Farzana tak tahu harus berkata apa setelah membaca surat itu. Eh tunggu, sepertinya itu bukan surat, tapi kertas sobekan dari diary Boim. Sudahlah apapun itu Farzana tak peduli. Ia buang kertas itu ke tong sampah di bawah meja kasir. Pertama-tama ia remas sampai tak berbentuk sama sekali. Kemudian Farzana melemparkannya masuk ke dalam tong sampah. Ketika tangannya hendak membuang kotak di atas meja kasir ia sedikit ragu-ragu. Gadis itu pun urung melakukannya dan memilih menyimpannya ke dalam tas selempang yang menggantung di cantolan belakang.Baru saja ingin memasukkan kotak itu tapi sudah direbut dulu oleh Ammar. Farzana mencoba merebutnya kembali namun kotak itu diangkat tinggi-tinggi agar tak bisa diraih oleh dirinya."Ammar kembalikan!" pinta Farzana sembari melompat-lompat berusaha mengambil kotak itu dari genggaman tangan Ammar."Kotak apa ini Zan?" Ammar malah balik bertanya dan tak menghiraukan permintaan Farzana."Bukan urusanmu. Cepat kembalikan!" balas Farzana setenga
Pengunduran diri Farzana sebagai pengajar di Masjid Al-Ghifari membuat Nadia dan Fatimah merasa senang. Apa yang diimpikan kedua orang itu akhirnya terwujud. Dan 6 bulan sudah Fatimah juga tak bertemu dengan Boim. Di satu sisi gadis itu begitu senang karena rivalnya sudah tidak ada. Akan tetapi di sisi lain ia juga sedih karena tak bisa lagi mengajar bersama Boim. Semenjak Farzana mengundurkan diri, Boim sudah jarang mengajar mengaji di Masjid Al-Ghifari. Palingan pria itu datang seminggu hanya satu kali atau pernah dalam satu bulan juga tak pernah berkunjung. Fatimah senang dengan nama Boim yang kini semakin dikenal luas oleh masyarakat sebagai seorang ustaz kondang. Namun hal itu juga membuat dirinya sedih karena tak bisa leluasa menemui Boim seperti dulu.Fatimah sangat merindukan hari-hari dimana bisa mengajar bersama Boim. Seandainya waktu bisa diputar, ingin sekali ia kembali ke masa lalu. Tetapi apa daya, waktu terus berjalan dan mau tak mau ia harus menerimanya dengan lap
Ide Nadia tentang mencari seorang asisten memang patut dipertimbangkan. Apalagi Boim termasuk orang yang sulit mengatur jadwal. Tawaran ceramah selalu ia terima begitu saja tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Pernah suatu ketika ia sedang mengisi di satu masjid tiba-tiba mendapat telepon dari seseorang. Orang yang menelepon itu mengingatkan bahwa seharusnya ia mengisi kajian di masjid sana. Akan tetapi Boim malah lupa dan menerima tawaran ceramah di masjid dekat rumahnya. Mau tak mau ia pun meminta maaf kepada para jamaah karena harus menghentikan ceramahnya detik itu juga. Beruntung mereka bisa memakluminya. Kalau tidak mungkin Boim sudah kena amukan ibu-ibu. Tapi ya begitu, ia dihinggapi rasa bersalah. Dan Boim berjanji tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.Maka dari itu agar jadwal ceramahnya tertata rapi tentu saja ia membutuhkan seorang asisten. Tidak mungkin kalau Boim mengaturnya sendiri. Yang ada malah ia keteteran sendiri. Akan tetapi masalahnya, siapa orang yang pantas
Sepulang dari minimarket Farzana langsung masuk ke dalam kamar dan mengabaikan Umi Kalsum yang memanggil namanya. Perkataan Ammar terus terngiang-ngiang dalam pikiran gadis itu. Ternyata Ammar masih belum menyerah juga. Farzana pikir setelah menolaknya secara halus mungkin saja pria itu akan mundur teratur. Tetapi apa kenyataannya, pria itu malah kian berani mengungkapkan perasaan cintanya. Masalah dengan Boim saja sudah membuat pikirannya serasa meledak. Sekarang ditambah lagi dengan Ammar. Rasanya Farzana ingin kabur saja ke planet lain. Urusan cinta benar-benar membuat kepalanya pusing.Setelah menutup pintu kamar, Farzana langsung merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Sungguh hari yang melelahkan untuk hati dan pikirannya. Inilah yang menjadikan gadis itu enggan menjalin hubungan dengan lawan jenis. Bukannya membuat hidup bahagia malah nestapa yang didapat. Sewaktu perjalanan pulang saja ia hampir terserempet mobil sangking tidak fokus saat berkendara. Untung saja Allah maha
Seorang gadis tersenyum bahagia menatap layar ponsel di ruang tamu. Jari jemarinya begitu lihai mengetikkan kata per kata secara cepat hingga tak sadar akan sekelilingnya. Tepukan dari pundak kanan sontak menyadarkan gadis itu. Awalnya ia terkejut, tapi itu tak bertahan lama. Kepala gadis itu mendongak ke atas guna melihat siapa gerangan orang yang telah mengganggunya. Begitu tahu wajah orang tersebut ia langsung meringis menampilkan deretan gigi putihnya. Ternyata sosok itu tidak lain dan bukan adalah Uminya Nadia. Sambil berkacak pinggang wanita paruh baya itu menatap sang putri dengan sorotan mata tajam“Apa apa Umi?” tanya Nadia.“Ada apa ada apa. Dari tadi umi panggil kamu nggak denger ya?” ucap Uminya kesal.“Umi tadi panggil Nadia?” tanya Nadia dengan polosnya.“Iya, udah 3 kali Umi panggil. Jangan keseringan main hp,” Uminya mengingatkan.“Iya mi maaf. Emangnya ada apa Umi panggil Nadia?” tak mau sang Umi membahas topik itu, buru-buru Nadia mengalihkan pembicaraan.“Umi
Boim tengah dilanda kebingungan yang sangat mendalam. Permintaan Fatimah untuk menjadi asisten pribadinya membuat dirinya resah. Sebenarnya sah-sah saja gadis itu mengajukan diri. Tetapi entah mengapa hati Boim begitu berat untuk menerimanya. Ada ketakutan dalam diri pria itu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Boim seperti bisa merasakan adanya firasat buruk kalau Fatimah menjadi asisten pribadinya. Jadi sekarang dia harus bagaimana? Boim benar-benar dibuat bingung.Sangking bingungnya, pria itu sampai menjambak rambutnya sendiri karena kesal. ‘Oh ya Allah beri aku petunjuk,’ Boim berdoa dalam hati. Apa begini saja, ia akan membujuk Farzana sekali lagi dengan datang langsung ke rumahnya. Mungkin saja sahabatnya itu berubah pikiran. Kalau sampai ditolak lagi, terpaksa Boim menerima tawaran Fatimah. Meskipun harus mengabaikan firasat buruk yang tengah ia rasakan saat ini. Pagi-pagi sekali sekitar jam 8 ia akan ke sana. Dan semoga saja Farzana ada di rumah.Boim bangkit dari dud
Boim melangkah dengan mantap menuju rumah Farzana, hatinya berdebar-debar campur aduk. Hari itu, langit cerah memancarkan sinar hangat di atasnya. Boim merenung sejenak tentang misinya, yaitu meyakinkan Farzana untuk menjadi asisten pribadinya. Dia yakin bahwa kehadiran Farzana akan memberikan nuansa baru dalam setiap ceramahnya, membuat pesannya lebih mendalam dan menyentuh di hati pendengar.Ketika kaki Boim sampai di ambang pintu keluar, dari arah belakang terdengar suara orang terbatuk-batuk. Siapa lagi orang itu kalau bukan Abi Thalib, ayahnya Boim. Sang ayah berjalan mendekat ke arah putranya dan hendak bertanya."Kamu mau pergi ke mana pagi-pagi gini?" tanyanya.Boim garuk-garuk kepala karena merasa grogi jika harus menjawab ingin ke rumah Farzana."Hhhhmm anu Abi, Boim mau...,""Pasti Abang mau ke rumahnya calon mantu umi ya?" sela Umi Salma yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi dua cangkir kopi."Kok umi tahu?" tanya Boim kepada Umi Salma."Ya i
Farzana yang tengah menata rak pembalut tiba-tiba merasa terkejut mendengar suara seseorang berteriak dari arah meja kasir. Ia pun menghentikan aktivitasnya lalu berjalan ke arah sana. Begitu keluar dan melihat sosoknya, Farzana tak menduga ternyata sang pembeli itu adalah Boim. Bagaimana ini, apakah dia lari saja? Akan tetapi kalau ia melakukan hal itu sama saja melalaikan tugasnya. Dengan terpaksa Farzana pun menghampiri Boim. Pada saat itu Boim sedang berdiri di depan meja kasir membelakangi Farzana. Jadi pria itu tidak kalau petugas kasir yang ia panggil adalah sahabatnya sendiri. Ketika terdengar suara langkah kaki mendekat Boim pun berbalik. Ia syok melihat Farzana mengenakan kaos berkerah berwarna merah dan bawahan celana hitam yang notabene seragam petugas minimarket. Gadis itu santai saja berjalan ke arah meja kasir dan tidak memedulikan tatapan mata Boim yang tengah menatapnya intens. "Bisa saya lihat belanjaannya, pak?" kata Farzana yang memecah keheningan.Boim yang