Sepulang dari minimarket Farzana langsung masuk ke dalam kamar dan mengabaikan Umi Kalsum yang memanggil namanya. Perkataan Ammar terus terngiang-ngiang dalam pikiran gadis itu. Ternyata Ammar masih belum menyerah juga. Farzana pikir setelah menolaknya secara halus mungkin saja pria itu akan mundur teratur. Tetapi apa kenyataannya, pria itu malah kian berani mengungkapkan perasaan cintanya. Masalah dengan Boim saja sudah membuat pikirannya serasa meledak. Sekarang ditambah lagi dengan Ammar. Rasanya Farzana ingin kabur saja ke planet lain. Urusan cinta benar-benar membuat kepalanya pusing.Setelah menutup pintu kamar, Farzana langsung merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Sungguh hari yang melelahkan untuk hati dan pikirannya. Inilah yang menjadikan gadis itu enggan menjalin hubungan dengan lawan jenis. Bukannya membuat hidup bahagia malah nestapa yang didapat. Sewaktu perjalanan pulang saja ia hampir terserempet mobil sangking tidak fokus saat berkendara. Untung saja Allah maha
Seorang gadis tersenyum bahagia menatap layar ponsel di ruang tamu. Jari jemarinya begitu lihai mengetikkan kata per kata secara cepat hingga tak sadar akan sekelilingnya. Tepukan dari pundak kanan sontak menyadarkan gadis itu. Awalnya ia terkejut, tapi itu tak bertahan lama. Kepala gadis itu mendongak ke atas guna melihat siapa gerangan orang yang telah mengganggunya. Begitu tahu wajah orang tersebut ia langsung meringis menampilkan deretan gigi putihnya. Ternyata sosok itu tidak lain dan bukan adalah Uminya Nadia. Sambil berkacak pinggang wanita paruh baya itu menatap sang putri dengan sorotan mata tajam“Apa apa Umi?” tanya Nadia.“Ada apa ada apa. Dari tadi umi panggil kamu nggak denger ya?” ucap Uminya kesal.“Umi tadi panggil Nadia?” tanya Nadia dengan polosnya.“Iya, udah 3 kali Umi panggil. Jangan keseringan main hp,” Uminya mengingatkan.“Iya mi maaf. Emangnya ada apa Umi panggil Nadia?” tak mau sang Umi membahas topik itu, buru-buru Nadia mengalihkan pembicaraan.“Umi
Boim tengah dilanda kebingungan yang sangat mendalam. Permintaan Fatimah untuk menjadi asisten pribadinya membuat dirinya resah. Sebenarnya sah-sah saja gadis itu mengajukan diri. Tetapi entah mengapa hati Boim begitu berat untuk menerimanya. Ada ketakutan dalam diri pria itu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Boim seperti bisa merasakan adanya firasat buruk kalau Fatimah menjadi asisten pribadinya. Jadi sekarang dia harus bagaimana? Boim benar-benar dibuat bingung.Sangking bingungnya, pria itu sampai menjambak rambutnya sendiri karena kesal. ‘Oh ya Allah beri aku petunjuk,’ Boim berdoa dalam hati. Apa begini saja, ia akan membujuk Farzana sekali lagi dengan datang langsung ke rumahnya. Mungkin saja sahabatnya itu berubah pikiran. Kalau sampai ditolak lagi, terpaksa Boim menerima tawaran Fatimah. Meskipun harus mengabaikan firasat buruk yang tengah ia rasakan saat ini. Pagi-pagi sekali sekitar jam 8 ia akan ke sana. Dan semoga saja Farzana ada di rumah.Boim bangkit dari dud
Boim melangkah dengan mantap menuju rumah Farzana, hatinya berdebar-debar campur aduk. Hari itu, langit cerah memancarkan sinar hangat di atasnya. Boim merenung sejenak tentang misinya, yaitu meyakinkan Farzana untuk menjadi asisten pribadinya. Dia yakin bahwa kehadiran Farzana akan memberikan nuansa baru dalam setiap ceramahnya, membuat pesannya lebih mendalam dan menyentuh di hati pendengar.Ketika kaki Boim sampai di ambang pintu keluar, dari arah belakang terdengar suara orang terbatuk-batuk. Siapa lagi orang itu kalau bukan Abi Thalib, ayahnya Boim. Sang ayah berjalan mendekat ke arah putranya dan hendak bertanya."Kamu mau pergi ke mana pagi-pagi gini?" tanyanya.Boim garuk-garuk kepala karena merasa grogi jika harus menjawab ingin ke rumah Farzana."Hhhhmm anu Abi, Boim mau...,""Pasti Abang mau ke rumahnya calon mantu umi ya?" sela Umi Salma yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi dua cangkir kopi."Kok umi tahu?" tanya Boim kepada Umi Salma."Ya i
Farzana yang tengah menata rak pembalut tiba-tiba merasa terkejut mendengar suara seseorang berteriak dari arah meja kasir. Ia pun menghentikan aktivitasnya lalu berjalan ke arah sana. Begitu keluar dan melihat sosoknya, Farzana tak menduga ternyata sang pembeli itu adalah Boim. Bagaimana ini, apakah dia lari saja? Akan tetapi kalau ia melakukan hal itu sama saja melalaikan tugasnya. Dengan terpaksa Farzana pun menghampiri Boim. Pada saat itu Boim sedang berdiri di depan meja kasir membelakangi Farzana. Jadi pria itu tidak kalau petugas kasir yang ia panggil adalah sahabatnya sendiri. Ketika terdengar suara langkah kaki mendekat Boim pun berbalik. Ia syok melihat Farzana mengenakan kaos berkerah berwarna merah dan bawahan celana hitam yang notabene seragam petugas minimarket. Gadis itu santai saja berjalan ke arah meja kasir dan tidak memedulikan tatapan mata Boim yang tengah menatapnya intens. "Bisa saya lihat belanjaannya, pak?" kata Farzana yang memecah keheningan.Boim yang
Farzana merasa jengah dengan Boim yang selalu mengikuti langkahnya kemanapun. Dari satu rak ke rak yang lain pria itu tetap setia membuntuti sang pujaan hati. Sementara Boim sibuk mengekor bagai anak ayam, Farzana tengah sibuk memilah-milah barang yang sudah tak layak jual. Sesekali Boim juga ikut membantu dengan menangkapi setiap barang yang dilempar oleh Farzana. Sebenarnya itu adalah salah satu cara untuk membuat Boim kesal dan segera pergi. Akan tetapi sepertinya pria itu tak terpengaruh sedikit pun. Malahan senyum bahagia menghiasi wajah tampannya.Farzana sempat melirik Boim sebentar. Dan benar saja, pria itu menatapnya dengan binar mata penuh kebahagiaan. Entah mengapa saat melihat hal itu tiba-tiba jantungnya berdetak tak karuan. Seperti ada sengatan listrik aneh menjalari setiap bagian tubuhnya. Farzana juga merasa gugup luar biasa. Bahkan keringat dingin pun mulai membasahi pelipisnya. Hijab yang dipakai gadis itu pun sampai basah karena keringat yang menetes setitik demi
Peluh keringat membasahi kepala Farzana yang tertutup hijab. Gerakan tangan Boim makin lama makin cepat memilin dua gundukan besar milik gadis itu. Bahkan saat jari jemarinya memutar-mutar puting kecil menggoda itu kian membuat Farzana kehabisan tenaga. Dan erangan keras pun tak terelakkan lagi. Beruntung toilet perempuan yang ditempati kedua insan itu kedap suara. Jadi tidak akan ada satupun orang mendengar teriakan penuh desahan yang terjadi di dalamnya. Awalnya memang terasa sakit bagi Farzana. Namun lama kelamaan ia mulai menikmati permainan tangan Boim di kedua payudaranya. Entahlah, pijatan itu terasa nyaman dan membuat ketagihan setengah mati. Ia berharap bisa merasakannya lagi dan lagi. Dan saat Boim menghentikan gerakannya, Farzana mendesah kecewa. Kedua mata yang tadinya terpejam perlahan membuka menampilkan ekspresi puppy-eyes yang mengiba. Boim mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Farzana dan hendak membisikkan sesuatu.“Mau lagi sayang?” tanyanya.Tak mau membuang k
Ketika Boim keluar dari minimarket, sepasang mata melihatnya dari kejauhan. Orang tersebut tidak lain dan bukan adalah Fatimah. Semenjak Boim berada di dalam sampai akhirnya keluar, gadis itu terus berdiri di seberang jalan mengamati sedari tadi. Ia bahkan cukup terkejut dengan siapa Boim bertemu. Siapa lagi kalau bukan menemui Farzana Nazia. Musuh bebuyutan sekaligus rival terberatnya. Meskipun gadis itu sudah keluar dari Masjid Al-Ghifari, Boim masih saja mengejarnya. Hal ini pula yang membuat Fatimah semakin benci dengan si gadis tomboy itu. Kenapa harus dia yang mendapatkan perhatian Boim? Kenapa bukan dirinya? pikir Fatimah.Kedua tangan Fatimah mengepal kuat mencoba menahan amarah yang sejak dari tadi ingin ia lampiaskan. Melihat gadis tomboy itu duduk di meja kasir dengan senyum merekah membuatnya kian kesal. Sudah bisa dipastikan bahwa Farzana memiliki perasaan yang sama seperti Boim. Ekspresi di wajahnya yang tersenyum bahagia adalah buktinya. Sesama wanita Fatimah bisa mer