ASTAGFIRULLOH! LELAKI ITU?"Gendis nak turunlah!" perintah Umi Nisa saat adzan magrib hendak berkumandang.Gendis pun turun dari kamarnya yang memang sengaja berada di lantai dua. Pasti lelaki itu sudah datang dan sekarang sedang berbincang dengan Abah Usman di depan. Jantung Gendhis berdetak tak karuan."Apakah begini jika semua di lakukan karena Gusti Allah? Begitu indah, mendebarkan," batin Gendhis."Gendhis, nanti kau hidangkan makanan dalam nampan itu ya. Umi sudah sengaja membuatkan dua nampan makanan. Lelaki itu sangat pemberani sekali, bahkan dia datang sendiri tak di temani siapapun," puji Umi Nisa. Lagi ucapan Umi Nisa itu membuat Gendhis tersipu malu. Dia sangat penasaran seperti apa lelaki yang akan menjadi calon suaminya itu."Iya, Mi," jawab Gendhis."Nah satu nampan teh hangat dan air itu untuk Abah Usman dan lelaki itu, satu untuk kita berdua makan. Meskipun kita nanti akan makan berpisah, jika memang kau tidak nyaman," kata Umi Nisa. Gendhis menganggukkan kepalanya.
TANGIS GENDHIS"Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan. Bukankah begitu, Abah?" tanya Mulki."Tafsir wajiz nya memang barang siapa mengerjakan kebajikan sekecil apa pun, baik dia laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman dan dilandasi keikhlasan, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan Kami beri dia balasan di akhirat atas kebajikannya dengan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka kerjakan," jawab Abah Usman."Sedangkan tafsir tahlili, Kemudian Allah swt dalam ayat ini berjanji bahwa Allah swt benar-benar akan memberikan kehidupan yang bahagia dan sejahtera di dunia kepada hamba-Nya, baik laki-laki maupun perempuan, yang mengerjakan amal saleh yaitu segala amal yang sesuai petunjuk Al-Qur'an dan
La Tahzan!"Tidak Abah. Tidak begitu, justru Gendhis ini merasa terharu, senang, sedih, bercampur menjadi satu," ujar Gendis sambil mengusap air matanya, nada suara gadis sudah bergetar berusaha sebisa mungkin menahan semua tangisnya."Lalu, mengapa kau menangis, Nak? Apa yang membuatmu sedih seperti itu? Kalau kau memang bahagia harusnya kau tersenyum. La tahzan, jangan lah engkau bersedih, Nak," ujar Abah Usman. Maryam anak Abah Usman pun berjalan mendekati Gendis."Ya Mama Gendis, kenapa engkau menangis? Apa ada yang membuat Mama Gendis sedih?" tanya gadis itu dengan polosnya.Ya selama ini anak Abah Usman memanggil Gendis dengan sebutan Mama. Gendhis lah yang memintanya sebagai pengobat rasa rindunya kepada almarhum anaknya, Kai."Apakah Paman itu yang membuat Mama Indonesia ku ini sedih? Apakah Paman itu yang membuat Mama Gendis menangis? Kalau iya maka aku akan menjewernya untuk Mama Gendis dan sedikit menasehatinya," kata Maryam dengan bersungguh-sungguh.
Kau dandelion dan aku anginnya"Apa yang ingin kau tanyakan padaku, Gendhis. Tanyakanlah, aku akan menjawab semuanya," perintah Mulki."Kenapa kau pergi begitu saja? Seolah mempermainkan aku! Mulki kau tahu kan? Kau mengerti kan aku adalah wanita yang sangat mudah tersentuh dan terbawa perasaanku sendiri. Kau datang bagaikan pahlawan di tengah aku sedang kesusahan karena Kai. Kau meyakinkan tak hanya aku saja, namun Ibuku juga. Kau dengan baiknya memperlakukan ku seperti orang yang begitu spesial bagimu, di hadapanmu. Tapi mengapa tiba-tiba setelah itu juga kau pergi tanpa berpamitan? Bukankah itu terlalu kejam?" tanya Gendhis sambil mendongakkan kepalanya. Dia baru berani menatap Mulki."Gendis kau salah paham. Sungguh sebnarnya semua tidak seperti yang kau pikirkan. Aku bisa menjelaskan semuanya. Aku akan menjawab kenapa aku pergi begitu saja setelah kepulangan dari sana. Jawabannya karena setelah pulangnya aku dari rumahmu, aku tak sadarkan diri hampir seharian dan sa
RESTU!"Saat bunganya luruh satu demi satu terhempas angin, saat itu pula dia tidak bisa berharap dia akan kembali ke tempatnya dulu. Sama seperti aku sekarang ini Mulki. Tak ingin terjebak dalam kisah masa lalu," sahut Gendhis."Tapi kau lupa bahwa aku adalah angin itu, Gendhis. Aku adalah angin yang pernah kau tantang dan membawamu terbang tinggi menjelajah angkasa. Sekarang angin itu datang untuk menjemputmu kembali pulang. Semua di awali dari Assalamualaikum di Tarim dan di akhiri ucapan Sah di Indonesia. Terimalah aku, Gendhis," pinta Mulki."Tidak semudah itu Mulki, aku tidak bisa menerimamu begitu saja. Banyak hal yang harus dipertimbangkan apalagi untuk ke tahap hubungan menikah. Mulki, menikah itu menyatukan dua keluarga bukan kau dan hanya aku saja," jelas Gendhis."Kita bisa memperjuangkannya sama-sama kan, Gendhis?" usul Mulki. Gendhis menggelengkan kepalanya sambil menangis. Maryam memeluk dengan kuat tubuh Gendhis. Abah Usman menghela napasnya deng
LUKA ITU PERLU WAKTU UNTUK SEMBUH!"Ketika kita memang bisa menikah nanti, maka aku berjanji akan membuatmu nyaman, itu yang pertama. Kau tahu sendiri kan bagaimana aku memperlakukanmu selama ini? Kita hanya perlu mendapatkan restu orang tuaku saja. Ketika nanti kita sudah mendapatkan restu dengan Abah Umi dan Kak Sifa, maka kita bisa menikah dan jika memang kau tidak nyaman dengan keberadaan Kak Sifa nanti dan suaminya maka aku akan mengusulkan kepadamu untuk tidak bertemu dulu. Tapi tidak ada niatku untuk membuatmu seatap dengan kedua orang tuaku, Gendhis. AKU JANJI! Kita tetap akan tinggal terpisah," bujuk Mulki."Tapi apakah kau bisa menerimaku, Gendis? Secara kau tahu sendiri bagaimana keadaanku. Kau tahu sendiri kan dari segi ekonomi tentu aku tidak bisa menyamai mu. Bahkan kau lebih unggul," jelas Mulki."Percayalah wanita itu tak butuh harta ketika dia sudah jatuh cinta. Apalagi aku, tidak pernah memandang lelaki dari segi ekonominya. Tapi aku takut terluka ya, aku takut terlu
INDAHNYA ROMANSA CINTA MASA MUDA"Bah, bolehkan Mulki meminta tolong pada Abah?" tanya Mulki."Apa itu, Nak?" jawab Abah Usman."Tolong bantu Mulki mengatakan niatan baik Mulki menikahi Gendhis pada orang tua Mulki di Indonesia ya, Bah. Jujur saja sebenarnya Mulki percaya dan yakin kedua orang tua Mulki akan memberikan restu itu meskipun tanpa keikhlasan. Setidaknya jika Abah Usman membantu mengatakan pada Abah dan Umi ku, maka mereka akan yakin Gendhis sudah berubah. Dan bagaimana baiknya hubungan ini? Bagaimana cara Mulki agar tak menyakiti hati Mbak Sifa dan tak mengalah juga karena Mulki sungguh menginginkan Gendhis, Bah," jelas Mulki.Mulki sadar jika pernikahan merupakan ikatan sakral yang menyatukan dua insan manusia yang saling mencintai untuk menjalani hidup bersama. Namun perjalanan menuju pernikahan terkadang bisa terhalang oleh tak adanya restu dari orang tua. Dalam Islam, seorang laki-laki dilarang untuk menikahi perempuan tanpa adanya restu orang tua atau wali dari pihak
IDE MENIKAH SIRI!Gendis yang tak tahu apa-apa dan masih bingung pun saling berpandangan memandang Umi Nisa. Umi Nisa pun tersenyum juga. Sungguh indah romansa cinta muda."Apa maksudnya Umi?" tanya Gendis."Mengapa kok bisa mengambil minuman dingin tanpa Mulki minta, Nak?" sahut Umi Nisa."Karena saya tahu dulu memang Mulki menyukai minuman dingin, Umi. Kenapa memangnya, Umi? Benar kan Mulki?" tanya Gendhis."Bahkan saat menjaga almarhum anak saya kayak dulu di rumah sakit, dia juga lebih suka meminum minuman dingin saat selesai makan. Jadi itu sebabnya saya menyimpulkan bahwa Mulki memang lebih suka minum-minuman dingin dan kopi. Tapi kan tak baik minum kopi saat seperti ini apalagi lambung masih kosong hanya makan saat berbuka tadi. Takut asam lambung," ujar Gendis."Dan tanpa sadar melarang Mulki meminum susu jahe hangat karena takut tersedak? Karena jahe pedas? Bukankah itu tanda khawatir?" tanya Umi Nisa. Wajah Gendhis memerah malu."Astagfirullah, Mi. Padahal tadi Gendhis hanya
ANAK PEREMPUANKU DAN SEJUTA MASA LALUNYA!"Kenapa? Kenapa aku yang harus bertanggung jawab atas kebahagiaan Kakak kandungku? Bukankah selama ini kau yang mengecewakan Kakak kandungku, Mas?" ledek Mulki."Mas Rio, Mas Rio. Kau ini aneh dan lucu sekali, kau itu jangan mencari kambing hitam atas rasa cemburumu. Kenapa? Kau masih tak terima kalah dariku? Dari tadi semua ucapan dan pembicaraanmu itu selalu berputar-putar arah! Pembicara kamu sungguh tak jelas seperti itu, kau di sini yang salah tapi kau tak mau mengakui kesalahan," ujar Mulki lirih. Dia tak enak juga jika mama Gendhis mendengarnya.Rio terdiam, dia hanya mengusap wajahnya dengan kasar. Tak lama kemudian Bu Ririn datang dari belakang, sudah tak mengenakan mukena lagi. Hanya mengenakan gamis panjang dan jilbabnya. Tak lama Gendhis menyusul di belakang sang Ibu sambil membawa nampan minuman dan meletakkannya di hadapan Rio."Maaf ya lama," kata Mama Gendis."Oh tidak apa apa, Tante. Kebetulan saya juga baru datang," sahut Mu
KENAPA HARUS AKU YANG BERTANGGUNG JAWAB?Mendengar ucapan Rio itu Gendis terdiam, dia tak mengira Rio akan menilainya seperti itu. Dia cukup kaget meskipun apa yang dikatakan Rio adalah kebenaran. Dia tak mengira serendah itu harga dirinya di hadapan Rio."Apakah sebegitu hina aku di hadapanmu, Mas?" Tanya Gendis dengan mata berkaca-kaca.Rio terdiam diam memandang ke arah wanita yang begitu dia cintai itu, kemudian dia menyadari kesalahannya. Mata cantik itu dulu pasti akan nyalang ketika dia melakukan kesalhan, langsung mendebat tanpa ampun namun sekarang semua sudah berbeda."Dia berubah," batin Rio dalam hati, justru berubahnya Gendhis membuat lelaki itu sedikit ketakutan.Rio meneguk ludahnya dengan kasar dan merutuki kebodohannya sendiri. Ya, karena emosinya tadi dan tak bisa menahannya, sampai dia mengucapkan sesuatu yang mungkin menyakiti hati Gendis. Rio pun melirik Gendhis lagi, wanita itu masih diam. Alih-alih marah justru Gendhis terlihat menyeka air matanya yang mulai
SEHINA ITUKAH AKU DI HADAPANMU, MAS?"Lalu kenapa kau menikah dengan Mulki?" cerca Rio."Aku tidak menikah dengan Mulki!" tegas Gendhis."Gendhis," panggil Mulki lirih, semua menoleh ke arah Mulki. Dengan cepat Gendhis memberikan kode pada lelaki itu, Mulki paham dan diam. Memang kalau di pikir lagi ucapan Gendhis benar, mereka belum menikah tak ada yang salah. "Halah omong kosong!" bentak Mulki."Demi Allah aku tidak menikah dengannya sekarang," sahut Gendhis dengan cepat"Tapi Mulki kan melamarmu," sanggah Rio. Gendhis menghela nafas panjang, sepersekian detik otaknya harus di paksa berpikir secepat mungkin agar dia bisa berkilah namun tak berbohong hanya dengan penyusunan kosakata."Tadinya memang begitu, tetapi aku telah membatalkannya," jawab Gendhis."Membatalkannya? Benarkah? Kau tak berbohong kan? Mengapa kau membatalkannya?" tanya Rio menatap ke arah Mulki dan Gendhis bergantian."Benar Mulki?" selidik Rio. Mulki diam tak menjawab namun dia menganggukkan kepalanya perl
AKU TIDAK MENIKAH DENGAN MULKI!"Allah itu maha pengampun, mungkin doa istrimu, doa mertuamu, atau doa orang tuamu yang dikabulkan Gusti Allah. Bersyukurlah atas itu, jangan sampai kau memiliki pemikiran POLIGAMI lagi!" bentaknya."Lantas kenapa kau berulah lagi? Kenapa kau datang ke sini marah-marah tak jelas seperti ini?" tanya Gendhis."Tak jelas katamu? Hah? Tak jelas? Hahaha!" teriak Rio dengan menatap nyala ke arah Gendis.Entah setan mana yang sedang menyambetnya, dia tiba-tiba maju dan mencengkram dagu Gendis dengan keras, sampai kuku itu sedikit menusuk ke pipi Gendhis. Wanita itu pun meringis kesakitan."Lepaskan!" perintah Mulki. "Tak usah ikut campur!" bentak Rio tanpa menoleh Gendis.Gendhis memberikan kode kedipan mata, membuat Mulki diam. Meski sangat ketakutan, Gendhis berusaha kuat. Jujur saja sekarang dadanya berdetak sangat kencang sekali, dia tak mengira Rio berani sekasar ini. Rio yang pendiam tiba-tiba berubah menjadi arogant bahkan kasar dan cenderung frontal
KETIKA KAU GAGAL JADI MADU KAU MEMBALAS INGIN MENJADI IPARKU!"Bagaimanapun juga dia anakku, Gendis! Tapi konyolnya aku tidak tahu! Aku berhak tahu!" sanggah Rio."Kata siapa? HAH?" bentak Gendhis."Apa maksudmu berkata seperti itu, Gendhis. Bagaimana pun juga aku adalah ayah Kai! Kau tahu itu kan? Sekarang kenapa kau berbicara seolah-olah aku orang asing bagimu dan Kai?" sahut Rio.Tangan Gendhis langsung mengepal, sungguh sakit hatinya sekarang. Marah dan tak terima bergolak menjadi satu dalam hatinya. Dia tak terima kepada sikap Rio, datang tak di undang melukai Mulki, dan sekarang mengatakan bahwa dia memiliki hak atas anaknya. Sedangkan dulu lelaki di hadapannya ini tak bisa memutuskan memberikan kejelasan akta pada putranya. Bahkan dia kembali pada Sifa, istrinya."Sepertinya kau lupa, Mas. Baiklah, aku akan jelaskan," kata Gendhis sambil tersenyum kecut, nada suaranya sudah bergetar menahan tangis dan amarah yang berkumpul menjadi satu."A...apa maksudmu?" tanya Rio dengan nad
DIA ANAKKU! DAN MENINGGAL AKU TAK TAHU!"Semi ustadz?" tanya Rio mengerutkan keningnya."BADJINGAN KAU!" Pekik Rio dalam hatinya.Semakin ke sini dia makin curiga bahwa lelaki itu adalah Mulki. Namun sekali lagi Rio tak ingin tergesa-gesa dulu menyimpulkan. Dia harus mengatur strategi dan taktik agar tak salah jalan. Meskipun dia tak bisa bersama Gendis tetapi jika gadis itu bersama Mulki pun hatinya juga tak rela, menurutnya lebih baik Gendis bersama orang yang tak dia kenal. Dia harus mengumpulkan bukti kuat sebelum mengatakan semua kebenaran ini pada sifa."Mohon maaf Bu Apakah lelaki itu sedikit tinggi mungkin lebih tinggi dari aku dia hobi sekali memakai baju semi Koko begitu kaos tapi bentuknya Koko sedikit putih tetapi tidak terlalu putih juga dan memiliki suara yang sangat kalem sekali benarkah seperti itu tanya Rio mulai menggambarkan ciri-ciri Mulki"Iyo, Mas.""Sik sebentar, Bu. Saya boleh memastikan tidak? Sepertinya yang lelaki itu temanku juga," kata Rio."Ah saya lamat
BADJINGAN KAU!"Apa kau bilang?" tanya Gendis pun mendengus kesal."Entah mengapa tiba-tiba perasaan tak suka mencuat begitu saja, dia tak menyangka jika orang-orang alim yang identik paham dengan agama justru akan melakukan poligami ya meskipun itu tidak disalahkan tapi naluriahnya sebagai seorang wanita tak ingin diduakan."Aku sudah memberikan kesempatan kepada Umi bahwa aku rela dijodohkan dengan siapapun selama wanita itu tahu latar belakangku dan tak ada kebohongan. Dia tahu penyakitku dan dia bisa menerimaku," jelas Mulki."Gendis, kau juga wanita kan? Kau mengerti maksudku. Kau pikir siapa yang mau menikah denganku saat kondisiku seperti ini?" sambungnya."Kau memanfaatkan itu?" tanya Gendhis."Hahaha, bahasamu terlalu jahat. Apalagi aku tidak memanfaatkannya, kau salah, Gendhis. Sebagai orang yang paham tentang agama, aku hanya ingin tak gagal dalam melakukan dan menjalani rumah tangga. Dalam membina sebuah hubungan keluarga aku menginginkan menikah itu langgeng, satu selaman
BERI AKU WAKTU TIGA BULAN!"Jangan pernah memaksa orang tuamu merestuinya. Kalau memang mereka tak ingin anaknya menikah denganku maka aku ikhlas, ini semua bukan salah mereka tapi salahku. Kebodohanku di masa lalu dan sisi egoku," jelas Gendhis."Aku tak masalah jika kau membatalkan. Membatalkan pinangan ini," ujarnya.Mulki terdiam, dia menatap Gendhis dengan tatapan tak percaya. Ya, wanita memanglah begitu, selalu mengedepankan egonya dari pada logikanya. Namun dia tak menduga Gendhis akan langsung menyerah seperti ini. Padahal saat bersama Rio sosok wanita di hadapannya bisa memperjuangkan cinta yang salah."Apa kau berpikir begitu?" tanya Mulki."Ya," jawab Gendhis dengan tegas."Jujur saja ini agak mengecewakan aku," kata Mulki. Gendhis menatap Mulki dengan tatapan bingung dan penuh tanya."Kenapa?" "Ya, bagaimana mungkin dengan mudah kau mengatakan membatalkan lamaran ini? Padahal ini bukan permainan. P
ASSALAMUALAIKUM MANISKU!"Assalamualaikum," sapa Mulki sambil menenteng dua kresek berisi martabak manis dan asin."Waalaikumsalam," sahut Gendhis,"Masuklah, Mulki," perintah Gendhis."Masya Allah manis," kata Mulki."Hah?" sahutnya."Kau manis sekali, manisku," puji Mulki yang otomatis langsung membuat wahag Gendhis merona."Halah aku bisa saja," cebiknya.Gendhis memakai gamis hitam, semenjak ke Tarim dan kondisi berduka Gendhis lebih senang memakai semua pakaian hitam. Termasuk cincin, permata hitam. Antara tanda duka atau tanda yang mencerminkan dirinya sekarang. Meski begitu itu tak mengurangi kecantikan dan aura elegan yang dia tampilkan."Kau sekarang menyukai warna hitam? Itu nampak sangat elegan sekali. Dari pada Gendhis yang biasanya," sambungnya."Kenapa memangnya? Bukankah artinya duka?" jawab Gendhis."Warna hitam memiliki makna simbol yang berbeda bagi setiap orang. Ket