"Kamu kenapa Fat?" Fatimah langsung mendongakkan kepala saat ada seseorang bertanya kepadanya. "Ustaz Boim," panggil Fatimah seraya bangkit dari duduknya."Kamu habis menangis?" Boim bertanya tentang hal itu karena mata Fatimah terlihat bengkak seperti habis menangis."Eh, enggak. Mata saya tadi kelilipan saja kok ustaz," aku Fatimah bohong sambil menyeka tetesan air mata yang keluar."Jangan bohong. Saya tahu kamu habis menangis. Coba cerita, mungkin dengan kamu cerita kepada saya bisa mengurangi beban kamu," pinta Boim sembari tangannya merogoh saku gamis putihnya hendak mencari sesuatu.Fatimah tak langsung menjawab dan memilih diam dengan kepala tertunduk melihat ke arah lantai yang dihiasi ubin warna-warni. 'Bagaimana mau cerita kalau sumber kesedihan aku adalah kamu,' Fatimah membatin.Menurut gadis itu sungguh lucu ketika Boim meminta dirinya untuk menceritakan masalah yang tengah dihadapinya. Pria itu gak tahu saja, bahwa dirinyalah sumber kesedihan Fatimah. Maka dari
“Akhirnya hari ini kamu resmi jadi istri saya,” ucap seorang lelaki dengan paras nan rupawan sambil tersenyum lembut. Laki-laki tersebut meraih lalu mencium punggung tangan dari wanita dengan pakaian pengantin serba putih yang indah di sampingnya. Gerakan laki-laki itu terasa begitu hangat, seolah mencurahkan betapa besar cintanya pada sang pujaan hati.Tatapan mata yang begitu intens dari manik hitam milik laki-laki tadi, membuat sang mempelai wanita di hadapannya membatu seperti manusia yang disihir menjadi patung. Ekspresi wajah cantik milik wanita itu bercampur aduk. Tersirat berbagai emosi dari sana. Dari bingung, terharu, malu, terkejut, takut, tetapi juga ada gulungan kebahagiaan yang menggelora di dalam hatinya.“B-Boim? I-ini beneran?” tanya sang mempelai wanita yang biasa dipanggil Farzana dengan gagap.Laki-laki yang dikatakan telah resmi menjadi suaminya itu tidak menjawab, tetapi hanya tersenyum lembut sambil terus menatap Farzana lekat.“Wah … ini pasti cuman mimpi, kan
Kokok ayam jantan berbunyi dengan gagah berani. Bulan telah tenggelam dan matahari akan segera terbit. Ribuan bintang pun mulai menyembunyikan diri di balik atmosfer Bumi. Dalam naungan langit subuh, Farzana terbangun dari lelapnya mimpi dengan raut wajah bercampur aduk.“Ya Allah … kenapa hamba-Mu ini mimpiin Boim lagi? Apa ini gejala penyakit baru? A-atau sebuah pertanda?” Farzana menepuk kedua pipinya yang terasa hangat. Bayangan gagah Boim dalam setelan jas hitam masih terbayang.Sudah beberapa minggu Farzana terjebak dalam keadaan ini, sampai-sampai dirinya hampir tidak bisa mengelak lagi gejolak rasa asing yang telah bersemayam di dalam dada.TRING!Dering notifikasi khusus jika Boim mengirimkan pesan berhasil membuyarkan lamunan Farzana. Gadis itu segera meraih benda pipih yang tergeletak di atas nakas di samping kasurnya.“Assalamu’alaikum wahai Ukthi, sudah bangun?” Isi pesan dari BoimSahabatnya itu setahu Farzana adalah satu dari sekian manusia yang jarang sekali meme
“Serta … semoga Engkau memberikan hamba petunjuk dan tolong kuatkan hamba ya Allah, aamiin,” tutup Farzana dalam salat subuhnya dengan sangat khusyuk. Raut wajah Farzana tampak cukup buruk.Bagaimana tidak? Malam ini Farzana bermimpi hal yang menurutnya sangat mengerikan. Itu adalah mimpi buruk yang lebih menakutkan daripada mimpi dikejar oleh setan. Tema mimpi Farzana biasanya adalah keluarga bahagia dengan Boim, tetapi khusus malam tadi ia melihat Boim duduk bersanding bersama wanita lain yang tidak lain dan tidak bukan adalah Fatimah di atas pelaminan.Berusaha menepis segala pikiran kalutnya, Farzana langsung bersiap di kala pagi buta. Ia mandi, sarapan, dan membersihkan rumah lalu segera mengganti pakaian dengan celana dan tunik. Hal ini Farzana putuskan karena tadi malam ia mendapat pesan dari divisi humas, kalau mereka kekurangan orang dalam mengantar proposal dan jadilah Farzana yang turun tangan setelah meminta izin dari Boim. Sebenarnya Farzana sedikit tidak menyangka pesann
“Masya Allah … terima kasih banyak, ya, Ustadz Boim udah nolongin anak Umi,” lirih wanita paruh baya itu sambil melepaskan pelukan eratnya. Ia lalu menggenggam kedua tangan Boim. “Nanti kapan-kapan mampir ke rumah, Umi mau masak buat Ustaz Boim sebagai tanda terima kasih. Kalau gak ada Ustaz Boim, Umi gak tahu lagi siapa yang bisa dipercaya buat jaga Zana.”“Ahaha … iya Umi, gak usah repot-repot. Ini emang udah jadi tugas saya buat jaga Zana. Malahan saya mau minta maaf sama Umi, soalnya karena saya lalai, Zana jadi terluka kaya gini.”Mengibas tangan, Umi Kalsum menggeleng pelan. “Ustaz sama Umi tahu sendiri gimana cerobohnya Zana.”“Umi!” seru Farzana yang sudah tidak tahan melihat ibunya mempermalukan anaknya sendiri, apalagi di hadapan Boim. “Anak Umi itu sebenarnya siapa? Yang sakit juga di sini, bukan Ustaz Boim,” keluh Farzana berusaha mengalihkan pembicaraan.“Ya, Umi udah tahu kamu baik-baik aja, makanya Umi mau berterima kasih sama Ustaz Boim lebih dulu.”Umi mendekati F
“Oh, jadi kalau kita mau minta sesuatu sama Allah itu harus jelas banget?” Farzana mengulangi kalimat yang diterangkan oleh Boim barusan.Laki-laki yang sengaja memperlambat langkah demi kenyamanan Farzana itu mengangguk pelan. “Misal kamu mau minta sesuatu … jelasin ke Allah kondisi lengkapnya seperti apa, jam berapa, tanggal, bulan, dan tahun berapa. Itu semua harus kamu sebutin kalau kamu mau do’a kamu gak meleset ke mana-mana.”“Tapi kan, Allah Maha Mengetahui.”“Zana … Allah memang Maha Mengetahui, tapi gak gitu konsepnya.”“Memangnya gimana?”“Coba deh, kamu minta buah Apel sama Umi … orang yang mengandung, melahirkan, dan ngebesarin kamu. Kamu udah mikir, ‘Ah, ini pasti Umi tahu aku mau buah apa, jadi minta buah ajalah, gak usah disebutin apelnya biar gak ribet’, tapi pada kenyataanya gak gitu, kan? Kamu gak tahu kalau Umi punya ribuan buah, dan setelah memperhitungkan baik dan buruknya, Umi ngasih kamu buah Mangga. Kamu jadi gak terima, padahal itu bukan salah Umi kamu.”
Langit cerah menyinari setiap insan yang tengah terlelap dalam dunia mimpi. Secercah cahaya sang mentari menembus ke setiap celah sudut-sudut ruangan di rumah minimalis berlantai dua. Tepat di sebuah kamar bernuansa abu-abu terlihat seorang pangeran tidur telungkup tertutup selimut tebal. Kepalanya miring ke kanan sementara tangan kiri menjuntai ke bawah dan tangan kanan terlentang di atas tempat tidur. Menurut orang malas itu posisi tidur paling enak.Sayang, tidur nyenyak sang pangeran tak bertahan lama. Dibalik pintu bercat putih terdengar suara teriakan seorang perempuan diiringi gedoran pintu sangat keras. Sudah 3 kali suara itu berteriak meminta dibukakan pintu. Namun sang pangeran tak menghiraukannya sama sekali. Dia masih tetap nyaman dalam posisi tidur. Entah telinganya tersumbat apa? Seolah suara keras itu tak terdengar olehnya.Akan tetapi saat suara ponsel berdering, sang pangeran langsung terbangun dari tidurnya. Matanya yang tertutup mendadak terbuka lebar dan secepat
Gadis itu keluar rumah seorang diri tanpa menghiraukan ajakan temannya. Ia terus melangkah menuju sebuah tempat yang dihuni oleh sang pujaan hati. Hatinya terasa berbunga-bunga karena tak sabar ingin memberikan hasil kreasi masakan spesialnya. Senyum bahagia tak pernah lepas dari wajah cantiknya. Meski tertutup oleh selembar kain, tetapi mata yang bersinar cerah dapat menunjukkan bahwa si gadis itu tengah berbahagia. Sahabatnya yang berjalan mengekor di belakang sampai geleng-geleng kepala karena heran. ‘Cuma nganter makanan saja kamu udah sesenang ini, apalagi kalau udah lihat wajahnya!’ batin sang sahabat. Dikarenakan keasyikan melamun, sahabat gadis itu tanpa sengaja menubruk dahi sang gadis yang tiba-tiba saja membalikkan badan.“Aduhhhh!” pekik kedua orang itu.“Fatimah, sakit tahu!” gerutu sang sahabat karena merasa kesakitan di bagian dahinya.“Maaf, maaf, maaf. Kamu enggak apa-apa kan, Nad?” tanya Fatimah sambil ikut mengelus dahi Nadia.“Nggak apa-apa kok. Tapi ya git