“Masya Allah … terima kasih banyak, ya, Ustadz Boim udah nolongin anak Umi,” lirih wanita paruh baya itu sambil melepaskan pelukan eratnya. Ia lalu menggenggam kedua tangan Boim. “Nanti kapan-kapan mampir ke rumah, Umi mau masak buat Ustaz Boim sebagai tanda terima kasih. Kalau gak ada Ustaz Boim, Umi gak tahu lagi siapa yang bisa dipercaya buat jaga Zana.”
“Ahaha … iya Umi, gak usah repot-repot. Ini emang udah jadi tugas saya buat jaga Zana. Malahan saya mau minta maaf sama Umi, soalnya karena saya lalai, Zana jadi terluka kaya gini.”Mengibas tangan, Umi Kalsum menggeleng pelan. “Ustaz sama Umi tahu sendiri gimana cerobohnya Zana.”“Umi!” seru Farzana yang sudah tidak tahan melihat ibunya mempermalukan anaknya sendiri, apalagi di hadapan Boim. “Anak Umi itu sebenarnya siapa? Yang sakit juga di sini, bukan Ustaz Boim,” keluh Farzana berusaha mengalihkan pembicaraan.“Ya, Umi udah tahu kamu baik-baik aja, makanya Umi mau berterima kasih sama Ustaz Boim lebih dulu.”Umi mendekati Farzana dan duduk di sebelah putrinya tersebut. Mata yang sudah mulai sedikit berkeriput itu menatap lamat-lamat tiap inci dari tubuh dan wajah Farzana. Melihat tidak ada luka yang begitu berarti, tangan wanita paruh baya itu terulur mengelus pelan kepala putrinya lembut.“Kamu kenapa bisa jatuh? Pasti melamun lagi, ya? Sebenarnya kamu akhir-akhir ini lagi mikirin apa? Sering … banget Umi liat ngelamun. Gak baik lho, Zana.”Nasihat Umi pun dimulai dan Farzana hanya memiliki satu jawaban untuk itu. Mata gadis tersebut dengan cepat beralih menatap Boim, dan Farzana memandanginya sambil memicing. Hatinya masih terasa dongkol. Bayangkan saja ada begitu banyak hal yang berubah hanya karena satu laki-laki yang duduk dengan wajah cemas penuh rasa bersalah di depannya ini.***Hari Minggu pun tiba, hari di mana acara kajian yang sudah susah payah semua orang persiapkan dimulai. Farzana memerhatikan dengan saksama satu demi satu bagian dari acara berlalu secara lancar. Tugasnya saat hari H memang tidaklah banyak, luka yang Farzana alami juga hanyalah cedera ringan, tetapi Boim bersikukuh agar Farzana tidak melakukan apa pun dan hanya beristirahat saja.Meski begitu, Farzana memanglah tipikal gadis yang cukup keras kepala. Ia sempat beradu argumen yang cukup panas dengan Boim sampai akhirnya laki-laki itu menyerah dan membiarkan Farzana tetap turun di hari H acara kajian. Dengan syarat bahwa Farzana cukup datang sebagai pengamat saja.“Masya Allah,” gumam Farzana secara reflek ketika melihat dari kejauhan, sosok Boim yang tampak begitu gagah, menawan, dan juga piawai dalam menangani acara. Farzana jadi bertanya-tanya ke mana dirinya selama ini hingga baru menyadari bahwa sahabatnya itu benar-benar sangat luar biasa.“Gak heran kalau banyak yang menginginkan Boim,” gumam Farzana bicara pada dirinya sendiri. “Dan gak heran juga kalau Boim akan memilih pasangan yang paling terbaik …,” tutupnya berujar lirih. Mau tidak mau Farzana membandingkan dirinya yang tentu sangat jauh jika ingin menjangkau orang seperti Boim.Farzana menunduk dan menghela napas panjang. Pikirannya kembali melayang. “Fatimah emang lebih cocok sama dia.”“Siapa?”“Astagfirullah!”” pekik Farzana dengan wajah kaget. Ia reflek menoleh ke belakang, ke arah sumber suara dan menemukan Boim sudah duduk di sana entah sejak kapan.“Kenapa liat saya kaya liat hantu gitu?”“Ustaz—maksudnya kamu yang kok bisa tiba-tiba di sini? Muncul kaya setan beneran.”Boim tertawa mendengar gerutuan temannya. Tawa yang berhasil membuat hati Farzana hampir meledak seketika.“Umi bilang buat lebih merhatiin kamu, soalnya kamu akhir-akhir ini suka ngelamun kata Umi, dan saya lihat itu emang benar. Daripada ngelamun, coba kamu isi sama istighfar aja, gimana?”Farzana memicing, merasa tidak terima karena pelaku utama yang membuatnya seperti ini adalah Boim sendiri.“Tenang aja, meski kaya gini-gini, aku masih ingat sama Alllah, kok.”“Hm? Apanya yang kaya gini-gini?”“Apa sih? Coba kamu perhatiin acara aja sana. Aku gak papa sendiri!”“Udah aman. Acaranya lancar berkat kamu.”“Kamu yang paling banyak kerja.” Farzana mengalihkan pandangan ke samping. Kepalanya merasa pusing karana diserang oleh aroma maskulin Boim. Gadis itu jadi semakin kesal karena sejak menyadari perasaannya ini, semua tentang Boim berubah jadi asing.“Kaki kamu gimana? Masih sakit? Tangan kamu yang kegores kemarin … udah diobatin, kan? Kepala kamu gimana? Saya lihat sendiri kebenturnya cukup keras, kalau masih pusing tolong jangan diam aja, Zana. Kasih tahu saya.”Rasanya wajah Farzana sudah berubah menjadi apel matang yang sangat panas. Semua perhatian Boim sejak kapan jadi begitu memabukkan? Farzana tidak bisa mengerti.“Kenapa malah diem?”Farzana tersentak. “Gak apa-apa. Aku baik-baik aja.”“Beneran, kan? Kamu tahu sendiri kalau Umi nitipin kamu sama saya dan saya juga ketua panitia di acara ini. Saya punya tanggung jawab buat mastiin kamu gak kenapa-kenapa lagi.”Bagai air tenang yang tiba-tiba saja disambar petir, luruh sudah rasa gembira yang baru beberapa detik Farzana rasakan. Kalimat Boim tadi seolah menerangkan kalau semua perhatian yang laki-laki itu berikan kembali lagi, selalu ada dasarnya. Kali ini karena pesan dari Umi dan juga jabatannya selaku ketua. Bukan karena hal lain. Farzana tidak tahu harus sedih atau kecewa. Perasaannya bercampur aduk.Kemudian acara berlanjut hingga berakhir cukup baik tanpa adanya kendala. Farzana pulang diantar oleh Boim. Malam itu gadis tersebut tetap berusaha sekuat mungkin mengendalikan hati dan perasaannya yang terus bergejolak ria.Hari pun berganti, pagi itu Farzana habiskan dengan kegiatan rutin yaitu mengajar anak-anak mengaji di Masjid Al-Ghifari, tidak lupa juga ada Boim di sana. Hal ini memang sudah jadi rutinitas mereka sebanyak dua kali dalam satu minggu.“Anak-anak, langsung pulang ke rumah dulu, ya! Baru habis itu boleh main keluar!” peringat Farzana pada gerombolan bocah yang berebutan keluar dari masjid sambil bercanda gurau.“Baik, Bu!” teriak mereka serentak.“Pasti mereka mau nyuri buah punya Pak Dadang lagi,” tebak Farzana yang memang tepat sasaran.“Yakin mau pulang jalan kaki?” Boim menyamakan langkahnya dengan Farzana. Beralasan titipan Umi, mengantar dan menjemput Farzana merupakan kewajiban bagi Boim.“Iya gak papa. Kita jalan aja. Gak jauh juga, kok.”Farzana memilih jalan kaki karena berpikir itu dapat menambah waktu dia agar bisa bersama dengan Boim sedikit lebih lama jika dibandingkan dengan naik motor. Akan tetapi, ternyata keputusan Farzana itu lagi-lagi salah. Semuanya memang tampak baik-baik saja di awal. Boim dan dirinya seperti biasa mengobrol bersama. Hingga semua itu runtuh ketika Farzana sudah sampai di depan rumahnya.“Oh, jadi kalau kita mau minta sesuatu sama Allah itu harus jelas banget?” Farzana mengulangi kalimat yang diterangkan oleh Boim barusan.Laki-laki yang sengaja memperlambat langkah demi kenyamanan Farzana itu mengangguk pelan. “Misal kamu mau minta sesuatu … jelasin ke Allah kondisi lengkapnya seperti apa, jam berapa, tanggal, bulan, dan tahun berapa. Itu semua harus kamu sebutin kalau kamu mau do’a kamu gak meleset ke mana-mana.”“Tapi kan, Allah Maha Mengetahui.”“Zana … Allah memang Maha Mengetahui, tapi gak gitu konsepnya.”“Memangnya gimana?”“Coba deh, kamu minta buah Apel sama Umi … orang yang mengandung, melahirkan, dan ngebesarin kamu. Kamu udah mikir, ‘Ah, ini pasti Umi tahu aku mau buah apa, jadi minta buah ajalah, gak usah disebutin apelnya biar gak ribet’, tapi pada kenyataanya gak gitu, kan? Kamu gak tahu kalau Umi punya ribuan buah, dan setelah memperhitungkan baik dan buruknya, Umi ngasih kamu buah Mangga. Kamu jadi gak terima, padahal itu bukan salah Umi kamu.”
Langit cerah menyinari setiap insan yang tengah terlelap dalam dunia mimpi. Secercah cahaya sang mentari menembus ke setiap celah sudut-sudut ruangan di rumah minimalis berlantai dua. Tepat di sebuah kamar bernuansa abu-abu terlihat seorang pangeran tidur telungkup tertutup selimut tebal. Kepalanya miring ke kanan sementara tangan kiri menjuntai ke bawah dan tangan kanan terlentang di atas tempat tidur. Menurut orang malas itu posisi tidur paling enak.Sayang, tidur nyenyak sang pangeran tak bertahan lama. Dibalik pintu bercat putih terdengar suara teriakan seorang perempuan diiringi gedoran pintu sangat keras. Sudah 3 kali suara itu berteriak meminta dibukakan pintu. Namun sang pangeran tak menghiraukannya sama sekali. Dia masih tetap nyaman dalam posisi tidur. Entah telinganya tersumbat apa? Seolah suara keras itu tak terdengar olehnya.Akan tetapi saat suara ponsel berdering, sang pangeran langsung terbangun dari tidurnya. Matanya yang tertutup mendadak terbuka lebar dan secepat
Gadis itu keluar rumah seorang diri tanpa menghiraukan ajakan temannya. Ia terus melangkah menuju sebuah tempat yang dihuni oleh sang pujaan hati. Hatinya terasa berbunga-bunga karena tak sabar ingin memberikan hasil kreasi masakan spesialnya. Senyum bahagia tak pernah lepas dari wajah cantiknya. Meski tertutup oleh selembar kain, tetapi mata yang bersinar cerah dapat menunjukkan bahwa si gadis itu tengah berbahagia. Sahabatnya yang berjalan mengekor di belakang sampai geleng-geleng kepala karena heran. ‘Cuma nganter makanan saja kamu udah sesenang ini, apalagi kalau udah lihat wajahnya!’ batin sang sahabat. Dikarenakan keasyikan melamun, sahabat gadis itu tanpa sengaja menubruk dahi sang gadis yang tiba-tiba saja membalikkan badan.“Aduhhhh!” pekik kedua orang itu.“Fatimah, sakit tahu!” gerutu sang sahabat karena merasa kesakitan di bagian dahinya.“Maaf, maaf, maaf. Kamu enggak apa-apa kan, Nad?” tanya Fatimah sambil ikut mengelus dahi Nadia.“Nggak apa-apa kok. Tapi ya git
Baru pulang dari tempat bekerja Farzana langsung merebahkan diri ke tempat tidur. Hari ini sungguh melelahkan, banyak sekali pekerjaan yang harus ia lakukan. Selain ikut mengajar anak-anak mengaji di Masjid Al-Ghifari, gadis itu juga sibuk mengurus minimarket milik teman kuliahnya dulu. Ya hitung-hitung buat penghasilan tambahan. Badannya sangat letih karena seharian berdiri di meja kasir. Cukup banyak pembeli yang harus ia layani. Bukannya mengeluh, justru Farzana bersyukur karena Allah masih memberikan rezeki halal kepadanya. Sewaktu mata ingin terlelap, tiba-tiba terdengar dering telepon. Tangan kanan Farzana meraba-raba tempat tidur mencari ponsel yang tadi ia lemparkan asal. Begitu dapat ia langsung membuka kunci layar dengan sekali usap. Tak disangka, ada sekitar 10 panggilan telepon masuk. Semua panggilan itu berasal dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Boim. Farzana sangat malas untuk mengangkat telepon itu. Gadis itu memang sengaja ingin menghindar dari Boim. Alasan
Dua sejoli berjalan bersama dalam suasana penuh kecanggungan. Keduanya tak ada yang berani bersua. Baik si pria maupun perempuan terus melangkah saling beriringan dengan kepala tertunduk. Setiap kali berpapasan dengan seseorang sang pria menyapa dengan seulas senyum terpaksa. Begitu pun sang perempuan, tersenyum sambil menganggukkan kepalanya satu kali. Berbagai pasang mata memandang mereka dengan tatapan binar bahagia. Banyak yang mengatakan bahwa keduanya memang pantas bersama. Bahkan sebagian orang yang tidak mengenal menganggap mereka sebagai pasangan suami istri.Kalau boleh jujur, sang pria merasa malu karena menjadi pusat perhatian. Akan tetapi sang wanita malah tersenyum bahagia di balik cadar hitamnya.“Fat, kamu tidak merasa risih ditatap semua orang kayak gitu?” tanya si pria.“Sejujurnya risih sih Ustaz. Tapi ya sudahlah. Biarkan saja, anggap mereka tidak ada,” bohong sekali Fatimah mengatakan itu. Dalam hatinya sih ia merasa senang dengan pujian yang dilontarkan or
Baru beberapa putaran mengelilingi kompleks Farzana sudah merasa kelelahan. Baju yang dipakainya pun jadi basah karena keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Nafas gadis itu sampai terengah-engah sangking lelahnya. Untuk bicara saja sudah tak kuat. Gadis itu pun meminta izin kepada teman-temannya untuk beristirahat sejenak. “Teman-teman is-ti-rahat se-bentar yuk. Kalian nggak ca-pek a-pa?” pinta Farzana terbata-bata karena nafasnya hampir habis.“Baru juga satu putaran kamu udah lelah aja Zana?” sahut Bella, salah satu teman Farzana.“Ya udah, kalau Zana kelelahan kita istirahat dulu teman-teman!” Marwa mengajak Bella, Shofie, dan Shasa untuk beristirahat.“Kita istirahat di mana, Wa?” tanya Shofie kepada Marwa.“Di supermarket aja yuk. Sekalian aku mau beli minuman,” ajak Shasa.Mengikuti saran Shasa, akhirnya keempat orang itu memilih supermarket sebagai tempat peristirahatan. Sementara Bella, Shofie, Farzana, dan Marwa duduk-duduk santai di emperan, Shasa memilih masu
Sewaktu Boim dan Fatimah sedang asyik berbincang sambil menikmati seporsi mie ayam super jumbo, mendadak Boim terkejut ketika pandangan matanya melihat ke arah pohon seberang jalan. Pria itu mencoba memicingkan kedua matanya untuk memastikan sesuatu. Dan ternyata benar dugaannya. Di atas pohon itu ada seseorang yang tengah memetik buah. Akan tetapi yang membuat Boim heran adalah penampilan orang itu seperti tidak asing baginya. Boim mencoba mengingat-ingat kembali memori yang mungkin saja ia lupakan. Sangking sibuknya berpikir pria itu bahkan tak menghiraukan Fatimah sama sekali. ‘Dimana aku pernah melihatnya?’ tanya Boim dalam hati. Benar-benar buntu, Boim tak menemukan ingatan satupun tentang orang itu. Beruntung nasib baik berpihak kepadanya. Ketika orang itu menoleh ke kanan terlihatlah keseluruhan wajahnya. Sungguh Boim tak menyangka, ternyata orang itu memang sosok yang dikenalnya. Tanpa membuang banyak waktu lagi, Boim menaruh mangkok mie ayamnya lalu bangkit dari tempat duduk
Dikarenakan Boim tak menggubris panggilannya sama sekali, Fatimah pun memilih menyusul Boim. Gadis itu bangkit dari tempat duduknya lalu menyeberang jalan dengan sangat hati-hati. Matanya tak berhenti menoleh ke samping kiri dan kanan memastikan tidak ada kendaraan yang melintas. Ketika sudah dirasa sepi, Fatimah bergegas menyeberang jalan dengan tergesa-gesa. Setelah berhasil menyeberang, ia berjalan masuk ke arah rumah berlantai dua. ‘Kalau tidak salah tadi Boim menuju kemari,’ pikirnya. Pada saat Fatimah masuk, pintu gerbang rumah itu sudah terbuka. Dan begitu sampai di halaman depan gadis itu terkejut melihat Farzana tengah berada dalam gendongan Boim. Keduanya yang saling bertatap mesra tentu saja membuat Fatimah cemburu. Tangan gadis itu pun tiba-tiba mengepal keras seperti sedang menahan emosi. Ketika Fatimah hendak menghampiri Boim dan Farzana, tiba-tiba dia mendapat sebuah bisikan dari telinga kanannya.“Sebaiknya kamu diam dan lihat apa yang terjadi. Tahan emosimu dan