepala. Pria itu diam dan tidak tahu harus menjawab apa. "Lihatlah. Anak itu juga bakal seperti Ayahnya. Kau jangan mudah percaya!" Nyonya Rossie terus menuduh Leon yang serupa sang ayah. Padahal… "Aku bahkan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Mengapa Anda menyamakan kami? Gila!" Leon meradang. Kisah kelam keluarganya yang dengan rapat ia simpan, akhirnya terbuka juga. Arren dan Neneknya tentu saja syok dengan pengakuan Leon itu. Namun, mere
Nenek Lucy tersenyum lembut dan dengan bangga memperkenalkan Leonard Connor sebagai cucu angkatnya. "Lesea—budak itu—adalah anak angkat saya, Nyonya," ucap Nenek Lucy dengan mata berkaca-kaca, teringat kembali akan kenangan bersama sang anak angkat yang telah tiada. "Apa maksudmu, Lucy?""Itulah kenyataannya…""Jangan bercanda!"Nyonya besar tampak tidak menerima fakta tentang kenyataan ini. Namun, ia tidak melihat ekspresi kebimbangan di dalam diri Lucy—sang mantan pesuruh yang ia percayai. "Mengapa budak itu harus menjadi anak angkatmu? Anak laknat itu!" Amukan Nyonya besar tampak tak bisa dikendalikan. Ia masih merasa sakit hati terhadap pengkhianatan yang dilakukan oleh Alexander Connor dan Lesea yang mencoreng kehormatannya. Bukan hanya itu saja, Nyonya besar juga telah kehilangan banyak uang karena kerjasama yang ia bangun dengan keluarga Connor harus berhenti di tengah jalan. Tidak sedikit kerugian yang dideritanya. Bahkan, sangat banyak. Oleh karena itu, Nyonya besar sanga
Tatapan Nyonya besar tampak mengancam, dengan desahan napas berat yang seolah yak memberi harap pada sang cucu menantu. Mau tidak mau, ia harus mencari jalan tengah agar perseteruan ini tidak sampai merusak hubungannya dengan Arren, dan tentu saja memberi keuntungan yang ia inginkan."Katakan, Nyonya. Saya akan mengerahkan kemampuan saya jika bisa," ucap Leon dengan kesungguhan, namun Arren menarik tangan sang suami dan menggeleng pelan. "Kau tidak harus membuktikan apa pun," katanya dengan suara bergetar. Entah mengapa, sikap Neneknya cukup keterlaluan. Arren keberatan dengan berbagai desakan dari sang Nenek yang seolah memojokkan Leon. Leon tidak seharusnya menuruti setiap permintaan sang Nenek yang menjatuhkan harga dirinya. Seharusnya Leon melawan, namun pria itu hanya tersenyum lembut dan menggenggam erat tangan Arren. "Aku tidak ingin hubungan kita seperti duri dalam daging, Arren. Tenanglah, aku pasti bisa memenuhi syarat itu.""Sayang, kau tidak perlu seperti ini," kata Arre
Seorang pria berjas hitam yang rapi dengan dasi merah terlihat berdiri dengan sikap tegak dan penuh kepercayaan diri.Dengan postur tubuh atletis dengan tinggi sekitar 185 cm, Pria itu sangat kokoh dan seakan sulit untuk didekati. Matanya berwarna cokelat tajam, dengan dagu bersih dan bibirnya yang sering terlipat dalam ekspresi serius. "Selamat pagi, Nyonya," sapanya sambil mengangguk hormat. Inspektur Kirk, pria itu kembali lagi ke Mansion ini, untuk apa? "Ada yang bisa saya bantu, Inspektur?" tanya Nyonya Rossie dengan ekspresi curiga. Ia belum mempersilahkan sang inspektur untuk masuk ke dalam kediamannya sebelum jelas apa kepentingan yang hendak diungkapkannya. Inspektur Kirk menjawab dengan suara yang tegas dan berwibawa, "Izinkan saya masuk, Nyonya Rossie. Saya memiliki berita yang harus saya sampaikan mengenai Abigail Rossie," ucapnya dengan ekspresi serius. "Abbey? Apalagi yang ingin Anda ketahui? Saya tidak ada hubungannya dengan dia!" teriak Nyonya Rossie yang mengejutk
Malam semakin larut, jam makan malam telah usai, seharusnya setelah ini, Nyonya Rossie, Arren dan Leon akan kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat atau melakukan kegiatan lain sambil menunggu waktu tidur tiba. Namun, sebelum beranjak dari ruang makan tersebut, sebuah kehebohan mengejutkan mereka. Seorang penjaga tampak tergopoh-gopoh masuk dan memberitahuksn bahwa ada rombongan pria besar yang sedang bertamu di gerbang Mansion mereka. Salah seorang di antaranya adalah mantan menantu sang Nyonya rumah, Adam Hart. "Nyo—nyonya. Adam Hart ingin bertemu Anda," ucap pengawal itu dengan napas tersengal. Dadanya kembang-kempis menahan laju oksigen yang terpompa cepat pada jantungnya. Keringatnya bercucuran, dan ia tampak sedikit gusar. Kedatangan tamu-tamu asing itu cukup memantik perhatian sehingga para penjaga bersiap dengan kewaspadaan ekstra. Mereka tidak ingin lagi terkecoh dan mengalami insiden membahayakan bagi penghuni Mansion seperti yang telah terjadi di masa lalu. "B
Semua terjadi begitu cepat. Tidak ada yang mengira bahwa momen berpamitan Adam Hart merupakan momen terakhir ia bertemu dengan sang putri di kehidupan ini. "Apa?!" "Benar, Nona. Ayah Anda tewas terpenggal, kemarin malam."Bagai disambar petir, Arren begitu terkejut dengan kabar yang tiba-tiba datang ini.Arren bercucuran air mata ketika mendengar kabar tentang kematian ayahnya, pagi ini. Ia benar-benar tidak menyangka, kemarin malam adalah hari terakhirnya bertemu dengan sang ayah yang telah ia maafkan sepenuhnya. "Leon …" panggil Arren yang kini kesulitan bernapas. Ia tiba-tiba merasa pusing dan tak lama kemudian, tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan."Arren!"Leon segera menangkap tubuh sang istri yang hampir ambruk ke tanah itu, kemudian menggendongnya hingga ke sofa terdekat. Leon pun sangat terkejut dengan berita yang baru ia dengar. Namun, Leon berusaha tetap tenang. Ia tidak ingin semakin memperkeruh suasana karena Leon sangat mengetahui bahwa istrinya lah yang lebih terlu
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.