Share

Bab 2. Penjemputan

"Kamu lambat sekali, sih! Calon keluarga pengantinmu sudah menunggumu. Tidak sabar untuk membawamu menemui calon suami cacatmu itu."

Begitu Wulan turun, makian langsung terdengar dari adiknya, Jihan. Dia diam saja, tidak ingin melayani adiknya, yang satu ayah dan lain ibu itu.

"Lihatlah, Yuri. Belum apa-apa dia sudah sombong. Mau jadi istri pangeran cacat saja sudah berani sama kita. Aku ingin sekali mencekiknya." Tambah Jihan, kini mengajak adik bungsu mereka untuk turut berada di pihaknya.

"Sudah biarkan saja. Sebentar lagi dia akan pergi dari sini. Jangan mengganggu kak Wulan lagi." Kata Yuri, seolah ingin melindungi Wulan.

"Maaf, aku harus segera menemui ayah. Paham kan, ayah dan ibu akan marah kalau aku terlambat." Ucap Wulan melangkah kembali, meninggalkan dua adiknya itu.

"Dasar anak haram! Tidak tau diri!" Umpat Jihan.

Wulan tidak mendengar, terus melangkah dan menghampiri orang tuanya yang sudah menunggu di ruang tamu.

Dia bisa melihat, dua orang asing di depannya. Salah satu dari mereka menundukkan kepala ketika dia datang, seperti sedang menyapanya.

Mungkin mereka yang akan menjemputnya? Perwakilan dari keluarga Brahmana?

"Sini sayang?" Ucap lembut Tiara, menarik tangannya untuk duduk di sampingnya.

Wulan menurut saja. Dia duduk dengan tenang, padahal hatinya sudah tidak karuan rasanya. Jantungnya bergemuruh. Tangannya sempat terkepal dan meremas lututnya sendiri.

"Perkenalkan. Beliau ini adalah Tuan Abraham. Paman dari calon suamimu. Dan yang di samping beliau adalah sekretaris pribadi Tuan muda Saka, calon suamimu. Namanya pak Ang."

Tiara memperkenalkannya dengan bangga pada keluarga Brahmana. Wulan tersenyum dengan terpaksa, menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, tanpa menatap dua pria di hadapannya itu.

"Mulai hari ini, kamu sudah harus tinggal bersama mereka di rumah keluarga Brahmana, karena besok adalah hari pernikahanmu dengan Tuan muda Saka." Ucap Tiara kembali, sambil mengelus lembut rambut Wulan dengan penuh kasih sayang. Meski Wulan tahu, jika Tiara hanya sandiwara. Pura-pura penuh kasih sayang padanya.

"Apa Nona sudah siap?" Tanya sekretaris Ang.

Wulan masih tersenyum dan hanya mengangguk. Dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Baguslah. Kalau begitu kita berangkat sekarang saja, Tuan Ang." Ucap Abraham.

Sekretaris Ang mengangguk. "Silahkan Nona." Katanya pada Wulan.

"Kami permisi dulu, Tuan Gani,. Nyonya Tiara. Terima kasih atas kerjasamanya. Putri anda kami bawa. Dan ini, sesuai janjiku." Ucap Abraham meletakan sebuah koper di meja sebelum melangkah.

Wulan sempat melirik koper tersebut, lalu melirik Tiara yang kini penuh kemenangan dan senyum bahagia.

'Itu pasti uang hasil penjualan diriku!' Batin Wulan.

Entah kenapa, tiba-tiba hatinya terasa begitu pedih.

Harus beginikah caranya untuk membalas budi mereka?

Bahkan ayahnya tidak mengatakan sepatah katapun, walau hanya sekedar ucapan selamat berpisah padanya saat dia keluar dari rumah itu.

Saat ini, mobil yang membawa Wulan sudah melaju dengan cepat. Tidak ada percakapan sedikit pun di dalam mobil yang terisi tiga kepala itu.

Wulan duduk di kursi belakang. Matanya menatap keluar kaca, memandangi pepohonan yang tinggi berjejer di pinggir jalan. Pikirannya mulai melayang ke mana-mana.

Tidak lama, mobil itu berhenti di sebuah Rumah yang sangat besar dan megah.

Abraham turun lebih dulu dan melangkah begitu saja dengan sedikit terburu tanpa menunggu mereka. Sekretaris Ang membukakan pintu untuk Wulan dan membawanya melangkah masuk.

Kaki Wulan terlihat gemetaran saat melangkah memasuki pintu. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke penjuru rumah yang tampak bak istana itu.

"Mari, Nona." Sekretaris Ang membawanya menaiki tangga lalu berhenti di sebuah ruangan di mana Tuan Abraham sudah duduk di sofa bersama istrinya.

Wulan masih gemetaran, tapi dia mencoba untuk menyembunyikannya.

"Duduklah." Suara datar istri Tuan Abraham, Sintia, memberi perintah pada Wulan.

Wulan menoleh pada sekretaris Ang yang masih berdiri di sampingnya. Pria dewasa itu mengangguk samar ke arahnya. Dia melangkah dan duduk dengan ragu-ragu.

Sintia melemparkan sebuah kertas di atas meja tepat di depan Wulan. "Itu adalah aturan yang harus kamu patuhi. Baca dan pahami, setelah itu tanda tangani." Ucap Sintia terdengar sama sekali tidak ramah.

Tangan Wulan terlihat sedikit gemetar untuk meraihnya. Lalu dia membacanya dengan teliti.

Surat itu isinya tidak lain adalah mengenai sebuah perjanjian saat Wulan sudah menjadi istri Tuan muda Saka nanti.

Perjanjian yang harus Wulan sepakati dan peraturan yang harus dipatuhi. Di antaranya, dia tidak boleh ikut campur urusan keluarga Brahmana, apa pun itu.

Dia hanya perlu mengurus Saka dan menemaninya. Tidak harus melakukan apa pun di luar urusan mengurus Tuan muda Saka.

Tidak boleh menemui siapapun tanpa ijin dari Nyonya Sintia atau Tuan Abraham. Karena saat ini tidak mungkin meminta ijin pada tuan muda, jadi semua yang mengatur adalah paman dan bibi suaminya.

Di sini, Wulan hanya berstatus sebagai istri tanpa punya hak apapun atas kekayaan suaminya. Sehingga tidak boleh menuntut apapun.

Wulan membacanya dengan teliti dan merasa heran dan merasa ada yang salah dengan surat perjanjian itu.

Tapi dia tidak ingin ambil pusing. Baginya, pernikahan ini hanyalah pernikahan di atas kertas, bisa dikatakan hanya sebatas jual beli. Dia tidak mungkin menuntut apapun.

"Apa kamu paham?" Tanya Sintia.

Wulan mengangguk, "Terima kasih atas petunjuknya, Nyonya. Ke depannya saya akan berusaha dengan baik dan tidak akan mengecewakan."

Wulan tersenyum, walaupun harus berpura-pura, lalu meraih pena yang juga tergeletak di atas meja. Dia menandatangani surat itu.

Wanita di depannya itu terlihat tersenyum puas. Di matanya saat ini, Wulan benar-benar seperti gambaran orang tuanya, penurut dan cenderung bodoh.

"Bawa dia ke kamarnya Ang, sore ini juga kita akan menikahkan mereka." Ucap Abraham.

Hah?! Wulan terkejut.

'Bukankah, harusnya besok? Apa tidak perlu persiapan apapun jika orang kaya menikah?' batin Wulan.

Sementara Wulan telah berada di kamarnya, Sekretaris Ang melangkah memasuki kamar Saka. Pria itu mendekati Tuan mudanya.

"Tuan muda."

"...." Saka menatapnya, dengan posisi duduk bersandar di tepi ranjang besarnya.

"Apa anda sudah siap dengan pernikahan ini?" Tanya sekretaris Ang. Setelah diam sejenak, Ang kembali berkata, "Tuan, anda tidak perlu cemas. Sesuai yang anda inginkan, saya sudah mengarahkan tuan Abraham untuk mengambil gadis itu. Gadis itu bernama Wulan, dia tidak akan mengecewakanmu."

Sementara Saka hanya tersenyum tipis.

Melihat respons kecil di wajah tuannya, Ang kembali berkata, "Gadis yang malang, polos, tapi penuh ketulusan. Anda akan aman jika bersamanya. Dan Tuan Abraham kali ini telah menggali kuburannya sendiri. Bersiaplah, Tuan."

Setelah itu, Sekretaris Ang melangkah, meninggalkan sang tuan muda yang hanya diam saja.

Semua orang tau, Saka bukan hanya lumpuh, tapi juga bisu. Hampir semua saraf di tubuhnya rusak.

Mayat hidup, julukan yang pantas untuk Tuan Muda pewaris tunggal Keluarga Brahmana itu, tapi... tidak untuk sekretaris Ang, orang yang begitu setia pada keluarga ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status