Gadis itu keluar rumah seorang diri tanpa menghiraukan ajakan temannya. Ia terus melangkah menuju sebuah tempat yang dihuni oleh sang pujaan hati. Hatinya terasa berbunga-bunga karena tak sabar ingin memberikan hasil kreasi masakan spesialnya. Senyum bahagia tak pernah lepas dari wajah cantiknya. Meski tertutup oleh selembar kain, tetapi mata yang bersinar cerah dapat menunjukkan bahwa si gadis itu tengah berbahagia.
Sahabatnya yang berjalan mengekor di belakang sampai geleng-geleng kepala karena heran. ‘Cuma nganter makanan saja kamu udah sesenang ini, apalagi kalau udah lihat wajahnya!’ batin sang sahabat. Dikarenakan keasyikan melamun, sahabat gadis itu tanpa sengaja menubruk dahi sang gadis yang tiba-tiba saja membalikkan badan.“Aduhhhh!” pekik kedua orang itu.“Fatimah, sakit tahu!” gerutu sang sahabat karena merasa kesakitan di bagian dahinya.“Maaf, maaf, maaf. Kamu enggak apa-apa kan, Nad?” tanya Fatimah sambil ikut mengelus dahi Nadia.“Nggak apa-apa kok. Tapi ya gitu sedikit sakit. Oh ya, ini kita mau ke rumah Ustaz Boim tapi kamu belum kabari dia. Terus kalau dia nggak ada di rumah gimana?” rencananya hari ini Fatimah dan Nadia hendak mengirim makanan ke rumah Boim.“Pasti ada. Ustaz Boim kalau hari Minggu selalu ada di rumah,” jawab Fatimah.“Tahu dari mana kamu?” Nadia bertanya-tanya apakah benar yang dibilang oleh Fatimah.“Tentu saja, aku kan calon istrinya. Apapun tentang calon suamiku aku pasti tahu!” jawab Fatimah dengan penuh rasa percaya diri. Padahal ia belum tahu kalau Boim menyukai Farzana, bukan dirinya.Fatimah dan Nadia pun melanjutkan langkahnya menuju rumah Boim. Begitu sampai kedua gadis itu langsung masuk ke teras rumah lalu menekan bel sebanyak tiga kali. Tak selang beberapa lama ada seorang anak kecil yang membukakan pintu.“Kakak kakak ini cari siapa?” tanya si anak kecil.Fatimah duduk berjongkok mencoba menyejajarkan tingginya dengan tinggi anak kecil itu.“Eh Salman, Abang kamu ada di rumah?” tanya Fatimah dengan suara lemah lembut.“Kakak keluar tadi. Sampai sekarang belum pulang,” jawab Salman.“Kalau kakak boleh tahu, ke mana Abang kamu?” tanya Fatimah lagi.“Ke rumah Kak Farzana,” pudar sudah semua yang direncanakan Fatimah. Dalam sekejap senyum kebahagiaan hilang dari wajah Fatimah kala mendengar Boim pergi menemui Farzana.Akhirnya, Fatimah memberikan makanan itu kepada Salman, adik Boim. Kemudian gadis itu beranjak pergi meninggalkan rumah itu diikuti Nadia. Sepanjang jalan Fatimah tertunduk lesu. Semangat yang tadi menggebu-gebu hilang seketika saat tak bisa bertemu sang pujaan hati. Ia bahkan menghela nafas beberapa kali sangking kecewanya.Sebagai sahabat, tak lupa Nadia menguatkan Fatimah agar tidak bersedih.“Nggak usah sedih. Kan kamu bisa bertemu Ustaz Boim besok di Masjid Al-Ghifari.”“Kenapa ya Ustad Boim seperti selalu memperhatikan Farzana?”“Aku sendiri juga bingung. Kok mau ustaz itu deket sama tuh orang. Padahal ya, ustaz Boim lebih cocok sama kamu.”“Udah ah, nggak usah gibah tuh anak. Nanti pahala aku berkurang lagi.”Setiap kali Boim menaruh perhatian lebih kepada Farzana pasti Fatimah cemburu. Sampai-sampai gadis itu membenci Farzana setengah mati. Mungkin di luar ia akan terlihat biasa saja. Namun dalam lubuk hati yang paling dalam ia sungguh tidak menyukai Farzana. Bisa dibilang dia adalah rivalnya dalam memperebutkan hati Boim. Ia tak pernah menganggap Farzana sebagai teman, melainkan musuh yang harus diwaspadai. Katakanlah ia keterlaluan, tapi demi cinta Fatimah akan melakukan apa saja.Saat Fatimah dan Nadia lagi asyik mengobrol di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba terdengar bunyi ponsel berdering. Dahi Fatimah berkerut, pasalnya ia tidak membawa ponsel sama sekali. ‘Lalu itu bunyi ponsel siapa?’ pikirnya. Dan ternyata bunyi itu berasal dari saku gamis sang sahabat. Nadia yang sedari tadi diam memandangi Fatimah tak menyadari akan hal itu.“Nad, itu ponsel kamu yang bunyi!” jari telunjuk tangan kanan Fatimah menunjuk saku gamis Nadia.Nadia menyeringai lebar menyadari kebodohannya yang tidak tahu bahwa ponselnya berdering. Tangan kanannya lalu mengambil ponsel tersebut dari dalam saku lalu secepat kilat langsung menekan tombol panggil.“Assalamualaikum!” salam Nadia.“Waalaikumsalam, Nadia cepat pulang ya umi butuh bantuan kamu,” jawab orang itu yang tidak lain dan bukan adalah uminya Nadia.“Baik Umi. Ini Nadia dalam perjalanan pulang. Ya udah Nadia tutup ya teleponnya. Assalamualaikum!” Nadi menutup panggilan telepon dari uminya.“Waalaikumsalam!” balas sang umi.Dikarenakan sang umi menyuruhnya segera pulang, Nadia pun memilih berpisah di pertigaan. Ia akan mengambil jalan tikus supaya lebih cepat sampai di rumah. Dengan demikian Fatimah pulang ke rumahnya seorang diri. Sebenarnya ia tak mau Nadia pulang, ingin sekali ia menghabiskan waktu lebih lama dengan sahabatnya itu. Tetapi ya sudahlah, kalau Uminya Nadia sudah menyuruh sang anak pulang Fatimah tak bisa berbuat apa-apa. Nadia ini termasuk anak yang penurut dan selalu patuh terhadap perintah kedua orang tuanya. Lain hal dengan dirinya. Meski warga sekitar mengenalnya sebagai perempuan Sholehah, tapi tidak ada yang tahu bahwa Fatimah suka sekali membantah kedua orang tuanya.“Yah, pulang sendiri deh!” gerutu Fatimah kesal sambil kakinya menendang-nendang kerikil di jalanan.Kini gadis itu berjalan seorang diri menyusuri jalanan kompleks yang sepi. Ketika hendak belok ke kanan, langkahnya terhenti karena mendengar suara yang sangat familiar. Gadis itu pun tak jadi berbelok dan memilih jalan lurus menuju sumber suara. Tidak, gadis itu tidak berjalan. Tetapi berlari secepat mungkin hingga tak memedulikan kakinya tersandung beberapa kali karena menginjak rok gamis panjangnya. Senyum kebahagiaan kembali terpancar di bibir ranumnya. Dengan nafas terengah-engah akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Bagaikan mendapatkan durian runtuh, Allah benar-benar mengabulkan keinginannya. ‘Terima kasih ya Allah. Akhirnya aku bisa bertemu dengan dia,’ Fatimah membatin.Sebelum menemui orang itu, sejenak Fatimah berhenti untuk mengatur nafasnya terlebih dahulu. Lalu membasuh keringat yang bercucuran di pelipisnya. Dirasa sudah cukup tenang, ia pun memberanikan diri mendekati orang itu. Dengan mata yang sedikit menyipit Fatimah mengucapkan, “Assalamualaikum Ustaz Boim!”“Waalaikumsalam, kamu...?” Boim membalas salam Fatimah dengan menampilkan senyum terbaiknya.“Tadi saya ke rumah ustaz mengantar makanan. Kata Salman ustaz keluar, jadi makanannya saya titipkan ke adik ustaz,” kata Fatimah sambil menundukkan pandangan.“Oh, terima kasih ya kamu udah repot-repot mengirimi saya makan...?” mendadak kalimat Boim harus terhenti karena suara batuk Pak Mukhlis.“Guk guk guk. Eh, nak Boim saya tinggal ya. Saya tidak mau jadi obat nyamuk diantara sepasang anak muda,” ujar Pak Mukhlis sedikit menggoda BoimSontak kalimat yang diutarakan Pak Mukhlis tadi membuat pipi Fatimah bersemu merah. Untung wajahnya tertutup cadar, jadi tidak akan ada yang menyadari hal itu.Setelah Pak Mukhlis meninggalkan pos satpam, tinggallah Boim dan Fatimah hanya berdua saja. Suasana mendadak berubah canggung. Boim sampai menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal karena tak tahu lagi harus berbicara apa. Fatimah pun juga sama. Gadis itu hanya berdiri bak patung dengan kepala tertunduk. Tetapi itu tak bertahan lama saat Boim kembali tersadar dengan tujuannya yang keluar rumah tadi.“Maaf, aku duluan ya!” ujar Boim yang langsung bangkit dari duduknya.“Tunggu ustaz, Ustaz mau ke mana?” sebenarnya Fatimah sudah tahu bahwa Boim pergi mau mencari Farzana. Pertanyaan tadi hanya sekedar basa-basi saja.“Aku mau mencari Farzana. Ya sudah sampai jumpa. Assalamualaikum!” Baru kaki kanan terangkat suara Fatimah menghentikan langkah Boim.“Boleh saya ikut ustaz?” Fatimah meminta izin Boim.Baru pulang dari tempat bekerja Farzana langsung merebahkan diri ke tempat tidur. Hari ini sungguh melelahkan, banyak sekali pekerjaan yang harus ia lakukan. Selain ikut mengajar anak-anak mengaji di Masjid Al-Ghifari, gadis itu juga sibuk mengurus minimarket milik teman kuliahnya dulu. Ya hitung-hitung buat penghasilan tambahan. Badannya sangat letih karena seharian berdiri di meja kasir. Cukup banyak pembeli yang harus ia layani. Bukannya mengeluh, justru Farzana bersyukur karena Allah masih memberikan rezeki halal kepadanya. Sewaktu mata ingin terlelap, tiba-tiba terdengar dering telepon. Tangan kanan Farzana meraba-raba tempat tidur mencari ponsel yang tadi ia lemparkan asal. Begitu dapat ia langsung membuka kunci layar dengan sekali usap. Tak disangka, ada sekitar 10 panggilan telepon masuk. Semua panggilan itu berasal dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Boim. Farzana sangat malas untuk mengangkat telepon itu. Gadis itu memang sengaja ingin menghindar dari Boim. Alasan
Dua sejoli berjalan bersama dalam suasana penuh kecanggungan. Keduanya tak ada yang berani bersua. Baik si pria maupun perempuan terus melangkah saling beriringan dengan kepala tertunduk. Setiap kali berpapasan dengan seseorang sang pria menyapa dengan seulas senyum terpaksa. Begitu pun sang perempuan, tersenyum sambil menganggukkan kepalanya satu kali. Berbagai pasang mata memandang mereka dengan tatapan binar bahagia. Banyak yang mengatakan bahwa keduanya memang pantas bersama. Bahkan sebagian orang yang tidak mengenal menganggap mereka sebagai pasangan suami istri.Kalau boleh jujur, sang pria merasa malu karena menjadi pusat perhatian. Akan tetapi sang wanita malah tersenyum bahagia di balik cadar hitamnya.“Fat, kamu tidak merasa risih ditatap semua orang kayak gitu?” tanya si pria.“Sejujurnya risih sih Ustaz. Tapi ya sudahlah. Biarkan saja, anggap mereka tidak ada,” bohong sekali Fatimah mengatakan itu. Dalam hatinya sih ia merasa senang dengan pujian yang dilontarkan or
Baru beberapa putaran mengelilingi kompleks Farzana sudah merasa kelelahan. Baju yang dipakainya pun jadi basah karena keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Nafas gadis itu sampai terengah-engah sangking lelahnya. Untuk bicara saja sudah tak kuat. Gadis itu pun meminta izin kepada teman-temannya untuk beristirahat sejenak. “Teman-teman is-ti-rahat se-bentar yuk. Kalian nggak ca-pek a-pa?” pinta Farzana terbata-bata karena nafasnya hampir habis.“Baru juga satu putaran kamu udah lelah aja Zana?” sahut Bella, salah satu teman Farzana.“Ya udah, kalau Zana kelelahan kita istirahat dulu teman-teman!” Marwa mengajak Bella, Shofie, dan Shasa untuk beristirahat.“Kita istirahat di mana, Wa?” tanya Shofie kepada Marwa.“Di supermarket aja yuk. Sekalian aku mau beli minuman,” ajak Shasa.Mengikuti saran Shasa, akhirnya keempat orang itu memilih supermarket sebagai tempat peristirahatan. Sementara Bella, Shofie, Farzana, dan Marwa duduk-duduk santai di emperan, Shasa memilih masu
Sewaktu Boim dan Fatimah sedang asyik berbincang sambil menikmati seporsi mie ayam super jumbo, mendadak Boim terkejut ketika pandangan matanya melihat ke arah pohon seberang jalan. Pria itu mencoba memicingkan kedua matanya untuk memastikan sesuatu. Dan ternyata benar dugaannya. Di atas pohon itu ada seseorang yang tengah memetik buah. Akan tetapi yang membuat Boim heran adalah penampilan orang itu seperti tidak asing baginya. Boim mencoba mengingat-ingat kembali memori yang mungkin saja ia lupakan. Sangking sibuknya berpikir pria itu bahkan tak menghiraukan Fatimah sama sekali. ‘Dimana aku pernah melihatnya?’ tanya Boim dalam hati. Benar-benar buntu, Boim tak menemukan ingatan satupun tentang orang itu. Beruntung nasib baik berpihak kepadanya. Ketika orang itu menoleh ke kanan terlihatlah keseluruhan wajahnya. Sungguh Boim tak menyangka, ternyata orang itu memang sosok yang dikenalnya. Tanpa membuang banyak waktu lagi, Boim menaruh mangkok mie ayamnya lalu bangkit dari tempat duduk
Dikarenakan Boim tak menggubris panggilannya sama sekali, Fatimah pun memilih menyusul Boim. Gadis itu bangkit dari tempat duduknya lalu menyeberang jalan dengan sangat hati-hati. Matanya tak berhenti menoleh ke samping kiri dan kanan memastikan tidak ada kendaraan yang melintas. Ketika sudah dirasa sepi, Fatimah bergegas menyeberang jalan dengan tergesa-gesa. Setelah berhasil menyeberang, ia berjalan masuk ke arah rumah berlantai dua. ‘Kalau tidak salah tadi Boim menuju kemari,’ pikirnya. Pada saat Fatimah masuk, pintu gerbang rumah itu sudah terbuka. Dan begitu sampai di halaman depan gadis itu terkejut melihat Farzana tengah berada dalam gendongan Boim. Keduanya yang saling bertatap mesra tentu saja membuat Fatimah cemburu. Tangan gadis itu pun tiba-tiba mengepal keras seperti sedang menahan emosi. Ketika Fatimah hendak menghampiri Boim dan Farzana, tiba-tiba dia mendapat sebuah bisikan dari telinga kanannya.“Sebaiknya kamu diam dan lihat apa yang terjadi. Tahan emosimu dan
Dua orang anak manusia sedang duduk santai menyantap seporsi bakso di tengah hawa panas yang mendera Kota Malang beberapa minggu terakhir. Kuah bakso bening bercampur sambal super pedas begitu meningkatkan nafsu makan keduanya. Sembari menggigit bulatan bakso yang cukup besar, Nadia juga membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengarkan curhatan sang sahabat. Siapa lagi kalau bukan Fatimah, sahabat setia yang selalu membersamai dirinya sedari kecil.Hari ini sengaja Fatimah mengajak Nadia makan siang di warung bakso depan Masjid Al-Ghifari guna meminta saran kepada sahabatnya itu. Apa yang sudah dilaluinya kemarin dengan Boim akan Fatimah ceritakan. Ia tak tahan jika harus memendam sesuatu seorang diri. Setidaknya dengan bercerita kepada seseorang beban dalam hatinya akan berkurang sedikit demi sedikit. Meski ya rasa sakit itu masih ada. Orang yang bisa Fatimah percaya hanyalah Nadia seorang. Tak ada lagi teman yang dapat mengerti dirinya selain Nadia. Cerita kepada orang tuanya pu
Seperti biasa hari ini Farzana hendak pergi ke Masjid Al-Ghifari untuk mengajar anak-anak mengaji. Baru memasuki pintu gerbang dia sudah disuguhkan pemandangan yang menyakitkan hati. Tepat di depan ruang kelas ada Boim dan Fatimah yang tengah berbincang ria. Keakraban kedua orang itu sungguh mencabik-cabik ulu hatinya. Namun ia mencoba tak peduli dan langsung memasuki ruang kelas. Boim sempat melihat Farzana sekilas. Namun sayang, si gadis terus melangkah dan tak mau membalas tatapannya. Boim merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu. Mungkinkah dia masih marah? pikirnya. Helaan nafas berat langsung ia keluarkan karena tak tahan dengan sikap Farzana yang cuek kepadanya. Dikarenakan sibuk memikirkan Farzana, Boim jadi lupa kalau di depannya masih ada Fatimah. Untunglah gadis itu tak menyadari bahwa sedari tadi Boim sedang melamun. Buru-buru ia alihkan kembali fokusnya kepada Fatimah.“Jadi ustaz mau kan?” tanya Fatimah.Dahi Boim berkerut heran karena tak mengerti apa yang dimak
Motor Boim melaju sangat kencang menembus jalan raya yang padat di siang hari. Di boncengan belakang Farzana tak henti-hentinya merapal doa untuk Ahmad. Anak laki-laki itu masih tertidur dan belum bangun dari pingsannya yang begitu lama. Dalam dekapan Farzana, Ahmad tertidur sangat nyenyak. Beberapa kali gadis itu mencoba mengguncang-guncang tubuh sang bocah namun tak ada respon sama sekali.Farzana mulai ketakutan setengah mati. Takut terjadi sesuatu pada Ahmad. Keringat dingin tak berhenti mengucur deras di kepalannya saking panik. ‘Ya Allah lindungi Ahmad,’ Farzana berdoa dalam hati. Boim yang sibuk berkendara juga ikutan panik. Berkali-kali ia terus mengumpat karena lampu merah tak kunjung berubah menjadi hijau. “Sial!” umpat Boim keras sehingga bisa didengar oleh Farzana.“Astagfirullah Boim,” Farzana beristigfar karena geram melihat tingkah Boim.“Nih lampu merah kenapa lama amat sih!” bentak Boim sambil memukul spion sepeda motor sebelah kanan.“Sabar, bukan hanya kamu s