Seorang gadis tersenyum bahagia menatap layar ponsel di ruang tamu. Jari jemarinya begitu lihai mengetikkan kata per kata secara cepat hingga tak sadar akan sekelilingnya. Tepukan dari pundak kanan sontak menyadarkan gadis itu. Awalnya ia terkejut, tapi itu tak bertahan lama. Kepala gadis itu mendongak ke atas guna melihat siapa gerangan orang yang telah mengganggunya. Begitu tahu wajah orang tersebut ia langsung meringis menampilkan deretan gigi putihnya. Ternyata sosok itu tidak lain dan bukan adalah Uminya Nadia. Sambil berkacak pinggang wanita paruh baya itu menatap sang putri dengan sorotan mata tajam“Apa apa Umi?” tanya Nadia.“Ada apa ada apa. Dari tadi umi panggil kamu nggak denger ya?” ucap Uminya kesal.“Umi tadi panggil Nadia?” tanya Nadia dengan polosnya.“Iya, udah 3 kali Umi panggil. Jangan keseringan main hp,” Uminya mengingatkan.“Iya mi maaf. Emangnya ada apa Umi panggil Nadia?” tak mau sang Umi membahas topik itu, buru-buru Nadia mengalihkan pembicaraan.“Umi
Boim tengah dilanda kebingungan yang sangat mendalam. Permintaan Fatimah untuk menjadi asisten pribadinya membuat dirinya resah. Sebenarnya sah-sah saja gadis itu mengajukan diri. Tetapi entah mengapa hati Boim begitu berat untuk menerimanya. Ada ketakutan dalam diri pria itu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Boim seperti bisa merasakan adanya firasat buruk kalau Fatimah menjadi asisten pribadinya. Jadi sekarang dia harus bagaimana? Boim benar-benar dibuat bingung.Sangking bingungnya, pria itu sampai menjambak rambutnya sendiri karena kesal. ‘Oh ya Allah beri aku petunjuk,’ Boim berdoa dalam hati. Apa begini saja, ia akan membujuk Farzana sekali lagi dengan datang langsung ke rumahnya. Mungkin saja sahabatnya itu berubah pikiran. Kalau sampai ditolak lagi, terpaksa Boim menerima tawaran Fatimah. Meskipun harus mengabaikan firasat buruk yang tengah ia rasakan saat ini. Pagi-pagi sekali sekitar jam 8 ia akan ke sana. Dan semoga saja Farzana ada di rumah.Boim bangkit dari dud
Boim melangkah dengan mantap menuju rumah Farzana, hatinya berdebar-debar campur aduk. Hari itu, langit cerah memancarkan sinar hangat di atasnya. Boim merenung sejenak tentang misinya, yaitu meyakinkan Farzana untuk menjadi asisten pribadinya. Dia yakin bahwa kehadiran Farzana akan memberikan nuansa baru dalam setiap ceramahnya, membuat pesannya lebih mendalam dan menyentuh di hati pendengar.Ketika kaki Boim sampai di ambang pintu keluar, dari arah belakang terdengar suara orang terbatuk-batuk. Siapa lagi orang itu kalau bukan Abi Thalib, ayahnya Boim. Sang ayah berjalan mendekat ke arah putranya dan hendak bertanya."Kamu mau pergi ke mana pagi-pagi gini?" tanyanya.Boim garuk-garuk kepala karena merasa grogi jika harus menjawab ingin ke rumah Farzana."Hhhhmm anu Abi, Boim mau...,""Pasti Abang mau ke rumahnya calon mantu umi ya?" sela Umi Salma yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi dua cangkir kopi."Kok umi tahu?" tanya Boim kepada Umi Salma."Ya i
Farzana yang tengah menata rak pembalut tiba-tiba merasa terkejut mendengar suara seseorang berteriak dari arah meja kasir. Ia pun menghentikan aktivitasnya lalu berjalan ke arah sana. Begitu keluar dan melihat sosoknya, Farzana tak menduga ternyata sang pembeli itu adalah Boim. Bagaimana ini, apakah dia lari saja? Akan tetapi kalau ia melakukan hal itu sama saja melalaikan tugasnya. Dengan terpaksa Farzana pun menghampiri Boim. Pada saat itu Boim sedang berdiri di depan meja kasir membelakangi Farzana. Jadi pria itu tidak kalau petugas kasir yang ia panggil adalah sahabatnya sendiri. Ketika terdengar suara langkah kaki mendekat Boim pun berbalik. Ia syok melihat Farzana mengenakan kaos berkerah berwarna merah dan bawahan celana hitam yang notabene seragam petugas minimarket. Gadis itu santai saja berjalan ke arah meja kasir dan tidak memedulikan tatapan mata Boim yang tengah menatapnya intens. "Bisa saya lihat belanjaannya, pak?" kata Farzana yang memecah keheningan.Boim yang
Farzana merasa jengah dengan Boim yang selalu mengikuti langkahnya kemanapun. Dari satu rak ke rak yang lain pria itu tetap setia membuntuti sang pujaan hati. Sementara Boim sibuk mengekor bagai anak ayam, Farzana tengah sibuk memilah-milah barang yang sudah tak layak jual. Sesekali Boim juga ikut membantu dengan menangkapi setiap barang yang dilempar oleh Farzana. Sebenarnya itu adalah salah satu cara untuk membuat Boim kesal dan segera pergi. Akan tetapi sepertinya pria itu tak terpengaruh sedikit pun. Malahan senyum bahagia menghiasi wajah tampannya.Farzana sempat melirik Boim sebentar. Dan benar saja, pria itu menatapnya dengan binar mata penuh kebahagiaan. Entah mengapa saat melihat hal itu tiba-tiba jantungnya berdetak tak karuan. Seperti ada sengatan listrik aneh menjalari setiap bagian tubuhnya. Farzana juga merasa gugup luar biasa. Bahkan keringat dingin pun mulai membasahi pelipisnya. Hijab yang dipakai gadis itu pun sampai basah karena keringat yang menetes setitik demi
Peluh keringat membasahi kepala Farzana yang tertutup hijab. Gerakan tangan Boim makin lama makin cepat memilin dua gundukan besar milik gadis itu. Bahkan saat jari jemarinya memutar-mutar puting kecil menggoda itu kian membuat Farzana kehabisan tenaga. Dan erangan keras pun tak terelakkan lagi. Beruntung toilet perempuan yang ditempati kedua insan itu kedap suara. Jadi tidak akan ada satupun orang mendengar teriakan penuh desahan yang terjadi di dalamnya. Awalnya memang terasa sakit bagi Farzana. Namun lama kelamaan ia mulai menikmati permainan tangan Boim di kedua payudaranya. Entahlah, pijatan itu terasa nyaman dan membuat ketagihan setengah mati. Ia berharap bisa merasakannya lagi dan lagi. Dan saat Boim menghentikan gerakannya, Farzana mendesah kecewa. Kedua mata yang tadinya terpejam perlahan membuka menampilkan ekspresi puppy-eyes yang mengiba. Boim mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Farzana dan hendak membisikkan sesuatu.“Mau lagi sayang?” tanyanya.Tak mau membuang k
Ketika Boim keluar dari minimarket, sepasang mata melihatnya dari kejauhan. Orang tersebut tidak lain dan bukan adalah Fatimah. Semenjak Boim berada di dalam sampai akhirnya keluar, gadis itu terus berdiri di seberang jalan mengamati sedari tadi. Ia bahkan cukup terkejut dengan siapa Boim bertemu. Siapa lagi kalau bukan menemui Farzana Nazia. Musuh bebuyutan sekaligus rival terberatnya. Meskipun gadis itu sudah keluar dari Masjid Al-Ghifari, Boim masih saja mengejarnya. Hal ini pula yang membuat Fatimah semakin benci dengan si gadis tomboy itu. Kenapa harus dia yang mendapatkan perhatian Boim? Kenapa bukan dirinya? pikir Fatimah.Kedua tangan Fatimah mengepal kuat mencoba menahan amarah yang sejak dari tadi ingin ia lampiaskan. Melihat gadis tomboy itu duduk di meja kasir dengan senyum merekah membuatnya kian kesal. Sudah bisa dipastikan bahwa Farzana memiliki perasaan yang sama seperti Boim. Ekspresi di wajahnya yang tersenyum bahagia adalah buktinya. Sesama wanita Fatimah bisa mer
Fatimah menghampiri seorang pria yang baru saja masuk ke area parkir Masjid Al-Ghifari. Sangking tak sabarnya ia sampai berlari hingga tak memedulikan panggilan Nadia. Dengan nafas terengah-engah Nadia mengejar Fatimah. Ia sangat kesal hanya karena sahabatnya itu tak mau menunggui dirinya sebentar saja. Alhasil, Nadia pun harus lari secepat mungkin agar tak tertinggal jauh. Apalagi lorong masjid Al-Ghifari lumayan panjang. Untuk sampai di tempat parkir saja harus menempuh jarak 200 meter. Mengingat masjid tersebut adalah masjid terbesar di Kota Malang dengan desain bangunannya menyerupai Masjid Hagia Shopia di Turki.Sesampainya di tempat parkir, baik Fatimah maupun Nadia langsung menghampiri seorang pria yang tengah memarkirkan sepeda motor sportnya. Ketika selesai dan si pria membuka helm full face-nya, Fatimah mendesah kecewa. Ternyata pria itu bukanlah Boim. Akan tetapi Pak Idris, ayahnya Ahmad. Salah satu murid bimbingan Fatimah. Pak Idris tersenyum kepada dua orang gadis yang
"Kamu kenapa Fat?" Fatimah langsung mendongakkan kepala saat ada seseorang bertanya kepadanya. "Ustaz Boim," panggil Fatimah seraya bangkit dari duduknya."Kamu habis menangis?" Boim bertanya tentang hal itu karena mata Fatimah terlihat bengkak seperti habis menangis."Eh, enggak. Mata saya tadi kelilipan saja kok ustaz," aku Fatimah bohong sambil menyeka tetesan air mata yang keluar."Jangan bohong. Saya tahu kamu habis menangis. Coba cerita, mungkin dengan kamu cerita kepada saya bisa mengurangi beban kamu," pinta Boim sembari tangannya merogoh saku gamis putihnya hendak mencari sesuatu.Fatimah tak langsung menjawab dan memilih diam dengan kepala tertunduk melihat ke arah lantai yang dihiasi ubin warna-warni. 'Bagaimana mau cerita kalau sumber kesedihan aku adalah kamu,' Fatimah membatin.Menurut gadis itu sungguh lucu ketika Boim meminta dirinya untuk menceritakan masalah yang tengah dihadapinya. Pria itu gak tahu saja, bahwa dirinyalah sumber kesedihan Fatimah. Maka dari
Setelah menyelesaikan sarapan pagi, baik Farzana dan Umi Kalsum hendak berangkat ke Kajian Boim yang ada di Masjid Padang Mahsyar Kota Batu. Namun sebelum itu Farzana harus menunggu sang ibu selesai berdandan. Jadinya sekarang gadis itu tengah terduduk diam sambil menonton televisi. Beberapa kali ia sempat menghela nafas karena kesal sang ibu sedari tadi tak kunjung keluar. Sudah lebih dari 1 jam ia menunggu. Hampir saja kehilangan kesabaran dan hendak menghampiri kamar sang ibu, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Senyum merekah pun menghiasi wajah cantik Farzana. Akhirnya, setelah sekian purnama orang yang ditunggu muncul juga. Menurut Farzana sang ibu terlibat begitu cantik mengenakan gamis warna hitam dan kerudung syar'i warna senada. Sungguh tidak seperti wanita paruh baya dan justru tampak awet muda.Ketika sang ibu datang menghampiri, Farzana bersiul riang menggodanya. Wajah cemberut pun langsung tampak di wajah Umi Kalsum. Sambil memasukkan barang bawaannya ke dalam tas
"Fat, acaranya dimulai jam berapa?" tanya Boim yang kini sedang duduk di ruang panitia menunggu gilirannya mengisi ceramah."Masih 2 jam lagi ustaz," jawab Fatimah sambil melihat jam tangan. "Kalau begitu aku tak keluar sebentar ya," karena sesi dirinya masih lama, Boim berniat pergi keluar."Mau ke mana Ustaz?" tanya Fatimah yang tak rela ditinggalkan Boim sendirian."Jalan-jalan aja sebentar," jawab Boim seraya bangkit dari duduknya."Mau saya temani Ustaz?" tanya Fatimah sembari ikut berdiri juga."Tidak perlu. Kamu disini saja. Nanti kalau panitia cari saya gimana. Tenang saja, saya nggak akan lama. Nanti kalau ada apa-apa kamu bisa telepon saya kan?" kata Boim memberi pengertian. Sebenarnya ia sengaja pergi keluar karena ingin menelepon Farzana. Ia ingin memastikan apakah sang pujaan hati sudah berangkat apa belum? Kalau ia menelepon di depan Fatimah pasti suasana berubah canggung. Apalagi Fatimah punya perasaan kepadanya. Ia takut menyakiti hati gadis itu. "Ta-ta-pi,
Gamis warna hijau muda yang dengan kerudung warna senada terlihat begitu cantik dikenakan oleh Farzana. Pancaran sinar bak seorang putri raja memang pantas disandangkan kepada dirinya. Dengan polesan make up tipis saja ia tampak mempesona. Setiap mata yang memandang pasti tak akan mau memalingkan tatapan matanya barang sedetik. Benar apa kata orang, gadis tomboy kalau sudah dandan memang membuat siapapun pangling. Farzana saja hampir tak mengenal bayangan dirinya ketika bercermin di depan kaca riasnya. Ia merasa sosok yang dilihatnya di depan cermin bukanlah dirinya. Ia seperti melihat bayangan orang lain. Ia sungguh tak percaya bahwa itu memang dirinya. Beberapa kali gadis itu mencubit pipinya untuk mengetahui apakah ini mimpi atau tidak. Dan ternyata semua ini nyata. Ia memang tidak sedang bermimpi.Untuk keluar kamar ia sedikit ragu. Takut jikalau sang ibu sampai pingsan ketika melihat penampilannya. Tahu sendiri kan, Umi Kalsum itu mudah kagetan. Kalau sudah terkejut pasti lang
BoimJangan lupa hari ini datang ke kajian ya sayang.Melihat pesan yang dikirimkan Boim lewat aplikasi WhatsApp membuat Farzana senyum-senyum sendiri. Isinya sih biasa saja. Akan tetapi panggilan kata 'sayang' itu serasa mampu memompa jantungnya agar berdetak lebih kencang. Beruntung Boim tidak ada di hadapannya sekarang ini. Kalau iya, bisa dipastikan Farzana malu semalu-malunya. Mau ditaruh dimana muka ini kalau Boim sampai tahu. Ah, tak dapat dibayangkan. Dan Farzana juga tak mau membayangkan hal itu. Sontak gadis itu menepuk-nepuk pipi untuk mengembalikan kewarasan diri sendiri. Tekadnya sudah bulat dan tak boleh dibantah. Ia harus menghilangkan perasaan cintanya. Apapun akan ia lakukan. Salah satunya dengan mengabaikan pesan Boim. Dan sudah diputuskan, ia juga tak akan menghadiri kajian pria itu.Selesai membaca pesan Boim, Farzana langsung menghapusnya. Kemudian ia melempar ponsel miliknya ke sembarang arah di atas tempat tidur. Selanjutnya ia merebahkan diri dengan tidur terl
Dua insan tengah terdiam sambil memakan makanannya masing-masing. Suasana hening menyelimuti ruang makan dan hanya terdengar denting sendok dan garpu saling beradu. Kedua orang itu mengunci rapat mulutnya dan enggan membuka sepatah kata apapun. Sebenarnya sang pria sesekali mencuri-curi pandang kepada sang wanita yang sedang terduduk di depannya. Dan sudah beberapa kali juga ia berdehem cukup keras guna mencairkan suasana yang penuh kecanggungan. Tetapi apa mau dikata, sang wanita bersikap acuh tak acuh dan sengaja menulikan pendengarannya. Ia tahu sang pria ingin mengajaknya berbicara. Sayang, untuk saat ini ia sedang tak ingin meladeni sang pria. Dia hanya ingin menghabiskan sarapannya dan bergegas pergi dari ruang makan.Setelah piring sang wanita bersih dari sisa-sisa makanan, Ia langsung berdiri kemudian melangkah menuju dapur sambil membawa piring di tangannya. Sang pria juga tak mau ketinggalan. Ia melahap habis makanan di piringnya dengan cepat agar bisa menyusul sang wanit
"Eh eh eh eh sudah, cukup!" ucap seorang gadis dengan nafas terengah-engah yang sedang tiduran di atas kasur king size berwarna putih.Peluh keringat membasahi dahi beserta rambut panjangnya. Ia sudah tak tahan lagi dan ingin segera menghentikan semua kegilaan ini. Tubuh kecil nan ringkih itu sungguh tak berdaya untuk sekedar melawan perlakuan buruk dari seorang pria yang telah berani menjamah dua gundukan besar di dadanya. Ingin sekali rasanya ia mencakar wajah pria itu. Sayang seribu sayang, kedua tangannya tak mampu bergerak karena pria itu mencengkeram begitu kuat. Gadis itu pun hanya bisa pasrah sampai sang pria mencapai tingkat kepuasannya. Sudah lebih dari 1 jam lamanya ia menjadi pelampiasan nafsu pria itu. Tubuhnya terasa remuk dan tak mampu untuk digerakkan. Kedua kaki dan tangan merasakan keram yang begitu hebat karena terlalu lama dalam posisi berbaring. Ia terus meminta kepada sang pria agar berhenti. Akan tetapi sang pria kian gencar melancarkan aksinya dan tak memedu
Suara dering ponsel yang bergetar di atas meja belajar membuyarkan lamunan Boim. Ia pun bangun dari tidurnya lalu turun dari ranjang hendak mengambil ponsel tersebut. Pada layar tertera nama Fatimah. Dahi langsung Boim berkerut heran, tak biasanya gadis itu menelepon dirinya di hari Minggu. Sebenarnya Boim enggan menjawab karena ia tak suka hari liburnya diganggu. Namun hatinya berkata lain, pasti ada suatu hal penting sehingga membuat Fatimah terpaksa meneleponnya. Apalagi di pagi-pagi buta seperti sekarang. Dengan terpaksa akhirnya Boim menekan tombol panggil. "Assalamualaikum Fatimah," salam Boim."Waalaikumsalam Ustaz," jawab Fatimah di seberang telepon sana."Ada apa Fat, kamu telepon aku?" tanya Boim."Begini Ustaz. Tadi takmir Masjid Padang Makhsyar Kota Batu menelepon saya. Katanya jadwal kajian Ustaz untuk hari Senin besok diganti hari Selasa. Apakah Ustaz bisa kalau hari itu?" jelas Fatimah dengan nada bicara lemah lembutnya."Iya saya bisa. Beritahu beliau saya akan
Setelah Fatimah menjadi asisten pribadinya, Boim merasa terbantu. Kini pengaturan jadwal ceramah telah tertata rapi dan tak berantakan seperti dulu. Ia pun jadi punya banyak waktu untuk mengunjungi Farzana. Meskipun tanggapan gadis itu masih sama saja. Tetap dingin, cuek, dan judes. Tetapi tak jadi masalah bagi Boim. Ia tahu dibalik sikap tak bersahabat itu ada secercah rasa perhatian yang memang sengaja disembunyikan. Kan tahu sendiri, seorang Farzana Nazia memang punya tingkat gengsi selangit. Mumpung hari ini Minggu dan Fatimah juga mengabarkan tidak ada jadwal ceramah, Boim pun berencana mengunjungi rumah Farzana. Tujuannya tidak lain ingin mengajak sahabatnya itu joging bersama. Apalagi sudah lama mereka jarang keluar berdua. Pokoknya hari ini ia akan menghabiskan waktu liburan bersama Farzana. Dan tak seorang pun bisa mencegahnya. Kerinduan yang teramat dalam sudah menggerogoti relung hatinya. Akibat acara ceramah di luar kota beberapa minggu lalu, ia terpaksa berpisah sebent