Ketika Boim keluar dari minimarket, sepasang mata melihatnya dari kejauhan. Orang tersebut tidak lain dan bukan adalah Fatimah. Semenjak Boim berada di dalam sampai akhirnya keluar, gadis itu terus berdiri di seberang jalan mengamati sedari tadi. Ia bahkan cukup terkejut dengan siapa Boim bertemu. Siapa lagi kalau bukan menemui Farzana Nazia. Musuh bebuyutan sekaligus rival terberatnya. Meskipun gadis itu sudah keluar dari Masjid Al-Ghifari, Boim masih saja mengejarnya. Hal ini pula yang membuat Fatimah semakin benci dengan si gadis tomboy itu. Kenapa harus dia yang mendapatkan perhatian Boim? Kenapa bukan dirinya? pikir Fatimah.Kedua tangan Fatimah mengepal kuat mencoba menahan amarah yang sejak dari tadi ingin ia lampiaskan. Melihat gadis tomboy itu duduk di meja kasir dengan senyum merekah membuatnya kian kesal. Sudah bisa dipastikan bahwa Farzana memiliki perasaan yang sama seperti Boim. Ekspresi di wajahnya yang tersenyum bahagia adalah buktinya. Sesama wanita Fatimah bisa mer
Fatimah menghampiri seorang pria yang baru saja masuk ke area parkir Masjid Al-Ghifari. Sangking tak sabarnya ia sampai berlari hingga tak memedulikan panggilan Nadia. Dengan nafas terengah-engah Nadia mengejar Fatimah. Ia sangat kesal hanya karena sahabatnya itu tak mau menunggui dirinya sebentar saja. Alhasil, Nadia pun harus lari secepat mungkin agar tak tertinggal jauh. Apalagi lorong masjid Al-Ghifari lumayan panjang. Untuk sampai di tempat parkir saja harus menempuh jarak 200 meter. Mengingat masjid tersebut adalah masjid terbesar di Kota Malang dengan desain bangunannya menyerupai Masjid Hagia Shopia di Turki.Sesampainya di tempat parkir, baik Fatimah maupun Nadia langsung menghampiri seorang pria yang tengah memarkirkan sepeda motor sportnya. Ketika selesai dan si pria membuka helm full face-nya, Fatimah mendesah kecewa. Ternyata pria itu bukanlah Boim. Akan tetapi Pak Idris, ayahnya Ahmad. Salah satu murid bimbingan Fatimah. Pak Idris tersenyum kepada dua orang gadis yang
"Nad Nad, sebaiknya jangan deh!" ucap Fatimah sambil melepaskan tangannya dari genggaman Nadia."Emangnya kamu nggak penasaran gitu?" tanya Nadia meyakinkan Fatimah agar mengikuti rencananya."Ya penasaran, tapi,-" "Nggak ada tapi-tapian. Udah yuk," ajak Nadia yang langsung menarik tangan Fatimah.Kedua gadis itu berlarian menyusuri lorong masjid Al-Ghifari hendak menuju kantor guru. Tempat dimana Idris dan Boim sedang melakukan rapat rahasia. Begitu sampai disana, baik Fatimah dan Nadia sedikit terkejut melihat Idris keluar dengan wajah yang dipenuhi kobaran api amarah. Tatapan matanya lurus memandang ke arah depan hingga tak memedulikan sapaan Nadia dan Fatimah. Idris berjalan terus melewati kedua gadis itu. Nadia sedikit kecewa karena sapaannya tidak terbalas. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca Nadia menatap punggung Idris yang mulai menjauh menuju tempat parkir.Fatimah yang melihat cairan bening mulai keluar dari mata sang sahabat jadi merasa iba. Ia tahu bagaimana rasanya
Hati Fatimah terasa tersayat melihat kondisi Boim yang tak berdaya ini. Ia memeluk kepala pria itu dalam dekapannya sambil menangis sesenggukan. Setetes demi setetes air mata Fatimah jatuh membasahi wajah tampan Boim. Ia tak tega dengan keadaan sang pujaan hati yang mengenaskan ini. Siapapun pelakunya semoga orang itu mendapat karmanya, doa Fatimah dalam hati. Dengan telaten jari jemari kanan gadis itu membersihkan aliran darah yang keluar dari hidung Boim menggunakan tisu. Sangat melelahkan, karena darah itu tak mau berhenti mengalir. Sambil terus memberikan ceceran darah itu, sesekali pandangan mata Fatimah melihat ke arah pintu. Gadis itu tengah menantikan seseorang Akan tetapi sudah lebih dari 1 jam orang tersebut belum juga datang. Ia hanya bisa berdoa semoga mobil yang dibawa orang itu tidak terjadi apa-apa di jalan. Untuk menghilangkan kepanikan dalam dirinya, Fatimah terus mengucap kalimat istigfar sebanyak-banyaknya. Entah sudah berapa kali, tapi yang jelas sedikit demi sed
Seorang pria berperawakan tinggi dan bertubuh besar sedang menatap Fatimah penuh minat. Ia tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya yang berkilau bak seorang model iklan pasta gigi. Wajah pria itu sangat tampan. Percampuran antara Arab dan Indo. Terdapat jenggot tipis tepat di bawah dagunya. Rambutnya klimis berwarna hitam dan tersisir rapi. Aura ketampanannya kian terpancar dengan jas putih, kemeja putih, dan celana bahan berwarna hitam menutupi sekujur tubuhnya yang atletis.Melihat ketampanan pria itu saja Fatimah sampai harus menelan salivanya dalam-dalam karena sangking terpesonanya. Namun cepat-cepat ia hilangkan rasa ketertarikan itu mengingat Boim sedang bersamanya sekarang. Ya meskipun dia tak sadarkan diri. Tapi tetap saja, ia harus menjaga hatinya hanya untuk Boim seorang. Tidak akan ia biarkan pria lain menggeser tempat tersebut. Sampai kapanpun posisi itu hanya bisa ditempati oleh Ustaz Boim.Untuk memecah keheningan, buru-buru Fatimah membuka suara guna menghilangkan k
Tangan pria itu sedari tadi menunjukkan pergerakan. Satu per satu jari jemarinya bergerak secara perlahan. Mulai dari ibu jari hingga jari kelingking. Kelimanya bergerak secara bergantian. Tatapan mata gadis yang berada di sampingnya mulai berkaca-kaca. Suatu tanda yang menunjukkan bahwa betapa bahagia dia sekarang ini. Sungguh anugerah Tuhan yang Maha Kuasa. Momen sadarnya orang terkasih adalah yang paling ia tunggu-tunggu. Sebenarnya ia masih kurang percaya. Namun itu tak berlangsung selama setelah mata sang pujaan hati terbuka sepenuhnya. Gadis itu mendekat dan memanggil-manggil namanya."Ustaz Boim, Ustaz Boim, Ustaz sudah sadar. Alhamdulillah ya Allah!" panggil Fatimah seraya mengucap syukur.Meskipun Boim sudah kembali ke dunia nyata. Akan tetapi nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Dia masih setengah sadar dan menatap kosong langit-langit kamar Fatimah. Untuk mengembalikan kesadarannya, Boim kembali memejamkan kedua matanya. Selang beberapa detik kemudian ia perlahan-lahan m
"Maaf non. Bibi tidak sengaja," kata seorang wanita paruh baya yang merasa ketakutan.WajahWajah wanita itu terasa kalut melihat ekspresi sang majikan yang tak begitu bersahabat. Seorang gadis muda berjalan ke arahnya dengan tatapan mata penuh selidik. Wanita paruh baya itu tak berani memandang dan memilih sibuk memungut pecahan gelas yang berceceran di atas lantai. Sewaktu datang ke kamar majikannya tadi, ia begitu kaget hingga tak sadar menjatuhkan gelas yang dibawanya. Alhasil, minuman yang seharusnya diserahkan kepada tamu sang majikan pun tumpah ke mana-mana. Lantai kamar pun basah dipenuhi genangan air. Ya walaupun tidak terlalu banyak. Akan tetapi tumpahannya mengenang ke seluruh area lantai di sekitar kaki wanita itu."Sudah tidak apa-apa, Mari saya bantu bereskan," kata sang majikan sambil duduk berjongkok di hadapan asisten rumah tangganya. Ketika tangan gadis muda itu hendak menyentuh salah satu pecahan kaca, tiba-tiba tangannya dicekal seseorang. Ia pun langsung menol
Setelah Fatimah menjadi asisten pribadinya, Boim merasa terbantu. Kini pengaturan jadwal ceramah telah tertata rapi dan tak berantakan seperti dulu. Ia pun jadi punya banyak waktu untuk mengunjungi Farzana. Meskipun tanggapan gadis itu masih sama saja. Tetap dingin, cuek, dan judes. Tetapi tak jadi masalah bagi Boim. Ia tahu dibalik sikap tak bersahabat itu ada secercah rasa perhatian yang memang sengaja disembunyikan. Kan tahu sendiri, seorang Farzana Nazia memang punya tingkat gengsi selangit. Mumpung hari ini Minggu dan Fatimah juga mengabarkan tidak ada jadwal ceramah, Boim pun berencana mengunjungi rumah Farzana. Tujuannya tidak lain ingin mengajak sahabatnya itu joging bersama. Apalagi sudah lama mereka jarang keluar berdua. Pokoknya hari ini ia akan menghabiskan waktu liburan bersama Farzana. Dan tak seorang pun bisa mencegahnya. Kerinduan yang teramat dalam sudah menggerogoti relung hatinya. Akibat acara ceramah di luar kota beberapa minggu lalu, ia terpaksa berpisah sebent