Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Sinar bulan yang awalnya memancar sempurna, kini temaram tertutup awan mendung yang tiba-tiba datang. Danau tenang kini beriak, dengan pantulan kekejian yang sedang berlangsung di daratan. Serigala berlumur darah, sedang mundur selangkah, untuk bersiap menyerang kembali mangsa yang ada di hadapannya. Pria itu, Adam Hart, tertatih menahan nyeri di koyakan lengannya. Dengan langkah limbung, Adam hampir kehabisan darah. Cairan merah itu terus mengalir deras, menimbulkan bau anyir yang menyegarkan bagi sang pemburu di sekitarnya. 'Grrrr...Serigala kembali menggeram, dengan menunjukkan gigi-giginya yang tajam. Semburat merah dengan irisan daging bertengger di antaranya, menimbulkan kehausan akan porsi yang lebih, dalam mengganjal rasa laparnya. Serigala itu bukanlah hewan yang biasa ditemui di Danau Hutan Cedar. Mungkin, ia benar-benar kelaparan, sehingga melintasi wilayah buruan hewan lain yang berada di luar kelompoknya. "Pergi! Binatang jalang!" Adam berteriak, dengan gemeletuk g
Seperti predator pada umumnya, Leon berpikir menggunakan otak reptilnya. Ia bahkan tidak menunggu hingga bala bantuan datang—para anak buahnya—dan segera berlari menuju ke arah yang ditunjukkan oleh sang ayah mertua. Sementara itu, tim pengawal Rossie—yang dipimpin oleh Clark—malah berlari ke arah sebaliknya. Mereka tidak mengetahui rahasia pondok tua milik Nenek Lucy—mantan dayang Ibunda Arren—sehingga mencari sang Nona ke arah yang salah. Pengawal-pengawal itu menyusuri pedesaan yang ada di sekitar lembah, yang masih berada dalam wilayah Rossie. Mereka tidak pernah mengira bahwa sang Nona sedang berada di area berbeda. Pertemuan Leon dengan ayah mertuanya—meski awalnya dianggap sebagai bentuk kesialan—ternyata memiliki manfaat yang besar. Leon dapat dengan mudah membawa kembali Arren tanpa harus melawan bala tentara Rossie yang tak terhitung jumlahnya. Jika dikalkulasikan, tentu anak buah Leon kalah jumlah. Namun, persoalan nyali, mereka tidak bisa dianggap sebagai orang-orang t
"Tidak mungkin! Ibuku seorang budak! Dia tidak memiliki siapa-siapa!" Leon berteriak, tidak menerima pernyataan tanpa dasar dari seseorang yang baru saja dikenalnya. "Nak…"Nenek Lucy memahami, mengapa sulit sekali menjelaskan hal ini. Lesea memang bukan putri kandungnya. Dia hanyalah anak adopsi. "Ibumu adalah korban perang di Prusia. Tuan besar membawanya ke wilayah ini ketika lepas dinas di sana. Dia—""Tidak! Kau berdusta!"Terlihat kobaran amarah dalam sorot mata Leon, yang menolak segala informasi baru tentang ibunya. Wilayah ini, memang benar, seharusnya tidak pernah ia singgahi. Luka lama Leon terbuka kembali. Ia kini merasakan sesak yang menjalari dada, tanpa disadari. "Hah… Hah…" Kepala Leon berputar-putar. Ia mencoba menepis kenangan masa lalu yang tiba-tiba menyeruak. Kenangan tentang sang ibu, memang tidak pernah menyenangkan hatinya. Leon hanya akan semakin terluka, ketika mengetahui berita tentang mendiang ibunya. "Tenanglah, Tuan…" Nenek Lucy meraih air mineral y
Arren tidak bisa berteriak, dan hanya menatap Leon lekat, dengan tatapan sendu yang mendalam. Tatapan Arren itu seakan berarti, ia begitu menantikan kedatangan Leon, meski awalnya hanya sebatas angan.Bulir air terlihat menggenang di antara kedua matanya. Entah mengapa, gadis itu begitu lega karena Leon akhirnya menampakkan dirinya. Tapi, perasaan aneh apa ini?Ada semacam kerinduan yang tiba-tiba menyeruak, namun terhalang oleh harga diri yang tetap ada di dalam hatinya. Bukankah Arren sudah melarikan diri dari jeratan pria itu? Lantas, mengapa sekarang ia begitu bahagia ketika kembali bertemu? Ah… apakah, perasaan cinta dan benci memang harus membingungkan seperti ini? Arren belum bisa mengartikan kontradiksi perasaannya ini. Namun, satu hal yang pasti, Ia begitu bahagia, jika memang harus ditakdirkan untuk mati, hari ini. ***Leon menyapu pandangan, mencoba menelaah situasi yang sedang terjadi di tempat ini. Ia tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Tidak ada senjata, tidak
Malam yang kelam sedikit lagi berganti pagi. Semburat merah perlahan mulai menampakkan diri. Abigail telah selesai berkemas dan siap untuk pergi dari pondok terkutuk ini. Langkahnya yang tak sabar, segera bergema di seluruh ruangan. "Kita pergi sekarang!""Tunggu!"Leon mematung, memandangi sang istri yang sendirian dan tampak rapuh itu. Meski terbebas dari ikatan, namun tentu saja Arren masih belum bisa bergerak bebas. Ranjau terkutuk itu menahan segalanya. "Arren… bertahanlah!""Leon…"Perpisahan kembali menghadang pasangan ini. Keduanya sadar bahwa mereka tidak memiliki pilihan. Baik Leon maupun Arren, keduanya tertawan oleh keadaan, tanpa bisa melawan. "Biarkan aku berpamitan sebentar."Leon mendekat ke arah Arren, sambil mengucap kata perpisahan. Tidak ada yang ingin mati terpanggang di sana. Jadi, Leon hanya bisa mendekat sekitar satu meter dari posisinya semula. "Tunggulah aku. Ini tidak akan lama."Arren mengangguk perlahan, setelah mendengar penuturan Leon. Gadis itu tent
"Hei!"Leon menatap nyalang musuh yang ada di hadapannya. Pria itu! Dengan jenggot tebal yang menyerupai seorang tuna wisma, namun perawakannya tinggi besar hampir setinggi dirinya. "Siapa kau!" teriak Leon yang sedang dalam posisi siaga, siap menyerang jika pria itu tiba-tiba melayangkan kapaknya. Namun, pria itu hanya terengah-engah tanpa menjawab segala pertanyaan dari Leon. Pandangannya lekat pada sosok Abigail yang tengah meregang nyawa, bersimbah darah di hadapannya. Abigail—wanita jahat itu—bahkan tewas dalam posisi terperangah. Bola matanya hampir melompat ke luar, seakan tidak pernah memperkirakan kejadian nahas yang menimpanya ini. Semua sudah terlambat. Kejadiannya begitu cepat. Saat ini, Abigail telah tewas. "Akhirnya…" desis pria itu lega. Klang! Ia membuang kapak dengan semburat darah itu begitu saja, di sekitar mayat sang buruan yang teronggok seperti sampah di atas aspal jalan. "Tuntas dendamku, padamu. Pergilah ke neraka!" teriaknya dengan nada tajam dan napa
Hiruk-pikuk mulai terdengar keras, tatkala truk-truk pemadam kebakaran dengan cepat tiba di area ledakan. Mereka datang dengan sirine yang meraung-raung, memecah ketenangan hutan dan membuat hewan-hewan liar yang sebelumnya merasa aman, kini berlari ketakutan.Suasana pasca ledakan di dalam hutan cedar menjadi sangat dramatis. Mobil-mobil polisi dengan lampu merah dan biru yang berkedip-kedip tiba di sekitar lokasi, mengiring truk pemadam kebakaran yang telah sampai terlebih dahulu di tempat kejadian.Cahaya warna-warni dari sirine polisi memberi silau nyata bagi para hewan yang ada di sana. Suaranya yang nyaring turut menakuti fauna hutan yang kini sibuk mencari tempat perlindungan.Mereka benar-benar ketakutan. Setelah gema ledakan mulai mereda, kini, hutan—tempat tinggal para hewan liar itu—malah semakin ramai orang.Hewan-hewan yang terbiasa merasa aman karena jauh dari peradaban manusia, kini merasa terancam. Mereka tampak gemetar dan tidak terlihat menampakkan diri di sekitar lo
Dalam suasana yang masih kacau balau, bisikan lembut Arren membuat Leon mematung sesaat, namun kemudian, ia melesat dengan segera, dan berlari ke arah istrinya. "Arren! Oh! Sayang!"Leon memeluk tubuh rapuh sang istri dengan dekapan erat, seolah hendak mematahkannya dalam sekejap mata. "Ergh," erang Arren, merasa sesak, namun juga memahami mengapa Leon bersikap seperti ini. "A—ku tidak bisa bernapas."Leon mengendurkan pelukannya, tawa bahagia mewarnai perjumpaan mereka yang begitu dramatis itu. Leon membelai wajah ayu sang istri dengan gerakan lembut yang seolah menyatu dalam alam mimpi. Ia masih tidak mempercayai keajaiban ini."Mmh…"Detik kemudian, bibir ranum Arren dilumat sempurna oleh Leon. Dalam kecupan lembut itu, Arren dapat merasakan gairahnya yang telah padam kini kembali hidup dan tertawan oleh pesona sang suami. Ah. Ciuman manis ini, terasa seperti mimpi. Untuk sesaat, dua sejoli itu bahkan melupakan tempat berdiri mereka. Beberapa petugas yang masih berlalu-lalang