“Serta … semoga Engkau memberikan hamba petunjuk dan tolong kuatkan hamba ya Allah, aamiin,” tutup Farzana dalam salat subuhnya dengan sangat khusyuk. Raut wajah Farzana tampak cukup buruk.
Bagaimana tidak? Malam ini Farzana bermimpi hal yang menurutnya sangat mengerikan. Itu adalah mimpi buruk yang lebih menakutkan daripada mimpi dikejar oleh setan. Tema mimpi Farzana biasanya adalah keluarga bahagia dengan Boim, tetapi khusus malam tadi ia melihat Boim duduk bersanding bersama wanita lain yang tidak lain dan tidak bukan adalah Fatimah di atas pelaminan.Berusaha menepis segala pikiran kalutnya, Farzana langsung bersiap di kala pagi buta. Ia mandi, sarapan, dan membersihkan rumah lalu segera mengganti pakaian dengan celana dan tunik. Hal ini Farzana putuskan karena tadi malam ia mendapat pesan dari divisi humas, kalau mereka kekurangan orang dalam mengantar proposal dan jadilah Farzana yang turun tangan setelah meminta izin dari Boim. Sebenarnya Farzana sedikit tidak menyangka pesannya akan dibalas cepat jika mengingat Boim malam itu harusnya sibuk menyambut tamu bersama Fatimah.Lalu, siapa sangka bahwa penampilan Farzana yang dianggapnya biasa saja malah menjadi mala petaka?Keesokan paginya Farzana harus bertemu dengan perwakilan dari divisi humas untuk mengambil proposal kegiatan mereka. Janji temu tepat di depan Majid Al-Ghifari. Begitu Farzana sampai, di sana sudah ada Nadia selaku koordinator divisi humas, Boim selaku ketua panitia, dan anehnya juga ada Fatimah.“Assalamu’alaikum,” sapa Farzana sambil berusaha tersenyum meski sedikit canggung.Apalagi ketika mata Boim tampak memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah. Farzana jadi sangat tidak nyaman.“Wa’alaikumus salam,” jawab ketiganya hampir bersamaan.Nadia melangkah maju, menyerahkan lima proposal kepada Farzana sambil tersenyum. “Makasih udah mau bantu kami, ya! Divisi humas benar-benar kekurangan orang!”Mengambil proposal tersebut, mata Farzana melirik ke arah Fatimah. Padahal wanita itu bisa ikut campur dalam kegiatan sakral seperti menyambut tamu, tetapi kenapa Nadia malah meminta tolong bantuannya daripada Fatimah? Ingin sekali rasanya Farzana melontarkan pertanyaan, tapi ia tahu kalau hal seperti itu hanya akan menimbulkan masalah saja. Jadi, mungkin diam adalah jalan terbaik untuk saat ini.“Ustaz Boim, gimana malam tadi sama Fatimah?” celetuk Nadia sambil melirik ke arah Farzana. Seolah meminta gadis itu untuk mendengarkan hal yang tidak ingin Farzana ketahui.Lagi pula didengar dari pertanyaannya saja, Farzana sudah tidak suka. Hal itu seperti merujuk ke arah lain dari pada kegiatan menyambut tamu.“Alhamdulillah, berjalan dengan baik dan lancar. Saya sekali lagi menyampaikan rasa terima kasih yang sangat besar untuk Fatimah, dan juga Nadia yang sudah memberikan usulan,” ujar Boim ramah.“Saya benar, kan!” Nadia bertepuk tangan sebanyak satu kali. “Lebih baik membawa Fatimah daripada Farzana. Saya gak bisa bayangin kalau dia yang ikut tadi malam bukannya Fatimah. Kamu juga ngerasa gitu kan, Farzana?”“Eh?” Mendengar kalimat menusuk yang tidak terduga itu menyerangnya dengan telak, gadis berparas manis tersebut membatu di tempat. Bibir Farzana seolah dijahit karena saking syoknya jadi dia tidak sanggup untuk mengatakan satu kata pun.Sedangkan Nadia di sebelah sana malah cekikikan tertawa penuh rasa bangga, seakan-akan dirinya baru saja memenangkan Piala Oscar. “Maksud saya ustaz, coba lihat gaya berpakaian Farzana sekarang. Untung tamu tadi udah pergi dan acara kita itu mulainya di malam hari.”Farzana merasa semua pasang mata langsung tertuju ke arah dirinya dengan tatapan yang menusuk tajam dan sangat dalam. Orang-orang di sekitar mereka pada kenyataannya juga ikut memerhatikan pembicaraan“Saya gak bisa bayangin deh, apa pendapat para tamu kalau melihat Farzana yang sekarang. Apa mereka gak menilai buruk? Coba lihat Fatimah, pakaiannya sangat syar’i dan gak lepas dari cadar.”Kalimat Nadia bagai peluru yang berhasil menghancurkan mental Farzana sampai tidak bersisa. Gadis itu tidak mengatakan apa-apa lagi dan langsung pergi dengan motornya.Bagaimana bisa Nadia yang Farzana anggap sebagai teman itu mempermalukan dirinya di hadapan banyak orang? Terutama di depan Boim.Farzana tidak peduli lagi meski ia mendengar suara Boim memanggil namanya berkali-kali, gadis itu terus memacu gas motor agar segera menjauh dari tempat tersebut secepat yang ia bisa.“Sekarang jelas udah. Nadia benci sama aku. Dia gak suka sama aku. Akan tetapi kenapa? Salahku apa sama dia?” Farzana mulai menggerutu sepanjang jalan. “Jangan-jangan gosip yang aku denger dari orang-orang itu juga bener? Kalau Nadia juga yang mulai ngejodoh-jodohin Boim sama Fatimah.” Farzana menarik napas. “Kenapa pikiranku ke orang itu lagi?” beonya kesal dengan diri sendiri.Ada dua hal yang sudah jelas dan tidak bisa Farzana elak sekarang. Pertama, fakta bahwa Nadia bukanlah teman sebaik yang ada di dalam pikirannya selama ini. Lalu yang kedua adalah fakta bahwa perasaannya terhadap Boim bukan lagi sebagai seorang sahabat, tetapi perasaan itu sudah berubah menjadi benih-benih cinta.Ketika Farzana baru saja menyadari kedua hal tersebut, gadis itu segera dilanda musibah mana kala motor yang ia kendarai disenggol oleh pengendara motor lain dari arah yang berlawanan pula.“Allahu Akbar!”Teriakan Farzana bersamaan dengan suara dentuman dari dua benda keras yang saling bertabrakan. Keributan itu berhasil menarik perhatian warga sekitar. Farzana sendiri sudah terkulai lemas di tengah jalan.“Astagfirullah!”“Ada tabrakan!”“FARZANA!”Seluruh tubuh Farzana terasa sakit, kepala gadis itu berdengung nyaring, pandangannya lambat laun jadi kabur dan ia mulai merasa matanya perlahan semakin mengantuk dan akhirnya yang tersisa hanyalah kegelapan semata. Pada detik yang keberikutnya, Farzana tidak tahu lagi apa yang terjadi, karena ia sudah tidak sadarkan diri.***Entah berapa lama waktu yang sudah berlalu bagi Farzana, karena yang jelas saat ia membuka mata, seluruh nyeri langsung menyerang tiap sendi sampai dengan tulang-tulang di seluruh anggota badan.Gadis bertubuh mungil ini juga langsung disambut dengan tatapan penuh akan kecemasan dari orang yang tidak asing lagi. Tentu saja sosok pertama yang menjadi penolong Farzana tidak lain dan tidak bukan adalah Boim seorang. Ternyata, sahabatnya ini terus mengejar dirinya sejak Nadia melontarkan kalimat tidak enak di depan Masjid Al-Ghifari silam.“Di mana yang sakit? Kaki? Tangan? Kepala? Di mana? Kasih tahu aja.” Boim menyerang Farzana dengan banyak pertanyaan karena gadis manis itu hanya diam saja menatapnya linglung.Mata Farzana mengerjap beberapa kali. Ia memegangi kepala, melihat tangan, dan menyentuh kakinya. “Oh, gak patah,” celetuknya yang langsung mendapat jentikan jari di kening oleh Boim.“Malah bercanda kaya gitu? Gak lucu. Demi Allah, Zana. Kamu bikin saya hampir kena serangan jantung.”Bukannya merasa bersalah, Farzana malah salah fokus dengan wajah basah Boim. Keringat yang menetes dari kening mengalir ke leher laki-laki itu membuat Farzana hampir tidak bisa mengedikan mata. Hingga lamunan itu berhasil pecah karena ibunya yang baru saja datang.“Ya Allah, Zana!” tangis sang ibu pecah, dia langsung berlari dengan tangan terbuka.Namun, Farzana ternyata sudah salah sangka. Gadis itu kira ibunya akan memeluk dirinya sambil menangis tersedu-sedu dan Farzana telah siap untuk mengatai ibunya sudah berlebihan karena ia hanya diserempet saja. Namun, ternyata Umi Kalsum datang untuk memeluk Boim. Pemandangan yang membuat mulut Farzana terbuka lebar.Bagaimana bisa ibunya mencuri kesempatan di saat seperti ini?“Masya Allah … terima kasih banyak, ya, Ustadz Boim udah nolongin anak Umi,” lirih wanita paruh baya itu sambil melepaskan pelukan eratnya. Ia lalu menggenggam kedua tangan Boim. “Nanti kapan-kapan mampir ke rumah, Umi mau masak buat Ustaz Boim sebagai tanda terima kasih. Kalau gak ada Ustaz Boim, Umi gak tahu lagi siapa yang bisa dipercaya buat jaga Zana.”“Ahaha … iya Umi, gak usah repot-repot. Ini emang udah jadi tugas saya buat jaga Zana. Malahan saya mau minta maaf sama Umi, soalnya karena saya lalai, Zana jadi terluka kaya gini.”Mengibas tangan, Umi Kalsum menggeleng pelan. “Ustaz sama Umi tahu sendiri gimana cerobohnya Zana.”“Umi!” seru Farzana yang sudah tidak tahan melihat ibunya mempermalukan anaknya sendiri, apalagi di hadapan Boim. “Anak Umi itu sebenarnya siapa? Yang sakit juga di sini, bukan Ustaz Boim,” keluh Farzana berusaha mengalihkan pembicaraan.“Ya, Umi udah tahu kamu baik-baik aja, makanya Umi mau berterima kasih sama Ustaz Boim lebih dulu.”Umi mendekati F
“Oh, jadi kalau kita mau minta sesuatu sama Allah itu harus jelas banget?” Farzana mengulangi kalimat yang diterangkan oleh Boim barusan.Laki-laki yang sengaja memperlambat langkah demi kenyamanan Farzana itu mengangguk pelan. “Misal kamu mau minta sesuatu … jelasin ke Allah kondisi lengkapnya seperti apa, jam berapa, tanggal, bulan, dan tahun berapa. Itu semua harus kamu sebutin kalau kamu mau do’a kamu gak meleset ke mana-mana.”“Tapi kan, Allah Maha Mengetahui.”“Zana … Allah memang Maha Mengetahui, tapi gak gitu konsepnya.”“Memangnya gimana?”“Coba deh, kamu minta buah Apel sama Umi … orang yang mengandung, melahirkan, dan ngebesarin kamu. Kamu udah mikir, ‘Ah, ini pasti Umi tahu aku mau buah apa, jadi minta buah ajalah, gak usah disebutin apelnya biar gak ribet’, tapi pada kenyataanya gak gitu, kan? Kamu gak tahu kalau Umi punya ribuan buah, dan setelah memperhitungkan baik dan buruknya, Umi ngasih kamu buah Mangga. Kamu jadi gak terima, padahal itu bukan salah Umi kamu.”
Langit cerah menyinari setiap insan yang tengah terlelap dalam dunia mimpi. Secercah cahaya sang mentari menembus ke setiap celah sudut-sudut ruangan di rumah minimalis berlantai dua. Tepat di sebuah kamar bernuansa abu-abu terlihat seorang pangeran tidur telungkup tertutup selimut tebal. Kepalanya miring ke kanan sementara tangan kiri menjuntai ke bawah dan tangan kanan terlentang di atas tempat tidur. Menurut orang malas itu posisi tidur paling enak.Sayang, tidur nyenyak sang pangeran tak bertahan lama. Dibalik pintu bercat putih terdengar suara teriakan seorang perempuan diiringi gedoran pintu sangat keras. Sudah 3 kali suara itu berteriak meminta dibukakan pintu. Namun sang pangeran tak menghiraukannya sama sekali. Dia masih tetap nyaman dalam posisi tidur. Entah telinganya tersumbat apa? Seolah suara keras itu tak terdengar olehnya.Akan tetapi saat suara ponsel berdering, sang pangeran langsung terbangun dari tidurnya. Matanya yang tertutup mendadak terbuka lebar dan secepat
Gadis itu keluar rumah seorang diri tanpa menghiraukan ajakan temannya. Ia terus melangkah menuju sebuah tempat yang dihuni oleh sang pujaan hati. Hatinya terasa berbunga-bunga karena tak sabar ingin memberikan hasil kreasi masakan spesialnya. Senyum bahagia tak pernah lepas dari wajah cantiknya. Meski tertutup oleh selembar kain, tetapi mata yang bersinar cerah dapat menunjukkan bahwa si gadis itu tengah berbahagia. Sahabatnya yang berjalan mengekor di belakang sampai geleng-geleng kepala karena heran. ‘Cuma nganter makanan saja kamu udah sesenang ini, apalagi kalau udah lihat wajahnya!’ batin sang sahabat. Dikarenakan keasyikan melamun, sahabat gadis itu tanpa sengaja menubruk dahi sang gadis yang tiba-tiba saja membalikkan badan.“Aduhhhh!” pekik kedua orang itu.“Fatimah, sakit tahu!” gerutu sang sahabat karena merasa kesakitan di bagian dahinya.“Maaf, maaf, maaf. Kamu enggak apa-apa kan, Nad?” tanya Fatimah sambil ikut mengelus dahi Nadia.“Nggak apa-apa kok. Tapi ya git
Baru pulang dari tempat bekerja Farzana langsung merebahkan diri ke tempat tidur. Hari ini sungguh melelahkan, banyak sekali pekerjaan yang harus ia lakukan. Selain ikut mengajar anak-anak mengaji di Masjid Al-Ghifari, gadis itu juga sibuk mengurus minimarket milik teman kuliahnya dulu. Ya hitung-hitung buat penghasilan tambahan. Badannya sangat letih karena seharian berdiri di meja kasir. Cukup banyak pembeli yang harus ia layani. Bukannya mengeluh, justru Farzana bersyukur karena Allah masih memberikan rezeki halal kepadanya. Sewaktu mata ingin terlelap, tiba-tiba terdengar dering telepon. Tangan kanan Farzana meraba-raba tempat tidur mencari ponsel yang tadi ia lemparkan asal. Begitu dapat ia langsung membuka kunci layar dengan sekali usap. Tak disangka, ada sekitar 10 panggilan telepon masuk. Semua panggilan itu berasal dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Boim. Farzana sangat malas untuk mengangkat telepon itu. Gadis itu memang sengaja ingin menghindar dari Boim. Alasan
Dua sejoli berjalan bersama dalam suasana penuh kecanggungan. Keduanya tak ada yang berani bersua. Baik si pria maupun perempuan terus melangkah saling beriringan dengan kepala tertunduk. Setiap kali berpapasan dengan seseorang sang pria menyapa dengan seulas senyum terpaksa. Begitu pun sang perempuan, tersenyum sambil menganggukkan kepalanya satu kali. Berbagai pasang mata memandang mereka dengan tatapan binar bahagia. Banyak yang mengatakan bahwa keduanya memang pantas bersama. Bahkan sebagian orang yang tidak mengenal menganggap mereka sebagai pasangan suami istri.Kalau boleh jujur, sang pria merasa malu karena menjadi pusat perhatian. Akan tetapi sang wanita malah tersenyum bahagia di balik cadar hitamnya.“Fat, kamu tidak merasa risih ditatap semua orang kayak gitu?” tanya si pria.“Sejujurnya risih sih Ustaz. Tapi ya sudahlah. Biarkan saja, anggap mereka tidak ada,” bohong sekali Fatimah mengatakan itu. Dalam hatinya sih ia merasa senang dengan pujian yang dilontarkan or
Baru beberapa putaran mengelilingi kompleks Farzana sudah merasa kelelahan. Baju yang dipakainya pun jadi basah karena keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Nafas gadis itu sampai terengah-engah sangking lelahnya. Untuk bicara saja sudah tak kuat. Gadis itu pun meminta izin kepada teman-temannya untuk beristirahat sejenak. “Teman-teman is-ti-rahat se-bentar yuk. Kalian nggak ca-pek a-pa?” pinta Farzana terbata-bata karena nafasnya hampir habis.“Baru juga satu putaran kamu udah lelah aja Zana?” sahut Bella, salah satu teman Farzana.“Ya udah, kalau Zana kelelahan kita istirahat dulu teman-teman!” Marwa mengajak Bella, Shofie, dan Shasa untuk beristirahat.“Kita istirahat di mana, Wa?” tanya Shofie kepada Marwa.“Di supermarket aja yuk. Sekalian aku mau beli minuman,” ajak Shasa.Mengikuti saran Shasa, akhirnya keempat orang itu memilih supermarket sebagai tempat peristirahatan. Sementara Bella, Shofie, Farzana, dan Marwa duduk-duduk santai di emperan, Shasa memilih masu
Sewaktu Boim dan Fatimah sedang asyik berbincang sambil menikmati seporsi mie ayam super jumbo, mendadak Boim terkejut ketika pandangan matanya melihat ke arah pohon seberang jalan. Pria itu mencoba memicingkan kedua matanya untuk memastikan sesuatu. Dan ternyata benar dugaannya. Di atas pohon itu ada seseorang yang tengah memetik buah. Akan tetapi yang membuat Boim heran adalah penampilan orang itu seperti tidak asing baginya. Boim mencoba mengingat-ingat kembali memori yang mungkin saja ia lupakan. Sangking sibuknya berpikir pria itu bahkan tak menghiraukan Fatimah sama sekali. ‘Dimana aku pernah melihatnya?’ tanya Boim dalam hati. Benar-benar buntu, Boim tak menemukan ingatan satupun tentang orang itu. Beruntung nasib baik berpihak kepadanya. Ketika orang itu menoleh ke kanan terlihatlah keseluruhan wajahnya. Sungguh Boim tak menyangka, ternyata orang itu memang sosok yang dikenalnya. Tanpa membuang banyak waktu lagi, Boim menaruh mangkok mie ayamnya lalu bangkit dari tempat duduk