Boim melangkah dengan mantap menuju rumah Farzana, hatinya berdebar-debar campur aduk. Hari itu, langit cerah memancarkan sinar hangat di atasnya. Boim merenung sejenak tentang misinya, yaitu meyakinkan Farzana untuk menjadi asisten pribadinya. Dia yakin bahwa kehadiran Farzana akan memberikan nuansa baru dalam setiap ceramahnya, membuat pesannya lebih mendalam dan menyentuh di hati pendengar.Ketika kaki Boim sampai di ambang pintu keluar, dari arah belakang terdengar suara orang terbatuk-batuk. Siapa lagi orang itu kalau bukan Abi Thalib, ayahnya Boim. Sang ayah berjalan mendekat ke arah putranya dan hendak bertanya."Kamu mau pergi ke mana pagi-pagi gini?" tanyanya.Boim garuk-garuk kepala karena merasa grogi jika harus menjawab ingin ke rumah Farzana."Hhhhmm anu Abi, Boim mau...,""Pasti Abang mau ke rumahnya calon mantu umi ya?" sela Umi Salma yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi dua cangkir kopi."Kok umi tahu?" tanya Boim kepada Umi Salma."Ya i
Farzana yang tengah menata rak pembalut tiba-tiba merasa terkejut mendengar suara seseorang berteriak dari arah meja kasir. Ia pun menghentikan aktivitasnya lalu berjalan ke arah sana. Begitu keluar dan melihat sosoknya, Farzana tak menduga ternyata sang pembeli itu adalah Boim. Bagaimana ini, apakah dia lari saja? Akan tetapi kalau ia melakukan hal itu sama saja melalaikan tugasnya. Dengan terpaksa Farzana pun menghampiri Boim. Pada saat itu Boim sedang berdiri di depan meja kasir membelakangi Farzana. Jadi pria itu tidak kalau petugas kasir yang ia panggil adalah sahabatnya sendiri. Ketika terdengar suara langkah kaki mendekat Boim pun berbalik. Ia syok melihat Farzana mengenakan kaos berkerah berwarna merah dan bawahan celana hitam yang notabene seragam petugas minimarket. Gadis itu santai saja berjalan ke arah meja kasir dan tidak memedulikan tatapan mata Boim yang tengah menatapnya intens. "Bisa saya lihat belanjaannya, pak?" kata Farzana yang memecah keheningan.Boim yang
Farzana merasa jengah dengan Boim yang selalu mengikuti langkahnya kemanapun. Dari satu rak ke rak yang lain pria itu tetap setia membuntuti sang pujaan hati. Sementara Boim sibuk mengekor bagai anak ayam, Farzana tengah sibuk memilah-milah barang yang sudah tak layak jual. Sesekali Boim juga ikut membantu dengan menangkapi setiap barang yang dilempar oleh Farzana. Sebenarnya itu adalah salah satu cara untuk membuat Boim kesal dan segera pergi. Akan tetapi sepertinya pria itu tak terpengaruh sedikit pun. Malahan senyum bahagia menghiasi wajah tampannya.Farzana sempat melirik Boim sebentar. Dan benar saja, pria itu menatapnya dengan binar mata penuh kebahagiaan. Entah mengapa saat melihat hal itu tiba-tiba jantungnya berdetak tak karuan. Seperti ada sengatan listrik aneh menjalari setiap bagian tubuhnya. Farzana juga merasa gugup luar biasa. Bahkan keringat dingin pun mulai membasahi pelipisnya. Hijab yang dipakai gadis itu pun sampai basah karena keringat yang menetes setitik demi
Peluh keringat membasahi kepala Farzana yang tertutup hijab. Gerakan tangan Boim makin lama makin cepat memilin dua gundukan besar milik gadis itu. Bahkan saat jari jemarinya memutar-mutar puting kecil menggoda itu kian membuat Farzana kehabisan tenaga. Dan erangan keras pun tak terelakkan lagi. Beruntung toilet perempuan yang ditempati kedua insan itu kedap suara. Jadi tidak akan ada satupun orang mendengar teriakan penuh desahan yang terjadi di dalamnya. Awalnya memang terasa sakit bagi Farzana. Namun lama kelamaan ia mulai menikmati permainan tangan Boim di kedua payudaranya. Entahlah, pijatan itu terasa nyaman dan membuat ketagihan setengah mati. Ia berharap bisa merasakannya lagi dan lagi. Dan saat Boim menghentikan gerakannya, Farzana mendesah kecewa. Kedua mata yang tadinya terpejam perlahan membuka menampilkan ekspresi puppy-eyes yang mengiba. Boim mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Farzana dan hendak membisikkan sesuatu.“Mau lagi sayang?” tanyanya.Tak mau membuang k
Ketika Boim keluar dari minimarket, sepasang mata melihatnya dari kejauhan. Orang tersebut tidak lain dan bukan adalah Fatimah. Semenjak Boim berada di dalam sampai akhirnya keluar, gadis itu terus berdiri di seberang jalan mengamati sedari tadi. Ia bahkan cukup terkejut dengan siapa Boim bertemu. Siapa lagi kalau bukan menemui Farzana Nazia. Musuh bebuyutan sekaligus rival terberatnya. Meskipun gadis itu sudah keluar dari Masjid Al-Ghifari, Boim masih saja mengejarnya. Hal ini pula yang membuat Fatimah semakin benci dengan si gadis tomboy itu. Kenapa harus dia yang mendapatkan perhatian Boim? Kenapa bukan dirinya? pikir Fatimah.Kedua tangan Fatimah mengepal kuat mencoba menahan amarah yang sejak dari tadi ingin ia lampiaskan. Melihat gadis tomboy itu duduk di meja kasir dengan senyum merekah membuatnya kian kesal. Sudah bisa dipastikan bahwa Farzana memiliki perasaan yang sama seperti Boim. Ekspresi di wajahnya yang tersenyum bahagia adalah buktinya. Sesama wanita Fatimah bisa mer
Fatimah menghampiri seorang pria yang baru saja masuk ke area parkir Masjid Al-Ghifari. Sangking tak sabarnya ia sampai berlari hingga tak memedulikan panggilan Nadia. Dengan nafas terengah-engah Nadia mengejar Fatimah. Ia sangat kesal hanya karena sahabatnya itu tak mau menunggui dirinya sebentar saja. Alhasil, Nadia pun harus lari secepat mungkin agar tak tertinggal jauh. Apalagi lorong masjid Al-Ghifari lumayan panjang. Untuk sampai di tempat parkir saja harus menempuh jarak 200 meter. Mengingat masjid tersebut adalah masjid terbesar di Kota Malang dengan desain bangunannya menyerupai Masjid Hagia Shopia di Turki.Sesampainya di tempat parkir, baik Fatimah maupun Nadia langsung menghampiri seorang pria yang tengah memarkirkan sepeda motor sportnya. Ketika selesai dan si pria membuka helm full face-nya, Fatimah mendesah kecewa. Ternyata pria itu bukanlah Boim. Akan tetapi Pak Idris, ayahnya Ahmad. Salah satu murid bimbingan Fatimah. Pak Idris tersenyum kepada dua orang gadis yang
"Nad Nad, sebaiknya jangan deh!" ucap Fatimah sambil melepaskan tangannya dari genggaman Nadia."Emangnya kamu nggak penasaran gitu?" tanya Nadia meyakinkan Fatimah agar mengikuti rencananya."Ya penasaran, tapi,-" "Nggak ada tapi-tapian. Udah yuk," ajak Nadia yang langsung menarik tangan Fatimah.Kedua gadis itu berlarian menyusuri lorong masjid Al-Ghifari hendak menuju kantor guru. Tempat dimana Idris dan Boim sedang melakukan rapat rahasia. Begitu sampai disana, baik Fatimah dan Nadia sedikit terkejut melihat Idris keluar dengan wajah yang dipenuhi kobaran api amarah. Tatapan matanya lurus memandang ke arah depan hingga tak memedulikan sapaan Nadia dan Fatimah. Idris berjalan terus melewati kedua gadis itu. Nadia sedikit kecewa karena sapaannya tidak terbalas. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca Nadia menatap punggung Idris yang mulai menjauh menuju tempat parkir.Fatimah yang melihat cairan bening mulai keluar dari mata sang sahabat jadi merasa iba. Ia tahu bagaimana rasanya
Hati Fatimah terasa tersayat melihat kondisi Boim yang tak berdaya ini. Ia memeluk kepala pria itu dalam dekapannya sambil menangis sesenggukan. Setetes demi setetes air mata Fatimah jatuh membasahi wajah tampan Boim. Ia tak tega dengan keadaan sang pujaan hati yang mengenaskan ini. Siapapun pelakunya semoga orang itu mendapat karmanya, doa Fatimah dalam hati. Dengan telaten jari jemari kanan gadis itu membersihkan aliran darah yang keluar dari hidung Boim menggunakan tisu. Sangat melelahkan, karena darah itu tak mau berhenti mengalir. Sambil terus memberikan ceceran darah itu, sesekali pandangan mata Fatimah melihat ke arah pintu. Gadis itu tengah menantikan seseorang Akan tetapi sudah lebih dari 1 jam orang tersebut belum juga datang. Ia hanya bisa berdoa semoga mobil yang dibawa orang itu tidak terjadi apa-apa di jalan. Untuk menghilangkan kepanikan dalam dirinya, Fatimah terus mengucap kalimat istigfar sebanyak-banyaknya. Entah sudah berapa kali, tapi yang jelas sedikit demi sed