Saat pelajaran sekolah telah usai, kali ini Jonathan yang berinisiatif untuk mengantar Rachel pulang bersama. “Hey Cupu, tunggu gue di warung depan sekolah. Gue mau ke parkiran dulu, buat ambil motor,” ucap Jonathan sebelum dia keluar dari kelas. Rachel tak menjawab, meski mendengar dengan jelas. Jonathan pun keluar dari kelas, menuju ke parkiran. Segera menaiki motor dan menyalakan mesin. Teguran seseorang, membuat Jo menahan langkah. “Jo, lu pulang sendiri? Atau sama si cupu?” ucap Ray dengan tatapan mengejek. Sudah dua hari ini, dia memergoki temannya mengantar jemput Rachel. Namun Jo hanya terdiam, tak menggubris ucapan Rayjendra. Justru dia melajukan motor melewati temannya itu. Sesampainya di pintu gerbang, kembali Jessi menghadangnya. Sehingga Jo mengerem mendadak. “Astaga Jes, apa sih lu berdiri di situ?” teriak Jonathan yang merasa jantungnya hampir copot. Untung saja dia bisa cepat mengerem, sehingga tidak menabrak Jessi. Jessi justru tersenyum tanpa rasa bersalah. Be
“Hey mau kemana kamu? Ayo kita pulang sekarang!” ucap Jonathan lalu segera menaiki motornya kembali.Namun Rachel justru berjalan melewatinya, membuat Jo semakin gemas dibuatnya.Kembali dia turun dari motor dan mengejar Rachel.“Hey, hey Rachel! Ayo kita pulang! Jangan menambah kerjaan gue!” sentak Jonathan sembari meraih tangan Rachel.“Aku bisa pulang sendiri,” suara Rachel terdengar lirih. Saat ini dia tengah menangis, namun Jo tidak menyadarinya karena air mata Rachel yang ikut larut dalam guyuran hujan.Jonathan tak kunjung menuruti Rachel, karena menurutnya jika terjadi sesuatu pada gadis ini, tentu dirinya yang akan terlebih dulu disalahkan.Rachel masih berusaha untuk membebaskan tangannya dari cengkraman Jonathan. Namun sepertinya genggaman Jonathan begitu erat.“Lepasin Jo, sakit!” sentak Rachel.Jo masih tak menggubris ucapan Rachel, tangannya terulur melepas kacamata Rachel yang sangat basah dan menyimpannya dalam saku seragam.“Ayo pulang, gue anter pulang sekarang!” teg
Namun karena mereka menaiki kendaraan roda empat justru membuat perjalanan memakan waktu lebih lama. Karena Jonathan kesulitan untuk menyalip, apalagi keadaan jalanan yang cukup padat. Wajah Rachel terlihat panik, melihat pada jalanan di depannya. “Duh bisa cepetin dikit Jo? Ini kita bakal telat loh!” ucapnya lagi. “Santai saja, jam pertama kan olahraga. Jadi kita masih punya waktu,” jawab Jo santai. Astaga meskipun jam pertama pelajaran olahraga, tapi Rachel juga tidak ingin terlambat hadir. Tentu nantinya dia takut jika menjadi tontonan teman-temannya. Apalagi telatnya berdua dengan si Biang Kerok. Dan benar dugaan Rachel, mereka terlambat sepuluh menit. Pintu gerbang pun sudah ditutup. Namun yang membuat Rachel merasa panik, justru Jo melewatkan gerbang sekolah. “Jo, mau kemana kita? Pintu gerbangnya udah lewat,” beritahu Rachel. Apa mungkin Jo mengantuk sehingga dia kebablasan? Jonathan bergeming, tak menjawab. Dia sudah terbiasa melakukan ini. Tentu jika pintu gerbang sud
“Dari mana saja kamu Jonathan?” tanya pak Agus.“Saya habis dari toilet pak. Buang hajat,” jawab Jonathan dengan ekspresi santai.Pak Agus menghela nafas, tidak cuma sekali Jonathan terlambat mengikuti pelajarannya. Ini bahkan sudah tak terhitung berapa kali.“Tetap berdiri di samping bapak, dan kamu yang menjadi contoh teman-temanmu untuk senam pemanasan,” perintah pak Agus.Jonathan melaksanakan perintah sang guru. Memberi contoh gerakan pemanasan pada teman-temannya.Setelah selesai melakukan pemanasan, pak Agus membagi siswa menjadi beberapa grup. Masing-masing grup terdiri dari lima orang.Grup Jonathan mengawali permainan, melawan salah satu grup anak laki-laki yang lain. Sementara murid lain yang belum bermain, menunggu di sisi lapangan.Rachel duduk melihat pada teman-temannya yang sedang bermain basket. Namun mengapa fokusnya justru pada Jonathan?Tubuh Jonathan memang terlihat lebih menonjol dari yang lain. Tubuhnya yang jangkung serta wajahnya yang tampak bersinar. Membuat
Hari berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah hari Sabtu. Sedari subuh Rachel sudah bersiap-siap. Menyiapkan beberapa baju ganti, juga perlengkapan yang lain dalam satu tas ransel besar. Natasya juga sudah menyiapkan beberapa makanan instan agar putri kesayangannya tidak kelaparan selama berada di perkemahan. Saat ini mereka tengah berada di depan meja makan untuk melakukan sarapan bersama. “Apa kamu sudah siap nak? Kalau misal kamu merasa tidak siap, biar mama yang bilang langsung ke gurumu. Mama kok khawatir,” ujar Natasya menyampaikan perasaannya. “Kan ada Jonathan, tentu calon suami Rachel akan menjaga putrimu. Tidak perlu terlalu khawatir, Natasya!” jawab nenek Maria mencoba menghapus kekhawatiran menantunya. “Nanti papa yang akan menitipkan Rachel pada Jonathan. Mama tenang saja, tidak perlu khawatir,” timpal Jacob sembari menepuk bahu istrinya. Rachel hanya diam mendengar obrolan orang tuanya. Di tengah-tengah menghabiskan sarapan, ketukan pintu dari luar mengejutkan mere
Rachel hanya menatap pada tangan yang terulur di depannya. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Rachel meraih tangan yang akan membantunya berdiri.“Terima kasih, Nolan,” ucap Rachel mengulas senyum tipis.Siswa berprestasi yang selalu bersikap baik padanya. Bahkan di antara teman-temannya yang lain, hanya Nolan yang tidak pernah mengejek Rachel.Di sudut lain, Jonathan melihat pemandangan itu. Meskipun suara Rachel terdengar kecil, namun mampu mengalihkan atensi Jonathan untuk melihat pada Rachel yang terjatuh.Tadinya Jonathan hendak menghampiri Rachel untuk membantunya, mengetahui bawaan Rachel yang begitu banyak juga tasnya yang sangat berat. Namun langkahnya terhenti, ketika siswa lain justru menolong Rachel lebih dulu.Jonathan membuang pandangannya, tak ingin melihat pemandangan yang membuat dirinya tidak menyukai. Rachel terlihat akrab mengobrol dengan Nolan. Hal itu membuat dada Jonathan sedikit memanas.“Aku bantuin Chel, kayaknya bawaanmu berat,” ujar Nolan menawarkan bantuan
Sementara itu tim Jonathan baru saja menyelesaikan tugas di pos ketiga. Melanjutkan menuju pos ke empat yang jaraknya cukup jauh.Namun saat akan menyebrangi sungai, Jonathan melihat pada tim Rachel yang berada di seberang sungai. Dan mereka seperti tengah kebingungan.Jonathan segera menyebrang bersama teman-temannya. Menghampiri tim Rachel yang masih berdiam diri tanpa meneruskan langkah mereka.“Ada apa? Kenapa kalian tidak meneruskan jalan?” tanya Jonathan pada salah satu siswi.“Jo, kami kehilangan satu tim kami,” jawab Alisha dengan wajah panik.Wajah Jonathan terlihat mengerut.“Siapa tim kalian yang hilang?” tanya Jonathan lagi.“Rachel.”Sontak membuat mata Jonathan melebar karena terkejut. Apa Rachel hilang? Kok bisa? Jonathan tak habis pikir dengan tim Rachel yang tidak kompak itu.“Gimana bisa hilang sih? Emangnya kalian jalan sendiri-sendiri?” “Gak Jo, tadinya gue lihat Rachel masih jalan di belakang gue. Eh baru mau nyebrang kok udah gak ada,” jawab Mila dengan raut waj
Tubuh Rachel luruh, tangannya melepaskan genggaman Jonathan. Lalu memijat pada kakinya yang terasa sakit.“Kenapa? Lu jatuh tadi?” tanya Jonathan.Rachel mengangguk, “sepertinya kaki gue terkilir.”Jonathan merendahkan tubuhnya dan berjongkok di depan Rachel.“Lepas sepatu lu, biar gue lihat!” perintah Jonathan yang langsung dituruti oleh Rachel.Jonathan menarik kaki kiri Rachel ke arahnya, lalu memberikan pijatan ringan di mata kaki hingga betis.Jantung Rachel mendadak tidak aman, darahnya berdesir membuat wajahnya terasa panas. Baru kali ini dia berada begitu dekat dengan seorang laki-laki.Bahkan Jonathan yang biasanya mengejeknya ketika di sekolah, justru memberinya perhatian lebih. Pemuda di hadapannya layaknya superhero yang datang menolong. Sungguh di luar ekspektasi Rachel.Jonathan menekan tepat di titik dimana kaki Rachel sakit.“Auwhhh! Jangan keras-keras Jo, sakit tau!” ujar Rachel sembari menggigit bibir bawahnya.Terlihat Jonathan menghela nafas kasar. Tatapannya beral
“Ish.. gak usah kali Jo pake dijelasin segala kita mau nikah. Kan malu!” gerutu Rachel saat mereka keluar dari ruang terapi dan sedang berada di apotik, menunggu obat yang diresepkan.“Loh, harus dong Chel! Masak iya kamu nikah tapi calon suamimu cacat gini.”“Hush.. jangan bilang gitu! Kamu gak cacat, tapi sedang kurang baik. Dalam waktu dekat juga pasti sembuh tangannya,” balas Rachel dengan tatapan tak suka.Jonathan menghela nafas panjang.“Dengan kondisi tangan gue seperti ini, kira-kira masih bisa gak ya gue main basket?” gumam Jonathan dengan tatapan menerawang.Rachel berpaling menatap ke samping. Terlihat raut wajah Jonathan yang muram dengan pandangan kosong. Diraihnya tangan Jonathan, lalu menautkan dengan tangannya.“Gue yakin lu bisa sembuh, dan tangan lu akan kembali kayak dulu!” tegas Rachel untuk menyemangati.Mendadak suasana hening, Jo tak lagi berucap. Tenggelam dalam pikirannya sendiri. Rachel merasa iba melihat raut wajah Jo yang murung. Walau bagaimanapun tangan
Rachel yang tak mendengar ocehan Jonathan lagi, sontak melihat ke arah pemuda di sisinya.“Jo, kenapa lu?” tanyanya, namun diabaikan oleh pemuda itu. Membuatnya tambah bertanya-tanya saat melihat wajah Jonathan yang berubah serius.Rachel penasaran dengan apa yang dilihat pemuda itu. Sehingga Rachel mengikuti arah pandang Jonathan.Terjawab sudah rasa penasaran Rachel, ketika pandangannya menangkap sosok Bara dan Jessi.Ketika dirasa genggaman tangan Jonathan yang semakin menguat di tangan kanannya, Rachel pun mengulurkan tangan kirinya untuk mengusap lembut lengan pemuda itu.“Jo, kita tunggu di sana,” ucap Rachel sembari menuntun langkah mereka menjauh dari pintu masuk. Dia tahu Jessi, Bara dan Pak Jeremy akan melewati jalan itu nantinya.Jonathan mengikuti kemana Rachel membawanya. Duduk menjauh di depan pos sekuriti.Sementara itu Nicholas yang baru saja menyelesaikan panggilan, hendak menghampiri putranya untuk pamit kerja. Namun justru dirinya berpapasan dengan Jeremy. Pria yang
Setelah memastikan kekasihnya masuk ke dalam rumah serta berpamitan pada semua keluarga Rachel, Jonathan pun segera keluar dari gerbang. Menghampiri supir yang sudah berdiri menunggu di sisi mobil. Selama melangkah, mata Jonathan terus mengawasi keberadaan mobil Bara. Hingga akhirnya terlihat jendela mobil terbuka dan wajah Bara pun terlihat. Jonathan membalas tatapan sinis dari pemuda yang menjadi musuh bebuyutannya selama ini. “Silahkan tuan Jonathan,” ucap supir yang telah membukakan pintu depan. “Tunggu dulu, pak! Saya masih ada sedikit urusan,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Bara. Terlihat pemuda itu membuka pintu mobil, lalu keluar dengan senyum misteriusnya. Melangkah menghampiri Jonathan yang sudah mengetahui keberadaannya. “Hay, kawan lama! Apa kabar?” sapa Bara seraya mengulurkan tangannya ke arah Jonathan. Namun Jo hanya memandang tangan Bara yang terulur. Tak ada niat untuk menyambutnya. Lalu kembali menatap wajah Bara. “Gak usah basa-basi! Ada keperlua
“Wah enak masakanmu, Rachel!” puji Nicholas saat tengah menikmati makan malam dengan sup ayam buatan Rachel. “Tuh kan, apa gue bilang. Masakan lu memang terbaik,” timpal Jonathan sembari menunjukkan jempol tangannya ke depan. Rachel tersenyum senang mendengar pujian dari calon mertuanya. “Syukurlah, kalau om menyukai masakan saya,” ucap Rachel seraya menundukkan pandangan. “Sering-seringlah main ke sini, biar hubungan kalian semakin dekat. Mulai bulan depan kita sudah harus mulai mempersiapkan rencana pernikahan untuk kalian,” tutur Debora yang ikut mencicipi sup ayam buatan Rachel. Rachel menelan ludah, tak menyangka jika pernikahannya dengan Jonathan sudah dekat. Hanya tinggal beberapa bulan lagi setelah pengumuman kelulusan. “Nanti bilang aja kalau mau sini, aku yang jemput kamu!” ujar Jonathan menimpali ucapan maminya. “Idih, tangan kamu aja masih sakit. Gimana mau jemput, Jo?” balas Rachel dengan suara setengah berbisik, agar orang tua Jonathan tak mendengar. “Bisalah! La
“Luna? Ngapain lu ke sini?” tanya Jonathan dengan raut wajah bingung. “Aku mau jenguk kamu. Tadinya sempet ketemu sama mami, dia bilang kamu sedang sakit di rumah.” Aluna melangkah semakin dekat. Tanpa basa-basi segera duduk di kursi samping Jonathan, kursi bekas Rachel duduk tadi. “Astaga, dasar mami!” gerutu Jonathan dengan suara kecil. Kehadiran Aluna yang tak diharapkan itu tentu mengganggu momen romantisnya dengan Rachel. Jonathan melirik ke arah Rachel, tepat saat gadis itu melihat ke arahnya. Namun tak lama Rachel pun melanjutkan langkahnya memasuki dapur. Jonathan menghela nafas kesal. Kesal pada Aluna yang selalu datang mengganggu. Padahal gadis itu tahu jika sekarang Jonathan sudah memiliki kekasih, calon istri. “Kok bisa sih Jo, sampai seperti ini? Kamu jatuh? Dimana jatuh?” Aluna mencecarnya dengan pertanyaan. Namun Jonathan sudah terlanjur malas menjawab, dan tak ingin membuat kekasihnya salah paham. “Lun, gue udah baikan kok. Ada pacar gue yang ngerawat. Jadi mendi
Jonathan kembali duduk di tepi ranjang, meraih air dalam gelas yang masih tersisa setengah. Setelah menuntaskan dahaga, Jonathan berniat untuk menghubungi Rachel. Memastikan keberadaan kekasihnya itu. Namun kembali Jo dibuat bingung karena ponselnya masih terbawa oleh maminya. Jonathan melenguh frustasi. Tanpa ponsel dia tak bisa menghubungi Rachel, tetapi bukankah dia bisa menelpon lewat telepon rumah? Jonathan bergegas melangkah keluar kamar. Dengan langkah buru-buru menuruni anak tangga, menuju ruang keluarga dimana telepon rumah berada di sana. Setelah melihat pada buku telepon dan menekan nomor telepon rumah Rachel, Jonathan pun menunggu hingga panggilan terhubung. “Jonathan? Udah bangun?” Terdengar suara gadis yang sedari tadi dia cari. Sontak Jonathan menoleh ke belakang. Jo terkesiap, matanya melebar. Namun detik berikutnya senyum menghiasi bibirnya. “Halo, selamat sore!” Terdengar suara nenek Maria dari seberang telepon. “Halo nek, apa kabar?” jawab Jonathan tanpa menga
Bola mata Rachel melebar untuk beberapa saat. Otaknya menyuruh untuk menjauh, namun hatinya meminta untuk tak menjauh. Rachel memejamkan mata dan mulai menikmati kehangatan yang mulai menjalar di hatinya. Sebuah ciuman ringan, hanya pertemuan dua bibir namun begitu membekas dalam hati Jonathan. Baru kali ini dia tak melihat penolakan Rachel. Namun suara ketukan pintu mengalihkan atensi mereka. Secepatnya Rachel mendorong dada Jonathan menjauh. Nafasnya tampak terengah-engah, wajahnya merah padam. “M-mungkin mbak. Gue bukain pintu dulu,” ucap Rachel terbata, lalu segera beranjak melangkah ke arah pintu. Jonathan tersenyum penuh kemenangan. Menjilat bibir bawahnya, dimana rasa manis dengan aroma buah ceri tersisa di sana. Setelah menerima peralatan makan juga segelas air putih dari asisten yang mengantar, Rachel melangkah ke arah meja. Membuka satu persatu rantang, lalu memindahkan sebagian makanan ke atas piring. Debaran di dadanya tak kunjung berhenti, meskipun Rachel berusaha m
Perlahan Rachel memutar kepalanya ke belakang. “L-lu udah bangun? Tadinya gue mau nunggu di bawah,” jawab Rachel gugup. Jonathan beranjak dari posisinya, namun wajahnya tampak meringis. Mulutnya mendesis kesakitan. “Ssshhhh… duhhhh!” Rachel terkesiap, bergegas menghampiri Jonathan yang tampak kesakitan. “Masih sakit Jo? Pelan-pelan!” ucap Rachel sembari membantu Jonathan untuk duduk. Tangan kanannya melingkari pundak pemuda itu, sementara yang kiri menggenggam erat pergelangan tangan Jo yang tak tertutup gips. “Sakit banget, Chel! Shhhh…” balas Jonathan dengan wajah meringis. “Hati-hati! Lu duduk aja, biar gue bantu!” Rachel mengambil satu bantal dan meletakkannya di punggung Jo. Lalu membantu pemuda itu untuk duduk bersandar. “Thank you, udah mau datang ke sini. Lu udah makan?” tanya Jonathan dengan suara lembut. Wajahnya tampak berseri-seri. Padahal baru beberapa detik lalu terlihat kesakitan, namun sudah berubah dalam waktu cepat. “Udah. Tadi habis masak gue langsung makan
Rachel menoleh ke sumber suara. Terlihat seorang pemuda berbadan tinggi yang menutupi tubuh juga kepalanya dengan jaket putih. “Kak Bara?” Mata Rachel membulat ketika mengenali pemuda yang tak lain adalah mantan kakak kelasnya dulu. Meski setengah wajah Bara tertutup masker, namun Rachel masih mengingat sorot mata dari pemuda itu. Bara tersenyum senang saat Rachel mengenalinya. Dia pun segera melepaskan penutup masker dari wajahnya. “Sudah selesai bayarnya?” tanya Bara ketika melihat kasir masih menunggu Rachel untuk memasukkan pin di mesin EDC. Segera Rachel kembali fokus melakukan transaksi pembayaran. Lalu meraih kantong belanjaan yang cukup berat itu. “Perlu gue bantu?” tanya Bara menawarkan bantuan. Padahal niatnya tadi hendak membeli minuman, namun urung dilakukan. Melihat wajah bening Rachel, tak mungkin Bara menyia-nyiakan kesempatan emas ini. “Gak perlu kak, aku..” Bara mengambil alih kantong belanjaan dari tangan Rachel. “Cewek secantik lu, jangan bawa yang berat-be