Baru pulang dari tempat bekerja Farzana langsung merebahkan diri ke tempat tidur. Hari ini sungguh melelahkan, banyak sekali pekerjaan yang harus ia lakukan. Selain ikut mengajar anak-anak mengaji di Masjid Al-Ghifari, gadis itu juga sibuk mengurus minimarket milik teman kuliahnya dulu. Ya hitung-hitung buat penghasilan tambahan. Badannya sangat letih karena seharian berdiri di meja kasir. Cukup banyak pembeli yang harus ia layani. Bukannya mengeluh, justru Farzana bersyukur karena Allah masih memberikan rezeki halal kepadanya.
Sewaktu mata ingin terlelap, tiba-tiba terdengar dering telepon. Tangan kanan Farzana meraba-raba tempat tidur mencari ponsel yang tadi ia lemparkan asal. Begitu dapat ia langsung membuka kunci layar dengan sekali usap. Tak disangka, ada sekitar 10 panggilan telepon masuk. Semua panggilan itu berasal dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Boim. Farzana sangat malas untuk mengangkat telepon itu. Gadis itu memang sengaja ingin menghindar dari Boim. Alasannya? Ia sendiri tidak tahu. Apakah karena marah atau cemburu? Entahlah, Farzana tidak terlalu mengerti dengan perasaannya saat ini.Namun saat pulang dari Masjid Al-Ghifari kemarin ia benar-benar dibuat kesal oleh Boim. Sepanjang perjalanan pulang pria itu lebih banyak mengobrol dengan Fatimah. Sementara dirinya tidak dianggap sama sekali. Hanya menjadi obat nyamuk diantara dua orang yang sedang bercengkerama ria. Apakah ini bisa diartikan sebagai perasaan cemburu? Sungguh gadis itu tidak tahu. Akan tetapi tatapan mesra Boim dan tutur kata lemah lembutnya kepada Fatimah waktu itu membuat Farzana iri. Pasalnya, selama menjadi sahabat Boim ia tak pernah sekalipun mendapatkan perlakuan manis semacam itu. Antara dia dan Boim lebih sering bertengkar dan adu mulut. Apalagi pria itu juga suka sekali menjahili dirinya. Melihat perlakuan Boim selama ini tidak mungkin jika pria itu juga memiliki perasaan yang sama kepadanya.Farzana takut kecewa. Ia tak mau kehilangan sahabatnya itu. Ia pun memilih melupakan perasaan itu dan menganggapnya tidak pernah ada. Dan salah satu cara untuk menghilangkannya adalah dengan menghindari Boim sementara waktu. Ia pun hanya menatap layar handphone sambil rebahan tanpa ada niat untuk menjawab. Setelah panggilan itu berhenti, langsung saja ia matikan handphone lalu menaruhnya di atas nakas. Farzana sedang tak ingin memikirkan apapun. Ia hanya ingin istirahat untuk menenangkan pikiran dan juga hatinya.***Keesokan paginya Farzana sudah rapi dengan setelan celana training dan kaos hitam berlengan panjang. Untuk hijabnya ia mengenakan model ciput ninja. Jadi bagian dadanya tidak tertutup. Dikarenakan hari ini Minggu, Farzana hendak menghabiskan waktunya dengan joging bersama teman-temannya. Saat sibuk merapikan hijab di depan cermin rias, gadis itu tiba-tiba terkejut karena melihat sang ibu tengah duduk bersandar di atas tempat tidurnya."Astagfirullah Umi. Ngagetin Zana aja!" Farzana membalikkan badan lalu berjalan menghampiri sang ibu."Ini telepon nak Boim kenapa enggak kamu jawab?" tanya Umi Kalsum sambil tangan kanannya menyodorkan handphone milik Farzana."Lagi males aja!" Farzana mengambil ponsel dan menatapnya sekilas."Kalau ada masalah diselesaikan. Jangan dihindari Zana," nasihat Umi Kalsum."Iya Umi," balas Farzana."Ya udah Umi tinggal dulu ya ke dapur. Jangan lupa telepon balik tuh nak Boim!" sambil berjalan ke arah pintu keluar Umi Kalsum mengingatkan Farzana."Iya umiku sayang!" jawab Farzana mencoba meyakinkan.Tekadnya untuk menghindari Boim pupus sudah. Tidak mungkin Farzana berani membantah perintah sang ibu. Jika tidak dilaksanakan ia takut dicap sebagai anak durhaka. Baiklah, mau tak mau ia akan menelepon Boim. Menghela nafas sejenak untuk menormalkan detak jantungnya yang entah mengapa tiba-tiba menggila.Gugup, Farzana sangat gugup. Padahal hanya menelepon Boim. Dulu sih dia biasa saja. Tetapi semenjak perasaan cinta mulai bersemi di hatinya ia jadi merasa sedikit canggung. "Bismilah!" ucapnya menyemangati diri sendiri.Gadis itu pun memberanikan diri membuka aplikasi buku kontak. Jari telunjuknya menggulung layar ke atas mencari nomor kontak Boim. Tak perlu waktu lama gadis itu berhasil menemukannya. Langsung saja ia tekan tombol panggil. Farzana cukup lama menunggu panggilan itu tersambung. Ia mulai merasa kesal karena Boim tak kunjung menjawab."Sudahlah, lebih baik aku tutup saja!"gerutu Farzana.Saat jari telunjuknya hendak menekan tombol merah, tiba-tiba terdengar suara serak seseorang dari seberang telepon sana."Assalamualaikum Zana!” salam Boim kepada Farzana.“Kenapa kamu semalam meneleponku?” Farzana bertanya tentang alasan Boim meneleponnya beberapa kali.“Aku mau minta maaf soal kemarin. Maaf kalau aku sudah mengabaikanmu. Kamu mau kan memaafkan aku Zana?” jadi Boim menelepon itu karena ingin minta maaf. Farzana jadi terenyuh dibuatnya. Wajah gadis itu langsung dipenuhi semburat merah di kedua pipinya. Jantungnya juga ikut berdetak sangat cepat. Bolehkah ia merasa senang? Lamunan yang sesaat itu tiba-tiba harus buyar karena suara Boim.“Zana, kamu mau kan memaafkan aku?” tanya Boim meminta kejelasan.“E e e e, a-a-a ku,-?” Farzana ragu untuk mengutarakan jawabannya. Belum sempat melanjutkan kalimatnya terdengar Umi Kalsum memanggil namanya dari arah dapur."Zanaaaa!!!!" panggil Umi Kalsum.“Maaf, kita bicara lain kali saja ya. Umi sudah memanggilku. Assalamualaikum!” Farzana akhirnya menutup teleponnya.Farzana melempar asal ponselnya di atas tempat tidur dan bergegas keluar kamar untuk menghampiri Umi Kalsum di dapur"Ada apa Umi memanggilku?""Kamu hari ini mau keluar ya?""Iya Umi!""Ka“Ke mana?""Joging sama temen-temen.""Pulangnya jangan lupa mampir ke rumah Pak Slamet ya. Tadi dia tawari Umi buah jambu dan katanya pohonnya sedang berbuah lebat."Oke umi!"Dahi Umi Kalsum berkerut heran kenapa putrinya masih berdiri di sampingnya dengan tangan kanan menengadah."Kenapa belum pergi, mau minta uang saku?""Ihhh enggak, aku mau salim umiku, Sayang!""Oh, ngomong dong. Kirain kamu mau minta uang jajan."Umi Kalsum langsung menyodorkan tangan kanannya ke arah Farzana. Gadis itu pun menggenggam tangan sang ibu lalu menciumnya penuh kasih sayang."Emang kalau aku minta boleh, Mi?""Enggak sih.""Ihhh, umi pelit. Udah ah aku pamit. Assalamualaikum!"“Waalaikumsalam!”Umi Kalsum senyum-senyum sendiri melihat kepergian putrinya yang kesal karena kejahilannya.Ketika Farzana sudah keluar rumah, dari kejauhan ia terkejut melihat keberadaan Boim. Dengan langkah sedikit berlari gadis sudah pergi meninggalkan rumahnya. Jangan sampai ia bertemu Boim. Tidak, Farzana belum siap harus berhadapan dengan pria itu. Terlebih tidak baik untuk kesehatan jantungnya saat ini.Dua sejoli berjalan bersama dalam suasana penuh kecanggungan. Keduanya tak ada yang berani bersua. Baik si pria maupun perempuan terus melangkah saling beriringan dengan kepala tertunduk. Setiap kali berpapasan dengan seseorang sang pria menyapa dengan seulas senyum terpaksa. Begitu pun sang perempuan, tersenyum sambil menganggukkan kepalanya satu kali. Berbagai pasang mata memandang mereka dengan tatapan binar bahagia. Banyak yang mengatakan bahwa keduanya memang pantas bersama. Bahkan sebagian orang yang tidak mengenal menganggap mereka sebagai pasangan suami istri.Kalau boleh jujur, sang pria merasa malu karena menjadi pusat perhatian. Akan tetapi sang wanita malah tersenyum bahagia di balik cadar hitamnya.“Fat, kamu tidak merasa risih ditatap semua orang kayak gitu?” tanya si pria.“Sejujurnya risih sih Ustaz. Tapi ya sudahlah. Biarkan saja, anggap mereka tidak ada,” bohong sekali Fatimah mengatakan itu. Dalam hatinya sih ia merasa senang dengan pujian yang dilontarkan or
Baru beberapa putaran mengelilingi kompleks Farzana sudah merasa kelelahan. Baju yang dipakainya pun jadi basah karena keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Nafas gadis itu sampai terengah-engah sangking lelahnya. Untuk bicara saja sudah tak kuat. Gadis itu pun meminta izin kepada teman-temannya untuk beristirahat sejenak. “Teman-teman is-ti-rahat se-bentar yuk. Kalian nggak ca-pek a-pa?” pinta Farzana terbata-bata karena nafasnya hampir habis.“Baru juga satu putaran kamu udah lelah aja Zana?” sahut Bella, salah satu teman Farzana.“Ya udah, kalau Zana kelelahan kita istirahat dulu teman-teman!” Marwa mengajak Bella, Shofie, dan Shasa untuk beristirahat.“Kita istirahat di mana, Wa?” tanya Shofie kepada Marwa.“Di supermarket aja yuk. Sekalian aku mau beli minuman,” ajak Shasa.Mengikuti saran Shasa, akhirnya keempat orang itu memilih supermarket sebagai tempat peristirahatan. Sementara Bella, Shofie, Farzana, dan Marwa duduk-duduk santai di emperan, Shasa memilih masu
Sewaktu Boim dan Fatimah sedang asyik berbincang sambil menikmati seporsi mie ayam super jumbo, mendadak Boim terkejut ketika pandangan matanya melihat ke arah pohon seberang jalan. Pria itu mencoba memicingkan kedua matanya untuk memastikan sesuatu. Dan ternyata benar dugaannya. Di atas pohon itu ada seseorang yang tengah memetik buah. Akan tetapi yang membuat Boim heran adalah penampilan orang itu seperti tidak asing baginya. Boim mencoba mengingat-ingat kembali memori yang mungkin saja ia lupakan. Sangking sibuknya berpikir pria itu bahkan tak menghiraukan Fatimah sama sekali. ‘Dimana aku pernah melihatnya?’ tanya Boim dalam hati. Benar-benar buntu, Boim tak menemukan ingatan satupun tentang orang itu. Beruntung nasib baik berpihak kepadanya. Ketika orang itu menoleh ke kanan terlihatlah keseluruhan wajahnya. Sungguh Boim tak menyangka, ternyata orang itu memang sosok yang dikenalnya. Tanpa membuang banyak waktu lagi, Boim menaruh mangkok mie ayamnya lalu bangkit dari tempat duduk
Dikarenakan Boim tak menggubris panggilannya sama sekali, Fatimah pun memilih menyusul Boim. Gadis itu bangkit dari tempat duduknya lalu menyeberang jalan dengan sangat hati-hati. Matanya tak berhenti menoleh ke samping kiri dan kanan memastikan tidak ada kendaraan yang melintas. Ketika sudah dirasa sepi, Fatimah bergegas menyeberang jalan dengan tergesa-gesa. Setelah berhasil menyeberang, ia berjalan masuk ke arah rumah berlantai dua. ‘Kalau tidak salah tadi Boim menuju kemari,’ pikirnya. Pada saat Fatimah masuk, pintu gerbang rumah itu sudah terbuka. Dan begitu sampai di halaman depan gadis itu terkejut melihat Farzana tengah berada dalam gendongan Boim. Keduanya yang saling bertatap mesra tentu saja membuat Fatimah cemburu. Tangan gadis itu pun tiba-tiba mengepal keras seperti sedang menahan emosi. Ketika Fatimah hendak menghampiri Boim dan Farzana, tiba-tiba dia mendapat sebuah bisikan dari telinga kanannya.“Sebaiknya kamu diam dan lihat apa yang terjadi. Tahan emosimu dan
Dua orang anak manusia sedang duduk santai menyantap seporsi bakso di tengah hawa panas yang mendera Kota Malang beberapa minggu terakhir. Kuah bakso bening bercampur sambal super pedas begitu meningkatkan nafsu makan keduanya. Sembari menggigit bulatan bakso yang cukup besar, Nadia juga membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengarkan curhatan sang sahabat. Siapa lagi kalau bukan Fatimah, sahabat setia yang selalu membersamai dirinya sedari kecil.Hari ini sengaja Fatimah mengajak Nadia makan siang di warung bakso depan Masjid Al-Ghifari guna meminta saran kepada sahabatnya itu. Apa yang sudah dilaluinya kemarin dengan Boim akan Fatimah ceritakan. Ia tak tahan jika harus memendam sesuatu seorang diri. Setidaknya dengan bercerita kepada seseorang beban dalam hatinya akan berkurang sedikit demi sedikit. Meski ya rasa sakit itu masih ada. Orang yang bisa Fatimah percaya hanyalah Nadia seorang. Tak ada lagi teman yang dapat mengerti dirinya selain Nadia. Cerita kepada orang tuanya pu
Seperti biasa hari ini Farzana hendak pergi ke Masjid Al-Ghifari untuk mengajar anak-anak mengaji. Baru memasuki pintu gerbang dia sudah disuguhkan pemandangan yang menyakitkan hati. Tepat di depan ruang kelas ada Boim dan Fatimah yang tengah berbincang ria. Keakraban kedua orang itu sungguh mencabik-cabik ulu hatinya. Namun ia mencoba tak peduli dan langsung memasuki ruang kelas. Boim sempat melihat Farzana sekilas. Namun sayang, si gadis terus melangkah dan tak mau membalas tatapannya. Boim merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu. Mungkinkah dia masih marah? pikirnya. Helaan nafas berat langsung ia keluarkan karena tak tahan dengan sikap Farzana yang cuek kepadanya. Dikarenakan sibuk memikirkan Farzana, Boim jadi lupa kalau di depannya masih ada Fatimah. Untunglah gadis itu tak menyadari bahwa sedari tadi Boim sedang melamun. Buru-buru ia alihkan kembali fokusnya kepada Fatimah.“Jadi ustaz mau kan?” tanya Fatimah.Dahi Boim berkerut heran karena tak mengerti apa yang dimak
Motor Boim melaju sangat kencang menembus jalan raya yang padat di siang hari. Di boncengan belakang Farzana tak henti-hentinya merapal doa untuk Ahmad. Anak laki-laki itu masih tertidur dan belum bangun dari pingsannya yang begitu lama. Dalam dekapan Farzana, Ahmad tertidur sangat nyenyak. Beberapa kali gadis itu mencoba mengguncang-guncang tubuh sang bocah namun tak ada respon sama sekali.Farzana mulai ketakutan setengah mati. Takut terjadi sesuatu pada Ahmad. Keringat dingin tak berhenti mengucur deras di kepalannya saking panik. ‘Ya Allah lindungi Ahmad,’ Farzana berdoa dalam hati. Boim yang sibuk berkendara juga ikutan panik. Berkali-kali ia terus mengumpat karena lampu merah tak kunjung berubah menjadi hijau. “Sial!” umpat Boim keras sehingga bisa didengar oleh Farzana.“Astagfirullah Boim,” Farzana beristigfar karena geram melihat tingkah Boim.“Nih lampu merah kenapa lama amat sih!” bentak Boim sambil memukul spion sepeda motor sebelah kanan.“Sabar, bukan hanya kamu s
Saat hendak keluar dari ruang perawatan Ahmad, Farzana tak sadar telah menabrak seseorang. Seketika badannya mau terjatuh, tapi untungnya seorang pria berperawakan tinggi langsung menarik tangannya. Tanpa sengaja tubuh Farzana pun jatuh ke dalam dekapan pria itu. Sontak hal itu membuatnya kaget. Ia pun mendongak ke atas dan melihat wajah sang pria. Ternyata itu ayahnya Ahmad yang bernama Pak Idris. “Kamu tidak apa-apa Zana?” tanya Pak Idris memastikan Farzana baik-baik saja.“I i iya pak. Saya tidak apa-apa. Maaf saya tidak melihat jalan,” jawab Farzana sedikit kikuk.“Seharusnya saya yang minta maaf karena tak melihat ada kamu,” ucap Pak Idris merasa bersalah.Di sela-sela obrolan Farzana dan Pak Idris tiba-tiba ada suara deheman dari arah belakang. Farzana langsung menoleh ke belakang dan Pak Idris melihat ke arah depan. Dan orang yang berbuat ulah itu adalah Boim. Tanpa ada rasa bersalah, Boim buru-buru mengalihkan pandangan dan bersikap seolah pura-pura tidak tahu apa-apa.