Dikarenakan Boim tak menggubris panggilannya sama sekali, Fatimah pun memilih menyusul Boim. Gadis itu bangkit dari tempat duduknya lalu menyeberang jalan dengan sangat hati-hati. Matanya tak berhenti menoleh ke samping kiri dan kanan memastikan tidak ada kendaraan yang melintas. Ketika sudah dirasa sepi, Fatimah bergegas menyeberang jalan dengan tergesa-gesa. Setelah berhasil menyeberang, ia berjalan masuk ke arah rumah berlantai dua. ‘Kalau tidak salah tadi Boim menuju kemari,’ pikirnya. Pada saat Fatimah masuk, pintu gerbang rumah itu sudah terbuka. Dan begitu sampai di halaman depan gadis itu terkejut melihat Farzana tengah berada dalam gendongan Boim. Keduanya yang saling bertatap mesra tentu saja membuat Fatimah cemburu. Tangan gadis itu pun tiba-tiba mengepal keras seperti sedang menahan emosi. Ketika Fatimah hendak menghampiri Boim dan Farzana, tiba-tiba dia mendapat sebuah bisikan dari telinga kanannya.“Sebaiknya kamu diam dan lihat apa yang terjadi. Tahan emosimu dan
Dua orang anak manusia sedang duduk santai menyantap seporsi bakso di tengah hawa panas yang mendera Kota Malang beberapa minggu terakhir. Kuah bakso bening bercampur sambal super pedas begitu meningkatkan nafsu makan keduanya. Sembari menggigit bulatan bakso yang cukup besar, Nadia juga membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengarkan curhatan sang sahabat. Siapa lagi kalau bukan Fatimah, sahabat setia yang selalu membersamai dirinya sedari kecil.Hari ini sengaja Fatimah mengajak Nadia makan siang di warung bakso depan Masjid Al-Ghifari guna meminta saran kepada sahabatnya itu. Apa yang sudah dilaluinya kemarin dengan Boim akan Fatimah ceritakan. Ia tak tahan jika harus memendam sesuatu seorang diri. Setidaknya dengan bercerita kepada seseorang beban dalam hatinya akan berkurang sedikit demi sedikit. Meski ya rasa sakit itu masih ada. Orang yang bisa Fatimah percaya hanyalah Nadia seorang. Tak ada lagi teman yang dapat mengerti dirinya selain Nadia. Cerita kepada orang tuanya pu
Seperti biasa hari ini Farzana hendak pergi ke Masjid Al-Ghifari untuk mengajar anak-anak mengaji. Baru memasuki pintu gerbang dia sudah disuguhkan pemandangan yang menyakitkan hati. Tepat di depan ruang kelas ada Boim dan Fatimah yang tengah berbincang ria. Keakraban kedua orang itu sungguh mencabik-cabik ulu hatinya. Namun ia mencoba tak peduli dan langsung memasuki ruang kelas. Boim sempat melihat Farzana sekilas. Namun sayang, si gadis terus melangkah dan tak mau membalas tatapannya. Boim merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu. Mungkinkah dia masih marah? pikirnya. Helaan nafas berat langsung ia keluarkan karena tak tahan dengan sikap Farzana yang cuek kepadanya. Dikarenakan sibuk memikirkan Farzana, Boim jadi lupa kalau di depannya masih ada Fatimah. Untunglah gadis itu tak menyadari bahwa sedari tadi Boim sedang melamun. Buru-buru ia alihkan kembali fokusnya kepada Fatimah.“Jadi ustaz mau kan?” tanya Fatimah.Dahi Boim berkerut heran karena tak mengerti apa yang dimak
Motor Boim melaju sangat kencang menembus jalan raya yang padat di siang hari. Di boncengan belakang Farzana tak henti-hentinya merapal doa untuk Ahmad. Anak laki-laki itu masih tertidur dan belum bangun dari pingsannya yang begitu lama. Dalam dekapan Farzana, Ahmad tertidur sangat nyenyak. Beberapa kali gadis itu mencoba mengguncang-guncang tubuh sang bocah namun tak ada respon sama sekali.Farzana mulai ketakutan setengah mati. Takut terjadi sesuatu pada Ahmad. Keringat dingin tak berhenti mengucur deras di kepalannya saking panik. ‘Ya Allah lindungi Ahmad,’ Farzana berdoa dalam hati. Boim yang sibuk berkendara juga ikutan panik. Berkali-kali ia terus mengumpat karena lampu merah tak kunjung berubah menjadi hijau. “Sial!” umpat Boim keras sehingga bisa didengar oleh Farzana.“Astagfirullah Boim,” Farzana beristigfar karena geram melihat tingkah Boim.“Nih lampu merah kenapa lama amat sih!” bentak Boim sambil memukul spion sepeda motor sebelah kanan.“Sabar, bukan hanya kamu s
Saat hendak keluar dari ruang perawatan Ahmad, Farzana tak sadar telah menabrak seseorang. Seketika badannya mau terjatuh, tapi untungnya seorang pria berperawakan tinggi langsung menarik tangannya. Tanpa sengaja tubuh Farzana pun jatuh ke dalam dekapan pria itu. Sontak hal itu membuatnya kaget. Ia pun mendongak ke atas dan melihat wajah sang pria. Ternyata itu ayahnya Ahmad yang bernama Pak Idris. “Kamu tidak apa-apa Zana?” tanya Pak Idris memastikan Farzana baik-baik saja.“I i iya pak. Saya tidak apa-apa. Maaf saya tidak melihat jalan,” jawab Farzana sedikit kikuk.“Seharusnya saya yang minta maaf karena tak melihat ada kamu,” ucap Pak Idris merasa bersalah.Di sela-sela obrolan Farzana dan Pak Idris tiba-tiba ada suara deheman dari arah belakang. Farzana langsung menoleh ke belakang dan Pak Idris melihat ke arah depan. Dan orang yang berbuat ulah itu adalah Boim. Tanpa ada rasa bersalah, Boim buru-buru mengalihkan pandangan dan bersikap seolah pura-pura tidak tahu apa-apa.
Berjalan seorang diri di tengah keramaian adalah hal yang biasa bagi Farzana. Untuk kategori seorang introvert sejati patut diacungi jempol kepada gadis itu. Pasalnya ketika ia berada dalam kesunyian ada rasa bahagia yang terpancar. Namun lain hal saat berada di keramaian, ia merasa tertekan dan bingung harus bersikap seperti apa. Dibutuhkan banyak energi dan memeras otak berlebih untuk sekedar mengungkapkan isi hati. Beginilah, tipe seseorang yang tak ingin melukai hati orang lain. Ia akan berhati-hati dalam berucap agar kata yang keluar mendapatkan penerimaan yang baik.Memang susah hidup menjadi seorang introvert. Ingin berbagi tapi takut merepotkan. Ingin bergaul tapi tak dianggap. Lihatlah sekarang ini, Farzana duduk diam seorang diri di tengah taman yang sunyi. Tidak ada satupun orang berada di sana. Hanya gadis itu bersama sang rembulan yang tengah bersinar di kegelapan malam. Taman kompleks jadi tempat yang asyik buat menyendiri di malam hari. Suara gesekan dari sekumpulan ja
Farzana terus berlari menuju rumahnya yang tinggal beberapa langkah lagi. Tak dihiraukan Boim yang terus memanggil namanya seraya mengejar tanpa mengenal lelah. Gadis ikut kian mempercepat langkahnya karena pintu gerbang rumah hanya berjarak 100 meter lagi. Namun sewaktu tangan si gadis hendak membuka, buru-buru Boim langsung mencekalnya dari arah belakang.Ia tarik pergelangan tangan kanan Farzana memutar sehingga membuat tubuh sang gadis menghadap langsung ke arahnya. Kemudian tangan kiri pria itu ia lilitkan di pinggang sang gadis dan mendorongnya agar tubuh keduanya kian mendekat tanpa jarak. Memang benar tidak ada jarak yang memisahkan. Bibir mereka saja hampir mengecup kalau saja Farzana tidak keburu memalingkan wajahnya ke arah kiri. Dalam posisi yang berdekatan sekarang ini, baik Boim maupun Farzana tampak gugup satu sama lain. Sang gadis tak berani menatap mata Boim karena takut akan khilaf seperti kejadian di taman kompleks tadi. Akan tetapi berbeda dengan Boim. Pria itu
Selama proses belajar mengajar Farzana berusaha agar tidak satu kelas dengan Boim. Gadis itu memang sengaja menghindar. Boim pun juga melakukan hal yang sama. Kelas yang biasanya diisi mereka berdua kini tergantikan oleh sosok lain. Sosok tersebut tidak lain dan bukan adalah Fatimah. Ketika ia mendengar akan ditempatkan di kelas yang sama dengan Boim membuat hatinya merasa senang. Ini bisa jadi kesempatan bagus baginya untuk lebih dekat dengan sang pujaan hati.Satu hari telah terlewati, Fatimah sangat senang karena bisa menghabiskan waktu bersama Boim. Mengajar anak-anak mengaji terasa lebih menyenangkan saat berdampingan dengan pria itu. Ia berharap semoga hal ini akan berlangsung selamanya dan Farzana tak akan kembali mengambil tempatnya. Ngomong-ngomong mengenai rivalnya itu, sudah seminggu lebih Fatimah tak melihat batang hidungnya. Kira-kira ke mana perginya gadis itu? Apakah dia berhenti mengajar? Ah semoga saja itu terjadi. Kalau gadis itu pergi otomatis Fatimah tak punya sai