Share

Gadis Bodoh Untuk Tuan Muda Cacat
Gadis Bodoh Untuk Tuan Muda Cacat
Penulis: Rea.F

Bab 1. Kamu Harus Membalas Budi

Di sebuah ruangan kantor, terdengar sepasang suami istri yang sedang berbicara pada seseorang dengan nada memohon.

Mereka adalah orang tua Wulan, gadis malang yang kerap kali diperlakukan berbeda.

"Tolong kami, Tuan! Pilihlah Wulan, putri kami. Dia bisa menjadi istri yang baik dan patuh untuk keponakan anda. Saya berani menjamin untuk itu," ucap sang istri sambil menarik lengan suaminya untuk memberi kode agar sang suami ikut memohon juga.

"Kenapa kamu sangat yakin, Nyonya?" tanya tuan kaya raya itu, menatap wanita di depannya sambil mengerutkan keningnya.

"Karena kami mendidik putri kami dengan baik dari kecil, hingga dia tumbuh menjadi gadis yang patuh dan penurut."

Ada senyum penuh arti di sudut bibir si tuan kaya raya sebelum akhirnya dia menjawab, "Baiklah, dua hari lagi kami akan menjemput putrimu. Kalian akan mendapatkan imbalan seperti apa yang sudah kami janjikan."

**

"Yang kita lakukan ini, apa tidak keterlaluan, Bu? Selama ini, kita tidak pernah menyayangi Wulan dengan baik. Sekarang, malah akan menikahkan dia dengan pria cacat!" kata Gani dengan nada penuh penyesalan.

Tiara melotot marah mendengar keluhan suaminya. “Sudah untung aku bersedia menerima anak harammu itu di rumah ini! Meskipun menikah dengan pria cacat tapi pewaris tunggal perusahaan Grup Brahmana, itu sangat baik daripada tidak ada yang menginginkan Wulan! Lihatlah, betapa banyak orang yang ditolak oleh Tuan Abraham! Wulan sangat beruntung! Dia akan menjadi Nyonya kaya raya!”

“Lagian, ini demi menyelamatkan perusahaan kamu yang bangkrut itu. Sudah saatnya Wulan berkorban demi keluarga ini. Jangan hanya aku saja yang berkorban untuk menerima anak haram itu!”

Gani terdiam. Apa yang diucapkan istrinya itu memang benar kenyataan, meski di dalam hatinya terselip rasa tidak tega pada Wulan. Biar bagaimanapun juga, Wulan adalah anak dari wanita yang sangat dicintainya.

Wulan meremas kedua tangannya di bawah meja, gadis itu menggigit bibirnya setelah ibu tiri dan ayahnya selesai berbicara.

"Anggap saja ini sebagai balas budimu pada kami yang sudah mengurusmu hingga sebesar ini." Ucap tajam Tiara penuh penekanan.

Tidak ada yang bisa dilakukan Wulan selain hanya mengangguk. Menolak pun pasti tidak ada gunanya. Padahal Wulan tahu jika ini bukan perjodohan, melainkan penjualan atas dirinya.

Di sini, dia hanya dianggap gadis bodoh yang kerap kali dibedakan dengan dua adiknya. Terbukti, dari tiga anak-anak Gani, hanya dia yang tidak disekolahkan.

Dengan kata lain, dia dibiarkan bodoh oleh Tiara.

Demi bisa dianggap keluarga, demi bisa membantu keluarga yang sudah mau menerima anak haram seperti dirinya, dia bersedia. Meskipun dia tahu, jika mungkin akan sangat berat baginya.

Kedua orang di hadapannya itu menarik napas lega. Tiara tampak tersenyum senang, tidak peduli tetesan kristal bening yang sejak tadi sudah meleleh di pipi gadis yang duduk hadapan mereka itu.

Perlahan Wulan berdiri, dia melangkah menuju kamar sempitnya. Lalu bercermin, menatap bayangan dirinya sendiri di depan kaca. Ini adalah wajah bodohnya yang malang. Wajah yang mungkin sebentar lagi akan hilang dari mata mereka yang selalu memandang jijik padanya.

Pagi hari … Mood Wulan hilang mendadak. Matanya sayu memandang kosong. Tak ada yang dipikirkan kecuali pernikahannya yang akan menjelang besok.

Suara derap langkah terdengar. Seorang bibi pelayan keluarga ini masuk ke kamarnya dan menghampiri.

"Nona, Tuan Gani memanggil anda. Nona disuruh menemuinya sekarang."

"Ada apa?" Tanya Wulan tanpa menoleh pada Bibi pelayan itu.

"Ada utusan dari keluarga Brahmana. Katanya mereka ingin menjemput Nona hari ini." Jawab bibi pelayan, sambil berjalan mengambil koper besar milik Wulan dari atas lemari kayu usang yang ada di tepi ranjang kecil tempat tidur Wulan.

Wulan menoleh, dia terkejut saat melihat bibi pelayan mengambil kopernya. Dia lalu bertanya penuh kekhawatiran, “Untuk apa, Bi? Kenapa mengambil koperku?”

Bibi pelayan menoleh, ada raut kesedihan di wajah tuanya. Dia berkata dengan ragu-ragu, "Nyonya Tiara... dia, dia menyuruh bibi untuk membantu Nona berkemas."

"Berkemas?" Wulan langsung bangun dan duduk. Dahinya berkerut.

"Kata mereka tadi, hari ini Nona sudah harus tinggal di rumah keluarga Brahmana.” Saat mengatakan ini, kedua mata bibi pelayan berkaca-kaca. “Maafkan bibi ya, Non." Bibi pelayan menangis , seketika berhambur memeluk Wulan.

Pelayan itu bernama Bibi Sumi, satu-satunya orang yang selama ini menyayangi dan merawat Wulan dengan baik di sini. Dari Bi Sumi lah Wulan bisa membaca dan menulis secara diam-diam. Bahkan, wanita renta itu juga yang mengajarkan satu keahlian lain yang begitu langka pada Wulan, yaitu pengobatan totok terapi dan penguasaan herbal.

Wulan sudah mengerti dengan apa yang terjadi. "Sudah, Bi. Tidak apa-apa. Jangan bersedih. Aku akan baik-baik saja." Wulan menepuk lembut punggung wanita yang sudah tua itu, sambil berusaha menahan kesedihan dalam hatinya.

Dia berusaha untuk tidak menangis sedikit pun. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, akan menunjukan pada semua orang, jika pernikahannya ini tidak akan membuatnya tertekan atau merasa menderita.

Wulan sudah bertekad, dengan keluarnya dia dari rumah ini, maka penderitaannya akan segera berakhir. Dia akan membuktikan, jika anak haram ini juga masih bisa berguna untuk mereka.

Bi Sumi melepaskan pelukannya dengan perlahan. Dia masih menangis, lalu melangkah membuka lemari, mengambil beberapa baju milik Wulan dan memasukkannya ke dalam koper. Setelahnya, wanita penuh kasih itu mengambil sebuah buku.

Buku tentang pengobatan yang pernah dia ajarkan pada Wulan. Bi Sumi memasukan buku itu sekaligus di koper.

"Bawa ini, siapa tahu di sana Nona membutuhkannya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status