Kokok ayam jantan berbunyi dengan gagah berani. Bulan telah tenggelam dan matahari akan segera terbit. Ribuan bintang pun mulai menyembunyikan diri di balik atmosfer Bumi. Dalam naungan langit subuh, Farzana terbangun dari lelapnya mimpi dengan raut wajah bercampur aduk.
“Ya Allah … kenapa hamba-Mu ini mimpiin Boim lagi? Apa ini gejala penyakit baru? A-atau sebuah pertanda?” Farzana menepuk kedua pipinya yang terasa hangat. Bayangan gagah Boim dalam setelan jas hitam masih terbayang.Sudah beberapa minggu Farzana terjebak dalam keadaan ini, sampai-sampai dirinya hampir tidak bisa mengelak lagi gejolak rasa asing yang telah bersemayam di dalam dada.TRING! Dering notifikasi khusus jika Boim mengirimkan pesan berhasil membuyarkan lamunan Farzana. Gadis itu segera meraih benda pipih yang tergeletak di atas nakas di samping kasurnya.“Assalamu’alaikum wahai Ukthi, sudah bangun?” Isi pesan dari BoimSahabatnya itu setahu Farzana adalah satu dari sekian manusia yang jarang sekali memegang ponsel, apalagi berbagi pesan kecuali dalam beberapa keadaan tertentu. Jadi, Farzana sekarang tengah kebingungan karena akhir-akhir ini Boim cukup sering mengiriminya pesan walau hanya sekedar basa-basi atau hanya untuk mengejeknya.“Wa’alaikumus salam,” balas Farzana singkat, meski sekarang entah kenapa hatinya bergemuruh hebat.“Udah salat subuh?”Boim langsung membaca dan membalas pesan dari Farzana pada detik yang sama, seolah-olah memang tengah menunggu dengan antusias. Membayangkan tentang hal tersebut, pipi Farzana langsung bersemu merah.“Ini lagi mau wudu. Kenapa? Mau jadi imam?” Farzana melontarkan candaan seperti biasa, tapi dia tidak pernah menduga pada balasan ajaib Boim.“Tentu. Kamu mau saya lamar kapan?”“Audzubillahiminasyaitonirojim!” pekik Farzana reflek sambil melempar ponselnya, untung saja benda pipih itu yang tergeletak malang di lantai itu tidak retak. “Apa sih, Boim? Biasanya dia risih kalau aku candain kaya gitu!”Farzana segera beranjak untuk mengambil air wudu dan mengabaikan pesan dari Boim barusan. Sepanjang hari itu, Farzana berusaha keras menyibukkan diri agar melupakan ajakan nikah dari sahabatnya sendiri. Gadis itu juga yakin kalau Boim hanya bercanda dan tidak serius. Boim pasti ingin main-main saja, dan hal itu membuat Farzana semakin merasa frustrasi.“Loh, Nak. Kamu kok, masih di sini?”Pertanyaan dari sang ibu membuat Farzana yang baru saja selesai makan malam itu jadi kebingungan.“Emangnya kenapa kalau aku masih di sini, Umi?” tanya Farzana balik.Ibunya tampak mengernyitkan kening. “Bukannya kamu akhir-akhir ini sibuk jadi panitia buat acara dakwah di Masjid Al-Ghifari?”“Allahu Akbar, Umi!” pekik Farzana diserang panik. “Makasih, ya! Hampir aja Farzana kelupaan, astagfirullah!”Dengan gerakan gesit, wanita bertubuh mungil tetapi berpenampilan tomboi itu segera bersiap-siap untuk berangkat ke Masjid Al-Ghifari. Sepanjang jalan, Farzana tidak henti-hentinya menyalahkan Boim atas semua kelalaian yang menimpa dirinya.Sesampai di depan Masjid Al-Ghifari, sosok Boim adalah orang pertama yang menyambutnya. Tampak laki-laki itu langsung menghampiri Farzana padahal sebelumnya Boim tengah mengobrol dengan Fatimah dan Nadia di sudut lain.“Assalamu’alaikum, Farzana. Kenapa telat? Kamu juga gak balas chat. Sakit, ya? Atau gak enak badan? Jangan dipaksain, kamu bisa istirahat dulu.”Segala emosi berupa murka dan kekesalan kepada Boim sebelumnya langsung sirna hanya dalam hitungan satu detik saja, seperti sepucuk api yang diguyur air hujan. Amarah Farzana langsung padam dan berganti dengan rasa asing yang menggelitik perutnya.“Wa’alaikumus salam. Enggak, kok. Aku sehat-sehat aja. Tadi cuman kelupaan soalnya lagi ngerjain hal lain.”“Beneran? Jangan lupa saya ini ketua panitianya. Jadi kalau ada kendala, kamu bisa kasih tahu saya. Saya juga bertanggung jawab penuh kalau ada apa-apa sama kamu.”Baru satu detik hati Farzana mendayu di lautan ambigu, kini wanita tersebut sudah menemukan dermaga baru yang ternyata tidak seindah itu.Jelas saja semua perhatian Boim kepadanya memiliki landasan. Boim sebagai ketua panitia tentu harus mengurus banyak hal termasuk kondisi para panitia yang lainnya. Jadi bisa Farzana simpulkan kalau apa yang Boim lakukan sekarang, pasti laki-laki itu juga lakukan kepada semua orang. Maka daripada itu Farzana tidak bisa merasa bahwa dirinya istimewa, karena pasti di mata Boim semua panitia berkedudukan sama.Setelah salat Isya berjamaah, Farzana mulai sibuk menghitung dana yang akan keluar dan masuk untuk kegiatan besok. Lalu ia mendengar suara Boim menghampirinya.“Kamu masih sibuk? Perlu bantuan?”Farzana menggeleng pelan lalu mendongak untuk menatap Boim. Mata teduh laki-laki itu kini selalu berhasil membuat gumpalan daging di dalam dadanya bergejolak seolah akan segera meledak.“Sebentar lagi selesai, kok. Kenapa?”Boim berdehem, tampak gugup untuk menyampaikan. “Saya tahu kamu posisinya sebagai bendahara dan memang bukan jobdesk kamu di bagian ini. Kalau kamu bisa dan tidak keberatan, tolong temani saya menyambut tamu kehormatan untuk acara besok. Cuman menemani makan, ngobrol, dan mengantar ke penginapan untuk malam ini.”Bagaikan gayung yang disambut dengan tangan emas, Farzana girang luar biasa. Dia baru saja membuka mulut untuk menjawab, tetapi dua orang wanita yang ternyata sedari tadi menguping pembicaraan mereka langsung menyela.“Biar Fatimah saja, ustaz Boim!” seru Nadia sambil menarik seorang wanita bercadar ke tengah mereka.“Astagfirullah … bikin kaget saja, Nadia.” Boim menegur sopan.Mengibaskan tangan, Nadia kembali menarik Fatimah untuk berdiri tepat di samping Farzana. Hingga tampaklah perbedaan yang jelas antara kedua wanita itu. Bagaikan langit dan bumi. Satunya tampak alim dengan pakaian serba tertutup dilengkapi cadar, satunya tampak biasa saja dengan pakaian muslim seadanya.“Ustaz lihat? Fatimah lebih cocok dibawa nemenin ustaz buat nyambut tamu! Dari segi penampilan aja siapa pun termasuk tamu bisa nilai lebih enak dilihat yang mana. Lagi pula, Farzana juga kayanya sibuk dengan jobdesk dia. Iya kan, Farzana?”Diserang oleh temannya sendiri seperti itu, Farzana tampak kebingungan dan hanya bisa mengangguk canggung. Rasa percaya dirinya langsung luruh jika dibandingkan dengan sosok alim seperti Fatimah.“N-Nadia bener. Bawa Fatimah aja.”Boim tampak keberatan. “ Fatimah kan, bukan bagian dari panitia.”Mendengar itu, Fatimah yang dari tadi terlihat malu-malu langsung angkat suara. “Enggak papa kok! Saya gak keberatan nemenin ustaz buat menyambut tamu. Jadwal saya kebetulan kosong soalnya kemarin udah habis setoran Surah Al-Kahfi sama guru saya.”Melihat situasi tidak terelakkan itu, Bomi hanya bisa tersenyum simpul “Ya sudah kalau gitu. Mari, Fatimah.”Keduanya langsung pergi setelah mengucapkan salam. Farzana hanya bisa meremas pena yang ada dalam genggamannya. Tersulut rasa panas di dalam dada mana kala melihat keserasian antara Boim dan Fatimah.Rasa kalut di hati Farzana makin bertambah ketika Nadia pamit setelah memberikannya tatapan yang tidak mengenakkan. Farzana tetap memantapkan hati untuk tidak mencap Nadia dengan penilaian yang buruk.“Mungkin aku cuman salah paham atau … memang ada sesuatu?”“Serta … semoga Engkau memberikan hamba petunjuk dan tolong kuatkan hamba ya Allah, aamiin,” tutup Farzana dalam salat subuhnya dengan sangat khusyuk. Raut wajah Farzana tampak cukup buruk.Bagaimana tidak? Malam ini Farzana bermimpi hal yang menurutnya sangat mengerikan. Itu adalah mimpi buruk yang lebih menakutkan daripada mimpi dikejar oleh setan. Tema mimpi Farzana biasanya adalah keluarga bahagia dengan Boim, tetapi khusus malam tadi ia melihat Boim duduk bersanding bersama wanita lain yang tidak lain dan tidak bukan adalah Fatimah di atas pelaminan.Berusaha menepis segala pikiran kalutnya, Farzana langsung bersiap di kala pagi buta. Ia mandi, sarapan, dan membersihkan rumah lalu segera mengganti pakaian dengan celana dan tunik. Hal ini Farzana putuskan karena tadi malam ia mendapat pesan dari divisi humas, kalau mereka kekurangan orang dalam mengantar proposal dan jadilah Farzana yang turun tangan setelah meminta izin dari Boim. Sebenarnya Farzana sedikit tidak menyangka pesann
“Masya Allah … terima kasih banyak, ya, Ustadz Boim udah nolongin anak Umi,” lirih wanita paruh baya itu sambil melepaskan pelukan eratnya. Ia lalu menggenggam kedua tangan Boim. “Nanti kapan-kapan mampir ke rumah, Umi mau masak buat Ustaz Boim sebagai tanda terima kasih. Kalau gak ada Ustaz Boim, Umi gak tahu lagi siapa yang bisa dipercaya buat jaga Zana.”“Ahaha … iya Umi, gak usah repot-repot. Ini emang udah jadi tugas saya buat jaga Zana. Malahan saya mau minta maaf sama Umi, soalnya karena saya lalai, Zana jadi terluka kaya gini.”Mengibas tangan, Umi Kalsum menggeleng pelan. “Ustaz sama Umi tahu sendiri gimana cerobohnya Zana.”“Umi!” seru Farzana yang sudah tidak tahan melihat ibunya mempermalukan anaknya sendiri, apalagi di hadapan Boim. “Anak Umi itu sebenarnya siapa? Yang sakit juga di sini, bukan Ustaz Boim,” keluh Farzana berusaha mengalihkan pembicaraan.“Ya, Umi udah tahu kamu baik-baik aja, makanya Umi mau berterima kasih sama Ustaz Boim lebih dulu.”Umi mendekati F
“Oh, jadi kalau kita mau minta sesuatu sama Allah itu harus jelas banget?” Farzana mengulangi kalimat yang diterangkan oleh Boim barusan.Laki-laki yang sengaja memperlambat langkah demi kenyamanan Farzana itu mengangguk pelan. “Misal kamu mau minta sesuatu … jelasin ke Allah kondisi lengkapnya seperti apa, jam berapa, tanggal, bulan, dan tahun berapa. Itu semua harus kamu sebutin kalau kamu mau do’a kamu gak meleset ke mana-mana.”“Tapi kan, Allah Maha Mengetahui.”“Zana … Allah memang Maha Mengetahui, tapi gak gitu konsepnya.”“Memangnya gimana?”“Coba deh, kamu minta buah Apel sama Umi … orang yang mengandung, melahirkan, dan ngebesarin kamu. Kamu udah mikir, ‘Ah, ini pasti Umi tahu aku mau buah apa, jadi minta buah ajalah, gak usah disebutin apelnya biar gak ribet’, tapi pada kenyataanya gak gitu, kan? Kamu gak tahu kalau Umi punya ribuan buah, dan setelah memperhitungkan baik dan buruknya, Umi ngasih kamu buah Mangga. Kamu jadi gak terima, padahal itu bukan salah Umi kamu.”
Langit cerah menyinari setiap insan yang tengah terlelap dalam dunia mimpi. Secercah cahaya sang mentari menembus ke setiap celah sudut-sudut ruangan di rumah minimalis berlantai dua. Tepat di sebuah kamar bernuansa abu-abu terlihat seorang pangeran tidur telungkup tertutup selimut tebal. Kepalanya miring ke kanan sementara tangan kiri menjuntai ke bawah dan tangan kanan terlentang di atas tempat tidur. Menurut orang malas itu posisi tidur paling enak.Sayang, tidur nyenyak sang pangeran tak bertahan lama. Dibalik pintu bercat putih terdengar suara teriakan seorang perempuan diiringi gedoran pintu sangat keras. Sudah 3 kali suara itu berteriak meminta dibukakan pintu. Namun sang pangeran tak menghiraukannya sama sekali. Dia masih tetap nyaman dalam posisi tidur. Entah telinganya tersumbat apa? Seolah suara keras itu tak terdengar olehnya.Akan tetapi saat suara ponsel berdering, sang pangeran langsung terbangun dari tidurnya. Matanya yang tertutup mendadak terbuka lebar dan secepat
Gadis itu keluar rumah seorang diri tanpa menghiraukan ajakan temannya. Ia terus melangkah menuju sebuah tempat yang dihuni oleh sang pujaan hati. Hatinya terasa berbunga-bunga karena tak sabar ingin memberikan hasil kreasi masakan spesialnya. Senyum bahagia tak pernah lepas dari wajah cantiknya. Meski tertutup oleh selembar kain, tetapi mata yang bersinar cerah dapat menunjukkan bahwa si gadis itu tengah berbahagia. Sahabatnya yang berjalan mengekor di belakang sampai geleng-geleng kepala karena heran. ‘Cuma nganter makanan saja kamu udah sesenang ini, apalagi kalau udah lihat wajahnya!’ batin sang sahabat. Dikarenakan keasyikan melamun, sahabat gadis itu tanpa sengaja menubruk dahi sang gadis yang tiba-tiba saja membalikkan badan.“Aduhhhh!” pekik kedua orang itu.“Fatimah, sakit tahu!” gerutu sang sahabat karena merasa kesakitan di bagian dahinya.“Maaf, maaf, maaf. Kamu enggak apa-apa kan, Nad?” tanya Fatimah sambil ikut mengelus dahi Nadia.“Nggak apa-apa kok. Tapi ya git
Baru pulang dari tempat bekerja Farzana langsung merebahkan diri ke tempat tidur. Hari ini sungguh melelahkan, banyak sekali pekerjaan yang harus ia lakukan. Selain ikut mengajar anak-anak mengaji di Masjid Al-Ghifari, gadis itu juga sibuk mengurus minimarket milik teman kuliahnya dulu. Ya hitung-hitung buat penghasilan tambahan. Badannya sangat letih karena seharian berdiri di meja kasir. Cukup banyak pembeli yang harus ia layani. Bukannya mengeluh, justru Farzana bersyukur karena Allah masih memberikan rezeki halal kepadanya. Sewaktu mata ingin terlelap, tiba-tiba terdengar dering telepon. Tangan kanan Farzana meraba-raba tempat tidur mencari ponsel yang tadi ia lemparkan asal. Begitu dapat ia langsung membuka kunci layar dengan sekali usap. Tak disangka, ada sekitar 10 panggilan telepon masuk. Semua panggilan itu berasal dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Boim. Farzana sangat malas untuk mengangkat telepon itu. Gadis itu memang sengaja ingin menghindar dari Boim. Alasan
Dua sejoli berjalan bersama dalam suasana penuh kecanggungan. Keduanya tak ada yang berani bersua. Baik si pria maupun perempuan terus melangkah saling beriringan dengan kepala tertunduk. Setiap kali berpapasan dengan seseorang sang pria menyapa dengan seulas senyum terpaksa. Begitu pun sang perempuan, tersenyum sambil menganggukkan kepalanya satu kali. Berbagai pasang mata memandang mereka dengan tatapan binar bahagia. Banyak yang mengatakan bahwa keduanya memang pantas bersama. Bahkan sebagian orang yang tidak mengenal menganggap mereka sebagai pasangan suami istri.Kalau boleh jujur, sang pria merasa malu karena menjadi pusat perhatian. Akan tetapi sang wanita malah tersenyum bahagia di balik cadar hitamnya.“Fat, kamu tidak merasa risih ditatap semua orang kayak gitu?” tanya si pria.“Sejujurnya risih sih Ustaz. Tapi ya sudahlah. Biarkan saja, anggap mereka tidak ada,” bohong sekali Fatimah mengatakan itu. Dalam hatinya sih ia merasa senang dengan pujian yang dilontarkan or
Baru beberapa putaran mengelilingi kompleks Farzana sudah merasa kelelahan. Baju yang dipakainya pun jadi basah karena keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Nafas gadis itu sampai terengah-engah sangking lelahnya. Untuk bicara saja sudah tak kuat. Gadis itu pun meminta izin kepada teman-temannya untuk beristirahat sejenak. “Teman-teman is-ti-rahat se-bentar yuk. Kalian nggak ca-pek a-pa?” pinta Farzana terbata-bata karena nafasnya hampir habis.“Baru juga satu putaran kamu udah lelah aja Zana?” sahut Bella, salah satu teman Farzana.“Ya udah, kalau Zana kelelahan kita istirahat dulu teman-teman!” Marwa mengajak Bella, Shofie, dan Shasa untuk beristirahat.“Kita istirahat di mana, Wa?” tanya Shofie kepada Marwa.“Di supermarket aja yuk. Sekalian aku mau beli minuman,” ajak Shasa.Mengikuti saran Shasa, akhirnya keempat orang itu memilih supermarket sebagai tempat peristirahatan. Sementara Bella, Shofie, Farzana, dan Marwa duduk-duduk santai di emperan, Shasa memilih masu