IZIN PERGI"Mumpung-mumpung saya masih bisa menjaga, Gendhis. Biarkan saya yang menjaganya sebelum Ibu kemari lagi, karena nanti sore sedikit saya tidak bisa ada di sini, Bu. Saya harus menyelesaikan beberapa pekerjaan saya, juga," jelas Mulki lembut dan santun.Ririn menatap ke arah lelaki itu sepersekian detik dia melihat Mulki dengan semua kesopan dan santunan Mulki dan segala kelemah- kelembutannya membuat Ibu Gendhis akhirnya luluh juga. Karena jika di pikir lagi apa yang di katakan Mulki benar, dia belum memiliki persiapan menginap di rumah sakit."Baiklah, apa kau tak akan kerepotan nantinya?" tanya ibu Gendhis penuh selidik."Tidak Bu, saya tidak merasa terbebani, juga tidak merasa direpotkan kkok, Bu. Justru yang menjadi pertanyaan saya, apakah Ibu nanti ada yang mengantarkan pulang? Saya gojek kan bagaimana?" usul Mulki."Tenang saja, masih ada para tetangga di depan sana," jawab Mama Gendhis."Nah mending sekarang Ibu pulang dulu. Nanti urusan bisnis insyaallah akan saya ta
PERGILAH! "Terima kasih nanti saja. Apa maksudmu? Apa maksudmu dengan semua perbuatanmu ini, Mulki?" tanya Gendhis. "Apakah perlu kau membahasnya saat seperti ini? Bukankah yang terpenting sekarang adalah Kai," sindir Mulki. "Maaf Mulki, aku harus membahasnya. Aku tak ingin adaa salah paham lagi antara kita semua," sanggah Gendhis. "Aku hanya ingin berbuat baik saja padamu Apakah itu salah?" tanya Mulki. "Jangan begini padaku, Mulki. Tolong, aku sangat berhutang budi padamu, tapi sekarang pulanglah. Aku bisa mengatasi semua nya sendiri," usir Gendhis. "Tidak. Aku akan tetap di sini, menjagamu dan Kai!" tegas Mulki. "Mulki, pergilah. Aku mohon," pinta Gendhis. "Apa? Kenapa? Mengapa alasannya kamu mencegah aku berbuat baik kepada sesama manusia. Apalagi kau di sini sangat jelas membutuhkan aku. Bukankah berbuat baik kepada sesama itu dianjurkan dan..." "Mulki! Aku hanya tidak ingin terlalu larut
AKU LELAH! AKU MENYERAH, MULKI! "Ibumu kan belum datang, tapi aku harus mengajar santri. Sekarang aku bertanya padamu dan kau tak perlu sungkan menjawabnya. Hanya ada dua pilihannya, jika memang kau membutuhkanku maka aku akan segera menelepon Abah ku, aku akan mengatakan padanya aku tidak bisa mengajar hari ini, dan aku akan menemanimu. Karena Ibumu juga belum datang dan aku tak tega meninggalkanmu sendiri. Atau..." "Pergilah," kata Gendhis. "Tidak! Jika kau tak sanggup tak apa-apa, Gendis. Kau boleh kok berkata lelah, kau boleh bersikap tak tegar, kau boleh mengeluh, kau boleh mengatakan bahwa kau membutuhkan sandaran dan aku bisa memberikannya untukmu. Jangan berpura-pura kuat, jangan bersikap sok tegar. Sampai kapan kau akan begini? Apakah kau akan selamanya membohongi perasaanmu sendiri dan berkata seolah-olah itu tidak apa-apa, padahal keputusan mu dan kondisi mu berat juga. Jika seperti ini terus mentalmu yang kena, Gendhis," jelas Mulki.
KAU DATANG DI WAKTU YANG TAK TEPAT, MULKI! "Ck! Kau masih saja egois, Gendhis. Tak masalah aku akan menemanimu di sini, anak-anak memiliki banyak guru pengganti. Sedangkan kau di sini? Hanya sediri dan tidak ada yang menemani," kat Mulki. Gendhis pun hanya menganggukkan kepalanya. Dia segera pergi keluar lalu pergi ke mushola, sambil menunggu adzan Mulki menelpon Abah nya dulu. "Halo assalamualaikum, Bah," "Waalaikumsalam, ada apa Mulki?" tanya Abah Furqon. "Abah belum membalas pesan Mulki ya?" tanya Mulki. "Maaf, Le. Abah tadi masih menyusun materi. Ada apa?" sahut Abah Mulki. "Bah, nanti Mulki tak bisa mengajar. Karena ternyata temanku kondisinya lumayan parah, Bah. Dia harus menjaganya sendiri, karena yang di tunggu sedang berada di rawat di ICU," jelas Mulki. "Innalillahi wa innailaihi rojiun," gumam Abah Furqon masih terdengar di telpon meskipun lirih. "Karena sang Ibu masih pulang untuk mengambil p
KENAPA LELAKI ITU HARUS KAU? "KAU DATANG PADAKU TAK TEPAT WAKTU, MULKI," batin Gendhis. Mulki segera pergi ke mushola setelah memberikan kabar kepada Rio dan Abah nya. Dia menghabiskan waktu salat Maghrib sekalian salat isya terus bermunajat kepada Allah. Jujur saja kali ini Mulki lebih menyampaikan segala keluh kesah yang dirasakannya. Perasaan yang tak pernah dimiliki untuk wanita lain termasuk Maulida Maesaroh. Wanita yang lebih di sukai oleh Uminya. Wanita yang di gadang- gadang menjadi sosok pendamping yang cocok bagi Mulki. Sekarang entah mengapa dia merasa Gendis adalah wanita yang istimewa di mata Mulki. Bagaimana tidak, dia seorang wanita namun melakukan semua demi anak. Meskipun dia pernah melakukan kesalahan dengan kakak iparnya sendiri, namun Mulki menaruh hati padanya, dia merasa ingin melindungi Gendhis. Sakit hatinya melihat Gendhis seperti ini. Namun di satu sisi dia juga bingung, bagaimana cara mengatakan semua perasaan ini kepada Abahn
KEPERGIAN KAI "Lancang sekali dirimu," ujar Gendhis. "Pilihannya hanya dua, makan sendiri atau aku menyuapi mu? Hanya Itu pilihannya," perintah Mulki. Gendhis terdiam, ada rasa panas yang menjalar entah apa. Perasaannya kali ini dia benar-benar menemukan sosok Rio di diri Mulki, Rio yang selalu memaksanya melakukan sesuatu demi kebaikannya sendiri. Hal itu membuat Gendis tambah sakit, mengingat Kai pun ada karena Rio. Tak terasa air matanya menetes mengingat semua kenangannya dengan Rio. "Sudah jangan menangis lagi. Memang enak makan sambil menangis itu? Akan tambah menyesakkan. Ayo sini makan," ajak Mulki. Mulki membuka Styrofoam yang berisi nasi goreng itu dan menyerahkan pada Gendhis. "Kamu harus makan separuhnya ya? Kau mau?" tanya Gendis. "Aku tak akan habis," ucap Mulki. "Boleh! Taruh sana saja tapi, sisihkan di bagian lain. Mana enak makan di campur- campur," ucap Mulki. "Oh ya aku membelikanmu ju
IBU YANG KEHILANGAN ANAKNYA Mulki langsung menyimpan Hp nya. Dia memegang erat tangan Gendhis dan mencoba menyadarkan wanita itu. "Gendhis bangunlah. Kasihan Kai! Ayok kita urus sama- sama Kai. Kau dan aku, aku tak akan meninggalkanmu," bisik Mulki. "Mulki," panggil Gendhis dengan tatapan kosong. "Apakah ini mimpi? Atau kenyataan? Anakku mati dan sekarang aku ada di pelukanmu. Jika memang ini mimpi bangunkan aku, Mulki. Tolong bangunkan aku, rasanya baru setahun lalu ketika Tuhan menghadirkan Kai di dalam rahim ku selama sembilan bulan lamanya. Kau tahu Mulki? Aku saat itu hanya memiliki Kai saja, kami menghabiskan banyak waktu bersama dan hanya berdua. Semua kami lewati dengan Kai lah harapanku satu- satunya, rasa bahagia dan deraian air mata. Jantung ku dan Kai yang bersahutan seiring dengan semua tendangan Kai dalam perutku membuatku yakin bahwa dunia harus baik- baik saja demi cinta ku pada Kai. Sentuhan halus di tangan Kai membuatku sadar
KABAR UNTUK ABAH DAN KECURIGAAN RIO "Nah ibumu sudah aku telepon tadi, dia sekarang sudah ada di rumah mungkin. Ibumu sekarang sedang mempersiapkan semuanya yang di perlukan untuk memakamkan Kai, jadi aku mohon padamu dan aku minta satu hal, jangan menangis lagi ya! Jangan ada air mata lagi," pinta Mulki. "Baiklah. Tapi Mulki bolehkan aku meminta satu hal padamu saat pemakaman anakku nanti?" tanya Gendhis. Mulki menganggukkan kepalanya. "Jangan sampaikan ini semua kepada Mas Rio ya atau keluargamu, Mulki. Wa Allah i, aku tak rela. Aku mohon, aku tak ingin dia tahu. Aku tak ingin dia membuatku merasa bersalah dan menyalahkan aku, aku juga tak ingin keluargamu mengolok ku dan tertawa senang atas penderitaanku ini, ya meskipun aku tahu keluargamu tidak begitu. Kau tahu sendiri kan lebih banyak orang yang senang dari pada berduka di balik musibah yang menimpa seseorang," ucap Gendhis. "Bukankah Rio orang yang menyayangimu, Gendhis? Akankah dia juga bersikap sama?" tanya Mulki. Gendhi